Cerita Dewasa Pengantin Baru VII - Terima Kasih Suamiku

Cerita Dewasa Pengantin Baru VII - Terima Kasih Suamiku - Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Ferdi sudah lulus dari kuliahnya dan sekarang bekerja bersama Papa di perusahaan. Ia memegang jabatan sebagai produser musik dan aku sedang mempersiapkan kelulusanku.

Aku mengaduk-aduk minumanku tanpa semangat. Besok adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Dan aku belum mendapatkan ide apapun untuk memberikan sesuatu pada Ferdi.

Aku bukan orang yang romantis jadi aku tidak tahu hal apa yang harus kuberikan. Dia mania game, apa aku harus memberinya kaset game? Dia bisa membelinya sendiri. Lalu apa yang bisa kuberikan tapi tidak bisa ia dapatkan sendiri?

Aku menghela nafas keras. Kulihat seorang gadis berpenampilan sexy sedang berjalan di depanku menuju sebuah meja. Apa aku harus berpenampilan seperti itu di depannya? Aku menggeleng pelan, aku bertaruh dia lebih suka melihatku tidak berpakaian>.<

“Cikiii!!!” suara riang itu terdengar begitu nyaring diikuti pemiliknya yang tiba-tiba sudah duduk di hadapanku, merebut minumanku lalu meneguknya “Aaahhh...” desahnya lega.

“Apa setiap hari kau harus kemari?” tanyaku malas.

“Tentu saja, aku sudah menandatangani kontrak untuk melatih karate dalam menyemarakkan ulang tahun universitas nanti!!”

Aku mendesah pelan. Kupikir tindakan evil Ferdi salah. Karena kejadian itu (baca: Pengantin Baru 6), Azka dipromosikan oleh Bu Julia dan ditawari oleh pihak Universitas untuk bergabung. Dan ia semakin sering beraktifitas di kampus ini.

“Az... apa yang harus kuberikan pada Ferdi? Bukan sembarang barang, harus hanya aku yang bisa memberikannya. Kira-kira apa itu?”

“Kau meminta pendapatku eh?” Aku mengangguk-angguk pelan.

“Ah, apa kau pikir aku akan membantumu? Mengatakan hal itu langsung di depanku, sangat menyakitkan tau!!”

Aku menonyor kepalanya sambil mendesis, “Dasar!!”
“Cik... kenapa kau tidak menungguku?“ Azka memanyunkan wajahnya sambil menggoyang-goyangkan tanganku.
“Berhenti memanggilku seperti itu!!”
“Kenapa? Akan kupanggil kau seperti itu selamanya,” “Hhh... Terserah kau,”

“Cik, kau tahu? Aku benar-benar tidak percaya kau sudah menikah... selama ini aku selalu menunggumu, aku pernah berkata padamu kalau aku akan menjagamu seumur hidupku. Itu bukan main-main. Jadi, jika suatu saat nanti kau lelah dengan semuanya, berlarilah kepadaku,”

Aku menatapnya ternganga. Sungguh. Aku ingin tertawa tapi kurasa ini bukan waktu yang pas. Tapi aku juga terharu mendengarnya “Azka... maafkan aku...”

“Tidak apa, aku tidak mengharapkan apapun darimu, yang bisa kuberikan hanyalah ketulusanku,”

Triiing... Seperti ada lampu yang menyala dalam kepalaku. Aku sudah menemukan apa yang kucari. Bibirku tersenyum memikirkannya. Ah, ini pasti akan menyenangkan.

“Ciki... se-senyummu mengerikan,” Azka bergidik ngeri sementara aku tersenyum semakin lebar.
“Terima kasih, Az... aku harus pergi sekarang! Sampai jumpa!” kusambar tasku lalu beranjak pergi.
“HEI, kau mau kemana?” “Rumah sakit!!!” teriakku. ***

Perutku sakit. rasanya mulas. Setelah dari rumah sakit, aku kembali ke kampus. Ini adalah scenario yang kususun untuk suamiku yang bodoh itu hahaha... Aku meminum pil pencuci perut dengan dosis rendah yang bisa membuat perutku mulas tapi tidak begitu parah.

