Cerita Dewasa Pengantin Baru VI - Jauhi Istriku

Cerita Dewasa Pengantin Baru VI - Jauhi Istriku - “Feerr!!! Bukakan pintuu!!!”

Aku yang sedang memotret Ferdi tersentak kaget saat mendengar seseorang menggedor-gedor pintu rumahku. Cepat-cepat aku turun dari tempat tidur dan berjalan cepat untuk membukakan pintu. Tapi sebelumnya kupakai dulu bajuku karena seperti biasa, aku tidur dengan tubuh telanjang. Kami habis melakukannya semalam. Empat kali.

“Karina?” tanyaku bingung saat mendapati gadis itu ada di depan pintu rumahku sambil membawa sebuah koper besar.

“Oh... selamat pagi, Cik. Maaf mengganggu kalian, dimana Ferdi?” tanyanya cepat. “Dia masih tidur,” jawabku.

“Hm, begitu ya... biar kubangunkan!!” sahutnya sambil ngeloyor masuk ke dalam kamarku.

Aku tahu, setelah ini pasti akan ada bencana, dan itu sangat menarik. Haha... aku senang melihat kedua iblis itu bertengkar.

“ADUH, FER!! LEPASKAN AKU!!” teriak Karina.

“HUWAAAAAA... KENAPA KAU ADA DISINI?” pekik Ferdi kaget.

Aku ikut masuk ke dalam kamar dan melihat Karina melempar-lempar bantal ke arah Ferdi.

“KAMU PORNO IHH!!” teriak karina yang melihat tubuh telanjang Ferdi.

“TIDAK MUNGKIN CITRA BERUBAH MENJADI KAMU!! DIMANA ISTRIKUUU??” ancam Ferdi, sudah terbangun sepenuhnya. Begitu juga dengan penisnya, tampak sudah menegang panjang sekarang. Hal lumrah yang terjadi setiap pagi.

“MEMANG TIDAK MUNGKIN!! TUTUPI ITUMU, DASAR MESUM!!” geram Karina dengan muka memerah.

“Ada apa, Fer? Aku disini!!” sahutku pelan dari depan pintu, tersenyum melihat keadaannya.

Dengan bertutupkan selimut, Ferdi langsung turun dari tempat tidur lalu berlari dan memelukku erat. “Kenapa dia bisa muncul disini?” tanyanya menunjuk pada Karina.

“Antarkan aku ke bandara, aku mau pulang pagi ini!!” potong Karina sebelum aku sempat menjawab.

Ferdi mendelik, “Kenapa aku? Pergi saja sendiri!!”
“Aku akan tetap mengikutimu kalau kau tidak mengantarkanku!!” tandas Karina.

Aku tertawa. Rasakan, Fer. Biasanya kau selalu memaksa, sekarang kau yang dipaksa. Hahahah...

“Hanya karena aku merusak acara valentinmu, kau tidak bisa menindasku seperti ini!!” kata Ferdi.

Oh, aku lupa cerita. Saat hari valentine kemarin, Karina mempertaruhkan hidupnya untuk membuat choklat khusus bagi Zakky, tunangannya. Oke, aku berlebihan. Tapi bagi seorang Karina yang sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan dapur, itu sama saja dengan mempertaruhkan hidupnya.

Dan setelah perjuangan yang panjang dengan coklat-coklat gagal, akhirnya dia bisa membuat cokelat yang bisa dibilang tidak akan keracunan jika dimakan. Tapi Ferdi dengan sadisnya malah membagikan coklat itu pada anak-anak kecil di TK sebelah rumah.

Memang Zakky juga ikut memakannya, tapi ia hanya memakan sisa, potongan kecil yang sudah habis dalam sekali telan. Tragis? Benar-benar tragis. Karena kejadian itulah Karina menangis hingga dua hari dan terus mengutuk Ferdi. Tapi ya, gadis

itu tidak bisa marah pada Ferdi karena dulu sudah pernah mengerjai kami hingga sampai hampir berpisah. Menurutnya aku tidak bisa disamakan dengan coklat.

“Aku tidak menerima alasan apapun!!” tegas Karina penuh tekad. Aku tertawa semakin keras. Mereka sangat mirip.

Ferdi mengerucutkan bibirnya, menatap Karina dengan kesal. “Kalau aku mengantarmu ke bandara, kau tidak akan muncul lagi bukan?” tanyanya memastikan.

“Ya begitulah, kecuali jika saat liburan aku ingin kemari,” kata Karina.

“Semoga kau tidak ingin lagi kemari,” balas Ferdi. ”Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu!!” dengusnya kesal sambil berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

<hr />

Aku mengirimkan pesan singkat pada Ferdi kalau aku pergi ke kampus setelah menyiapkan makanan untuknya. Hari ini aku ada dua kelas dan nanti siang, aku harus mengerjakan tugasku kembali bersama yang lain.

Masih tersisa waktu setengah jam sebelum kelas dimulai. Kuputuskan untuk ke perpustakaan dulu. Aku melihat gerombolan gadis-gadis saat aku menyusuri koridor lantai satu. Tapi aku tidak terlalu memperhatikannya.

“Citra!!! Ciki?!!”

Langkahku terhenti begitu mendengar suara panggilan itu. Aku berbalik dan menatap bingung. Tiba-tiba muncul diantara gerombolan gadis-gadis itu seorang laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Lalu ia berjalan cepat ke arahku dan greeep... Dia memelukku erat.