Yang kedua, aku meminta bantuan Azka untuk mengantarku pulang. Kalian pasti bisa menebak apa yang akan terjadi jika Ferdi melihatku pulang diantar Azka. Dan kebetulan, hari ini ia libur karena lusa ia akan berangkat ke luar pulau bersama Papa untuk bekerja.

“HEI, APA YANG KALIAN LAKUKAN?” teriak Ferdi begitu membuka pintu rumah.

Aku tidak menjawab dan hanya merintih dalam gendongan Azka.

“KAU TIDAK LIHAT DIA SAKIT, HAH?” balas Azka sama garangnya.

“Ciki sayang, kau kenapa?” tanya Ferdi panik.

“Minggir!!” bentak Azka sambil masuk ke dalam rumah. “Di mana kamarnya?”

“Berikan kepadaku!” kata Ferdi.

“Tidak! Kau sangat sadis dan tidak berperasaan!! Aku tidak percaya kepadamu!!”

Aku tergelak dalam hati. Kalian tahu wajah Ferdi saat ini? Benar-benar gelap. Maafkan aku, Az... aku melibatkanmu dalam scenario ini tanpa sepengetahuanmu.

“Aku suaminya!!!” teriak Ferdi.

“Lalu apa peduliku?!” cuek Azka.

Mulutku tidak tahan untuk tertawa jadi kugunakan saja untuk meringis, berpura-pura sangat sakit.

“Cepat!! Dimana kamarnya?” bentak Azka lagi.

Dengan cepat Ferdi membuka pintu kamar kami. Azka membawaku ke dalam lalu merebahkanku di tempat tidur. Tapi sedetik kemudian Ferdi menariknya, menyeretnya keluar dari kamar.

“HEI, HEI, lepaskan aku!!” teriak Azka.

BLAAAM... Kudengar suara pintu dibanting. Suamiku benar-benar menyeramkan. Tidak lama, ia kembali lagi ke kamar sedang aku memegangi perutku sambil meringkuk di tempat tidur.

“Ciki... kamu tidak apa-apa?” tanyanya panik “biar kutelepon dokter,”

Aku menahan tangannya saat ia akan beranjak pergi, “T-tidak perlu, Fer. Belikan saja aku obat di Apotik,”

“Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu...” “K-kalau begitu cepatlah kembali,”

Ferdi menatapku bimbang. “Tunggu sebentar!” putusnya kemudian lalu berlari pergi.

Aku bangun dari tempat tidurku sambil meringis pelan. kuhampiri jendela untuk mengintipnya. Ia benar-benar pergi sambil berlari. Aku mengusap-usap perutku yang sakit sambil kembali ke tempat tidur. Tiba-tiba ponselku berbunyi.

“HEI, Cik!! Apa kau baik-baik saja? Kau tidak tewas di tangannya bukan?” Aku tertawa mendengarnya. “Aku tidak apa-apa, Az... jangan khawatir,” “Aku ada di Apotik sekarang, sebentar lagi aku ke sana!”
“Tidak perlu!! Aku tadi hanya pura-pura,”

“APA?!”

“Terima kasih sudah membantuku. Jangan datang ke rumahku atau kau akan mati, mengerti?!”

“HEI?”

Aku langsung memutus telepon itu. Bisa kubayangkan wajah bodoh Azka yang kebingungan, hahaha... Sepertinya virus Evil Ferdi sudah menulariku.

Braaak... Kudengar suara pintu terbuka keras dan aku langsung pura-pura merintih kesakitan di tempat tidur. Pintu kamar terbuka dan Ferdi masuk dengan nafas tersengal.

“Minum dulu obatnya,” katanya dengan nafas naik turun. Ia membantuku bersandar di headboard ranjang, mengambil segelas air di meja lampu lalu membantuku untuk meminumnya.

“Kau berkeringat...” gumamku sambil mengusap peluh di dahinya.

Ia meraih tanganku lalu membenamkannya ke dalam hidung dan bibirnya. “Jangan sakit, Ciki sayang...”

“Maaf,” ucapku. “Aku ingin ganti baju, Fer,” “Biar kubantu,”
“Apa?”
Ferdi menatapku aneh, “Ada masalah?”

Ah sial, kenapa jadi aku yang gugup begini?!

“T-tidak,”

Tanpa banyak bicara Ferdi berjalan ke lemari dan mengambil salah satu kaosnya beserta celana pendekku. Lalu ia menghampiriku lagi. Dilepasnya jaketku, lalu kaosku. Dipakaikan kaosnya ke tubuhku. Lalu ia melepas celanaku dan menggantinya dengan hotpants. Jantungku berdetak cepat. Aku benar-benar gugup. Tapi Ferdi langsung menyelimutiku.

“Kau sudah makan?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
“Biar kupesankan bubur untukmu,”
“Fer... bisakah kau yang membuatnya? Aku ingin memakan masakanmu,” Dia menatapku horor, “Cik... k-kau bisa masuk rumah sakit nanti,”

Aku menggeleng sambil tersenyum, “Kalau begitu jangan buat aku masuk rumah sakit,”

Ferdi menatapku ragu. “Ba-baiklah, akan kucoba...” “Aku juga ingin teh hangat, Fer...” pintaku manja.

“Tunggu sebentar,” ia mengusap rambutku lembut lalu mengecup bibirku kilat dan beranjak pergi.

Aku masih menatap pintu tempat sosoknya menghilang. Oh tuhan, aku benar-benar mencintainya. Tidak ada nafsu yang terlihat saat ia membantuku berganti pakaian. Bukan hanya tubuhku yang diinginkannya. Bolehkah aku bahagia atas kenyataan ini?

Ferdi membuatkanku teh hangat sampai jarinya memerah tersiram air panas. Lalu ia juga memasakkan bubur untukku dan rasanya lumayan meskipun sedikit encer. Aku bisa mendengar suara-suara panci yang berjatuhan ketika ia memasak. Dia benar-benar-benar berusaha.

Setelah makan, aku tertidur. Sakit perutku sudah hilang, sebenarnya efek obat pencuci perut itu hanya satu jam saja. apalagi tadi aku sudah meminum obat penghilang rasa sakit.

Aku terbangun saat hari sudah malam. Kulirik jam di meja lampu. Jam setengah dua belas kurang. Tidak ada Ferdi disampingku. Dimana dia? Aku turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. aku melihat rumah ini rapi, tidak biasanya.

Pasti dia yang membereskannya. Aku juga melihat tumpukan pakaian terlipat rapi di sofa. Astaga... Dia juga mencuci pakaian? Tapi di mana dia sekarang?

Aku masuk ke dapur dan kulihat ia ada di sana. Sedang duduk di kursi makan, tertidur sambil masih memegang lap meja. Kulihat semua piring-piring bersih. Kutengok tempat sampah dan mendapati ada pecahan mangkok. Aku tersenyum melihatnya. Dia benar-benar berusaha keras.

Aku duduk di kursi sampingnya. Kurapikan rambut di dahinya. Kubelai lembut lalu kukecup pipinya. Ia bergerak pelan lalu mengerjap.

“Ciki...”

“Kenapa tidur disini?” bisikku pelan.

“Oh?” dia bangun sambil mengucek matanya “Aku tertidur?” tanyanya balik.

Aku hanya tersenyum melihatnya. Tiba-tiba ia tersentak, “Bagaimana perutmu? Sudah lebih baik?”

“Sudah tidak sakit,” jawabku pelan.

Kruuuyuuuukkk...

Kami berdua terdiam. Aku menatapnya dengan salah satu alis terangkat. “Kau belum makan?” tanyaku.

Dia meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Aku beranjak dan menghampiri kompor. “Biar kubuatkan mie untukmu,” “Tapi kau sedang sakit,”
“Aku baik-baik saja, Fer. Duduklah dan tunggu,”
Ia menuruti kata-kataku. Kubuatkan mie untuknya.

“Makanlah,” ujarku sambil meletakkan semangkok mie goreng di hadapannya. “Suapi...” rengeknya.

Dia kembali menjadi Ferdiku yang manja. Sangat menggemaskan. Kusuapi ia hingga habis lalu kucuci mangkok itu dan kembali kepadanya. Aku duduk diatas pangkuannya sambil memeluk lehernya.

“Happy aniversary, Fer, aku mencintaimu...” bisikku pelan.

Dia mengerjap kaget. “Aniversary? Cik... maaf... tadi aku ingin memberikanmu sesuatu, tapi tiba-tiba saja kau sakit dan... aku lupa...”
Wajahnya terlihat sangat sedih.

Aku tersenyum “Apa yang kau lakukan hari ini adalah kado terbaik untukku, terima kasih...” kukecup pipinya.

“Tapi...”
“Dengarkan aku, Fer, sebenarnya aku tidak sakit. Aku hanya berpura-pura,” “Apa?”
“Well, memang sedikit sakit, aku meminum pil pencuci perut tadi,” “Kenapa?” tanyanya bingung.

“Aku ingin melihat ketulusan suamiku, dan aku benar-benar bahagia bisa menyandang namamu di depan namaku. Kau mau berlari untuk mendapatkan obat. Kau membantuku berganti pakaian tanpa bernafsu sedikitpun pada tubuhku. Kau membuatkanku teh hingga tersiram air panas.

Kau membersihkan rumah agar aku tidak kelelahan, kau berusaha membuatkanku bubur... Aku tidak meminta apapun darimu, Fer, aku bukan wanita yang menyukai barang-barang tertentu, tidak perlu kau berikan apa-apa untukku. Ketulusanmu sudah menjadi kado yang terindah untukku.”

Dia diam menatapku tapi kemudian meraih daguku dan melumat bibirku sebentar.

“Dan aku juga akan memberikanmu sesuatu yang tidak bisa kau dapatkan sendiri,” lanjutku. Kudekatkan bibirku pada telingannya “Aku melepas alat pencegah kehamilanku tadi...” bisikku pelan.

Ia menatapku lalu tersenyum lebar, “Kalau begitu cepat berikan kadoku,” balasnya lalu mengecup bibirku bertubi-tubi hingga aku harus memeluk lehernya erat-erat agar tidak terjatuh.

“Mmhh... Fer.. pelan-pelan...” bisikku disela kecupannya.

Ia mengehentikan kecupannya tanpa menjauhkan wajahnya. “Aku sangat bahagia, Cik... terima kasih sudah menjadi istriku, happy Aniversary...” bisiknya pelan lalu mengecup bibirku lagi.

Kali ini kutahan tengkuknya, membuat ciuman ini lebih lama. Dilumatnya pelan bibirku. Teramat sangat pelan. Ciuman terlembut yang pernah kurasakan darinya. Ia menyapu bibirku dengan hati-hati seolah bibirku mudah luka. Begitu halus. Membuatku menikmati setiap gerakan pangutnya.

“Hmmhh...” ia menghisap bibirku pelan, mengulumnya. “Hhhh...” deru nafasnya terdengar merdu. Membuat jantungku berdetak cepat. Kuremas rambut halusnya. Bunyi decakan-decakan bibir kami seperti alunan musik yang menggairahkan.

Tangan Ferdi menyusup ke dalam kaosku dan mengusap punggungku, membuatku berjengit saat kulit kami bersentuhan. “Haahhh... mmm...” Ferdi membuka mulutku dengan bibirnya lalu menyusupkan lidahnya ke dalam mulutku. Menjilat lidahku, mencampur air liur kami.

“Nghhh...” nafasku mulai tersengal. Aku menggeliat pelan dalam pelukannya.

Ferdi menghentikan ciumannya tanpa menjauhkan wajah. Memberiku nafas. “Rasa mie goreng,” bisikku pelan dan ia tertawa.

Bibirnya kembali mengecupi daguku. Turun menjelajahi kulit leherku. Aku mendongak membiarkan bibirnya menyapu leherku. Bibir lembutnya terasa hangat dan membuat geli. Lalu ia mengangkat kaosku dan melepasnya. Ia memeluk tubuhku sambil membenamkan wajahnya di leherku.

Deru nafasnya hangat. Sejenak kami menikmati suara detak jantung ini bersama. Lalu teramat pelan, bibirnya kembali bergerak mengecup leher dan membuat jejak merah di bahuku.

“Hmmhh...” tangannya merayap di punggungku, melepas kaitan braku dan menyingkirkan benda itu dari tubuhku. Kutarik kaosnya hingga terlepas dan membuangnya. Kupeluk erat lehernya, menghilangkan jarak diantara kami. Ada sensasi aneh saat payudaraku menempel di dada telanjangnya.

“Mmmhhh...” nafas Ferdi mulai berat. Bibirnya turun ke bawah menjilati belahan dadaku. Kutarik wajahnya lalu kukecup kulit lehernya. “Aaagh...” ia mendesah tertahan. Kukecupi lehernya dan kuhisap jakunnya yang bergerak-gerak.

“Hmmm... aaah...” aku mendesah keras saat jemarinya memilin putingku kuat. Kuusap perutnya pelan bersama bibirku yang turun lalu mengulum salah satu putingnya.

“Ohhh... terus, Sayang...” desahnya membuat perutku bergejolak. Vaginaku mulai berkedut-kedut cepat.

“Hmmmhh...” tiba-tiba Ferdi mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja makan sementara ia masih duduk di kursi di hadapanku. Ia memeluk pinggangku sambil membenamkan wajahnya di perutku. Nafasnya terasa hangat. Kami diam sejenak. Kuusap-usap kepalanya.

“Aaahh...” aku mendesah saat tangannya meraba pinggangku lembut lalu berusaha melepas kaitan hotpantsku. Dilepasnya hotpantsku bersama celana dalamku.

Aku mengangkat tubuhku sedikit memudahkannya menarik hotpantsku. Begitu tidak ada sehelai benang lagi yang menutupi tubuhku, ia mengangkat kakiku naik ke atas meja, membukanya lebar-lebar hingga vaginaku terbuka.

“Hnghhh...” aku meremas kuat rambutnya saat ia menghembuskan nafas hangatnya di lorong vaginaku.

“Ooohhh... Ferr...” ia mengecup lembut daging vaginaku, menjilatinya, melumuri dengan air liurnya. Lidahnya menari-nari di vaginaku. Dibelahnya lipitan daging vaginaku yang memerah sebelum menjilati klitorisku.

“Aaaahhh... sshhh...” aku mendesis. Vaginaku semakin berkedut cepat. Dikulumnya klitorisku. Dihisapinya pelan. “Hnghhh...” Bunyi decakan bibirnya di vaginaku menggema di dapur kami. Aku terus menggeliat merasakan tarian lidahnya.

Setelah puas mengulum klitorisku dan membuat vaginaku membengkak, lidahnya turun menyapu lubang vaginaku. “Ooohhh... hhhh...” aku mengerang nikmat. Lidahnya yang basah terasa lembut.

”Hmmmhh... sshh... Ferr... aaah...” dijilatinya lubang vaginaku seperti anjing yang sedang menjilati susu. Aku hanya bisa merintih dan meremas rambutnya kuat-kuat.

Setelah membuat vaginaku becek dengan air liurnya, ia kembali membenamkan wajahnya di perutku. “Aaagh...” aku memekik pelan saat sebuah jari tiba-tiba saja memasuki lubang vaginaku.

“Uuugh... aaahh...” jari itu bertambah dan mulai bergerak mengocok lubangku dengan tempo sedang. Bibir Ferdi ikut bergerak membuat cupang di perutku.

“Aaahh... oohh... Ferr...” aku menggeliat-liat saat jarinya semakin cepat bergerak di lubangku. “Sssshh... aah... aaaagghh...” aku melenguh dengan nafas tersengal. Cairan putih kental keluar melumuri tangan Ferdi.

Ferdi lalu mendorong tubuhku untuk rebah di atas meja makan. Ia berdiri melepas celananya sendiri, lalu mengecupi dadaku lagi. Mengulum putingku.

“Hnghhh...” aku kembali mendesah merasakan mulutnya yang menyedot-nyedot putingku. Kutarik tangannya lalu kukulum jarinya yang masih berbekas cairanku.

“Hmmhhh...” dihisap-hisapnya putingku sambil memutar-mutar dengan lidahnya.

“Hnghhhh... sshhh...” kuhisap kuat-kuat jarinya saat penisnya menggesek-gesek vaginaku pelan. meratakan cairanku yang baru saja keluar. Kakiku otomatis merenggang semakin lebar. Ferdi ganti menjilati putingku yang satunya sambil mendorong penisnya masuk ke dalam lubangku.

“Aaagh... ngghh...” aku meringis pelan.

“Auugghhh...” desahku lega saat penisnya masuk seluruhnya. Vaginaku terasa sesak dan terus berkedut. Kupeluk leher Ferdi untuk mengusap punggungnya yang basah oleh keringat.

“Hnghhh... aaah... aaahh...” bibirku mulai mendesah dan meringis merasakan ngilu saat ia mulai bergerak pelan.

“Hmmh... sshh...” ia menyapukan ujung hidungnya di rahangku berkali-kali. Membiarkanku mendengar desahnya yang merdu.

“Hnghh... aah... Ferr... sshh...” aku mengimbangi gerakannya dengan arah yang berlawanan.

“Uuughh... enak, Cik... ssshh...” racaunya. “Aaaahh... ooohh... nghhh...” balasku.

Ferdi mempercepat gerakannya. Penisnya menghentak-hentak kuat membentur dinding rahimku, menyentuh titikku, menggesek dinding vaginaku, dan menyebabkan bibir vaginaku ikut tertarik hentakannya.

“Hnghhh... aaahh...” Bagian bawah perutku terasa dikocok kuat. Sangat nikmat. Vaginaku terasa semakin sesak. Tubuhku terguncang-guncang hingga aku takut meja ini akan roboh nantinya.
“Sssshhh... nghhh... lebih dalam, Fer... aahh...”

“Aaahh... aaah... uuughh... hhhh...” Ferdi semakin cepat menghentakkan pinggulnya.

“Ooohhh... nghhhh... aaahh... aah...” aku tambah merintih.

“Cik... uuugghh... ssshhh...” Ferdi menghujamkan penisnya semakin dalam.

“A-aku... shhh... nghhhh... aaahh...” nafasku tersengal tak sanggup bicara. Hanya mulutku yang mendesah menikmatinya. Ada yang ingin meledak. Bagian bawah perutku rasanya terlalu penuh.

“Ooohh... ssshh... uuughh... aaaaaaagghh...” aku melenguh panjang, membiarkan cairanku keluar membasahi penisnya, membuat vaginaku semakin becek hingga bunyi benturan alat kelamin kami terdengar jelas.

“Aaaghh... nghh... ssshhh... hhhh...” Ferdi semakin kuat mendorong-dorong penisnya hingga akhirnya dihujamkannya dalam-dalam disertai lenguhan panjangnya, “Aaaaaaaaaggghhh...”

Terasa ada yang mengalir di bawah perutku. Sangat nikmat. Kami berdua mengatur nafas sejenak. Kemudian Ferdi mengangkat tubuhnya tanpa melepaskan penisnya. Ia menatap perutku, disentuhnya lembut dengan tangan. Aku tersenyum sambil memegang punggung tangannya.

“Dia akan ada disini nanti...” bisiknya. Aku benar-benar terharu dia menginginkan seorang bayi dariku.

“Once more?” katanya tiba-tiba lalu menarik tubuhku hingga turun dari meja. Ia duduk di kursi lalu mengarahkan tanganku pada batang penisnya. “Aaahh... hhh...” ia mendesah saat tanganku meremas lembut penisnya. Kepalanya terangkat ke atas dan ia memejamkan mata nikmat. Kukocok pelan juniornya yang lengket.

“Aaarrghh...” ia mengerang tertahan. Lalu kukulum biji pelirnya, kujilati dan kusedot kuat-kuat. Penisnya mulai menegang lagi. Lalu mulai kukocok dengan cepat. Dan Ferdi mulai meracau, “Aaah... terus, Cik... ooohhh...”

Penisnya semakin membesar, lalu kukecup ujungnya lembut. “Oooohhh... hhh...” ia merintih. Testisnya mulai mengkerut, ada lendir bening yang keluar dari ujungnya. Kujilat dengan lidahku.

“Uuuughhh... aaah... itu nikmat, Cik... ssshhh...” erangnya.

“Hmmmhh...” kuhisap ujung penisnya, kubelah testisnya dengan lidahku, kumasukkan ujung lidahku ke lubangnya.

“Oooohh... Cikii... aaahhh...” ia meremas kuat rambutku.

Kumasukkan penisnya ke dalam mulutku hingga penuh lalu mulai mengulumnya pelan, melumurinya dengan air liurku. “Hnghhhh... ssshhh... yeahhh... aaahh...” Ferdi semakin merintih.

“Hmmmhh... hhhh....” kupercepat kulumanku. Dapat kurasakan urat-urat penisnya yang kasar.

“Aaaahh... nghhh...” Ferdi mengerang saat batangnya kuhisap kuat-kuat. “Aaaaaagghhh...” Tiba-tiba ia menarikku berdiri hingga penisnya terlepas dari mulutku. Ia menuntunku untuk duduk di pangkuannya. Aku mengerti apa maksudnya. Segera kumasukkan ujung penisnya perlahan ke dalam lubang vaginaku sementara ia mengulum putingku.

“Aaaahhh...” aku mendesah pelan saat penisnya kembali masuk seluruhnya. Kupeluk lehernya, meremas rambutnya dan menekan kepalanya agar semakin dalam mengulum putingku.

“Hmmhh...” bunyi decakan dari bibirnya mulai terdengar.

Kugerakkan pinggulku perlahan naik turun di atas pangkuannya. “Ssssh... aaah... aaah...” rasa nikmat itu menjalar kembali disekujur tubuhku.

“Hmmhh... aaaahhh... lebih cepat, Cik...” ia meminta.
“Hnghhh... uuughh...” kupercepat gerakanku.
“Sssshhhh... aaahhhh... oooohhh...” Ferdi ikut menggerakkan pinggulnya.

“Hnghhh... Ferr... ooohh...” ia memegang pinggangku. Sentuhannya seperti aliran listrik yang menyetrum tubuhku. Aku lelah, kursi ini terlalu tinggi, gerakanku jadi semakin melambat.

“Berbaliklah...” bisik Ferdi. Dia sangat mengerti.

Aku pun turun dari pangkuannya dan berbalik, membungkukkan badan, bertumpu pada meja makan. Ferdi meremas pantatku pelan lalu mulai mendorong penisnya memasuki vaginaku kembali.

“Uuugghh... aaaahhhh...” desahku pelan.
“Sssshhh...” ia diam sebentar lalu mulai bergerak mendorong keluar masuk batang

“Hnghhhh... aaaahhh... Ferr... ssshhh...” aku kembali merintih.

“Aaaaahh... aaahh... ssshhh... hhhh...” gerakan Ferdi semakin cepat. Kurasakan bibirnya mengecupi punggungku.

“Hnghhh... ssshh... uuughh... ooohh...” ia membuat banyak cupangan di tengkuk dan punggungku.

“Hnghaah... aaaah... shhhhh...” dihentakkannya dengan kuat batang penisnya hingga meja makan kami berderit.

“Uuuughh... ooohh... aaahhhh... aaaahhh...” bunyi benturan alat kelamin kami semakin keras, melebur bersama bunyi decakan bibirnya.

“Aaah... Ferr... nghhhh... lebih dalam... haahhh...” rintihku.

Ia semakin memperdalam hentakannya, penisnya menekan-nekan G-spotku dengan kuat, membuat vaginaku berkedut-kedut ingin memuntahkan cairannya.

“Nghhh... aaahhh... hhhh...” aku semakin merintih.

“Hmmh... aaaahhh... nghhh... oohh...” Ferdi membalas tak kalah nikmat.

“Ferr... aku... aaahh... aaaaaaaagghh...” cairanku keluar beserta lenguhanku. Melumuri penis Ferdi yang masih mengocok vaginaku yang berdenyut kuat kencang.

“Sssshhhh... ooohhh... nghhh...” ia semakin mempercepat gerakannya, lalu menghujamkannya dalam-dalam. “Ssssh... aaaaaaaaaaggghhhhh... uuuhh...” Ferdi melenguh panjang dan memuntahkan spermanya di dalam rahimku. Rasanya hangat...

Vaginaku masih berdenyut-denyut. Kunikmati sisa-sisa orgasme kami. “Lelah?” bisik Ferdi di telingaku.
“Hmmm...” aku hanya mengangguk pelan, masih memejamkan mata.

Tiba-tiba tubuhku terangkat. Ia menggendongku. Tidak lama kemudian aku merasakan tempat tidurku yang nyaman. Ferdi menyelimuti tubuh kami lalu tidur sambil memelukku dari belakang.

“Terima kasih sudah menjadi istriku,” bisiknya pelan.

“Hmmm... aku juga bersyukur sekali memiliki suami sepertimu, Fer.” gumamku.

“Sama-sama, sekarang tidurlah,” ia mengecup lembut pipiku dan kami mulai bermimpi...
Cerita Dewasa Pengantin Baru VII - Terima Kasih Suamiku Cerita Dewasa Pengantin Baru VII - Terima Kasih Suamiku Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.