“Cik, apa kabar?“ ucapnya lalu melepaskan pelukannya dan menatapku gembira. “Ternyata benar ini kau,” katanya kemudian.

“A-Azka?” tanyaku ragu.
“Ternyata kau kuliah di sini, woww... sangat kereeen...” “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku bingung.

“Aku sedang menunggu temanku, kami berjanji untuk latihan karate bersama. Tidak kusangka aku malah bertemu denganmu...” ia memelukku erat kembali sambil menggoyangkan tubuhku ke kiri dan ke kanan. Persis seperti anak kecil, aku jadi sangat malu jadinya.

“Eheem!!” suara itu terdengar cukup keras, membuatku tersentak dan langsung memucat begitu tahu siapa yang berdiri di hadapanku.

“Az, lepaskan aku!!” kataku.
“Tidak...” tolaknya masih sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Matilah aku!!

“Maaf, sepertinya anda harus meminta ijin dulu jika ingin memeluk wanita yang sudah bersuami!!”

Azka berhenti bergerak lalu melepaskan pelukannya dan berbalik dengan tampang tidak berdosa. “Siapa kau?” tanyanya dengan tenang.

Ferdi tersenyum manis. Amat sangat manis, membuatku merinding dan yakin bahwa itu adalah aura setan. “Kenalkan, aku Ferdi, suami dari Citra Kirana!”

“Ah, jangan bercanda seperti itu!!” Azka memukul lengan Ferdi ringan sambil tertawa. “Kau suaminya? Itu sangat lucu... hahahh... dengar ya, Ciki ini sudah setuju untuk menikah denganku dulu,” Tanpa takut sedikitpun, Azka malah melingkarkan lengannya memeluk bahuku dan mencubit-cubit pipiku.

Astaga... apa ia belum tahu kalau aku sudah panas dingin seperti ini? “Azka, hen-hentikan...” aku meminta.

“Kau sangat menggemaskan jika malu seperti ini, Cik,” balas Azka, tetap cool. “Sangat romantis,” komentar Ferdi dingin lalu berbalik dan melangkah pergi.

Astaga, apa itu tadi? Tatapan itu... tatapan terluka? “Fer, tunggu!! HEI...!!” aku berusaha melepaskan lengan Azka, tapi rupanya laki-laki itu tidak bisa diajak bekerja sama.

“Az, lepaskan aku!!” teriakku kesal.
Dia malah tertawa. “Kau manis sekali,Cik.” sahutnya.

Aku berdecak kesal lalu menoleh menatap Ferdi yang sudah menjauh. Dan aku baru sadar, gerombolan gadis-gadis itu masih ada di sana. Kini mereka menatapku dengan pandangan sinis. Tiba-tiba aku tersentak sambil menatap ponselku. “Oh tidak, aku terlambat!!” jeritku panik lalu berlari pergi.

<hr />

“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa belum pergi?” tanyaku bingung saat melihat Azka sedang berjongkok di depan gedung sastra sambil memutar-mutar bola basket ketika aku keluar dari kelas.

Dia langsung tersenyum lebar dan berdiri begitu melihatku. “Aku menunggumu... dulu kau menghilang begitu saja, aku mencarimu kemana-mana tapi tidak kutemukan,”

Saat ini, sedikit terselip kerinduanku terhadap laki-laki ini. Laki-laki yang menjadi temanku menghabiskan masa kecil. Azka Nur Hikam. Aku mengajaknya makan di cafetaria. Dia masih belum berubah. Cara makannya masih sama seperti yang dulu. Seperti bocah yang tidak makan berhari-hari. Menjejalkan apa saja langsung ke dalam mulutnya.

“Kau tidak kuliah?” tanyaku.

Ia menggeleng pelan. “Akhir tahun ini aku mau daftar tentara,” jawabnya dengan mulut penuh. Tiba-tiba sumpitnya terjatuh. Ia memungutnya lalu mengemutnya, membuatku berdesis jijik. Ternyata dia masih tetap jorok.

“Kau sama sekali tidak berubah,” komentarku.

“Kau juga tidak berubah,” balasnya masih asyik makan “Kau masih berpenampilan sama, tetap cantik dan seksi. Dan ngomong-ngomong, rambutmu lebih bagus kalau diurai, dan cobalah memakai rok mini atau higheels, kau pasti terlihat semakin cantik,”

“Tidak ada yang perlu kurubah,” jawabku dingin. “tampil seperti itu hanya akan kulakukan di depan suamiku!!”

BUURRRSS...!!!

“Huahahahh...” Azka tergelak.

“Aku serius!!” kataku kesal.

Dia menghentikan tawanya saat melihatku menatapnya tajam dengan muka penuh nasi hasil semburannya. Benar-benar menjijikkan.

<hr />

Aku pulang ke rumah ketika hari menjelang sore. Mengapa rumah terlihat sepi? Kemana Ferdi? Perasaan cemas mulai menghantuiku. Psp-nya terlihat menggeletak di meja tengah. Kemana dia? Kubuka kamar kami tapi kosong. Lalu aku berjalan menuju halaman belakang.

Dia ada di sana sedang mencuci mobil. Wajahnya terlihat sangat kesal. Digosoknya mobil itu sekuat tenaga. Bajunya setengah basah. Aku menahan tawa melihatnya.

Kalian tahu, dia menjadi sangat rajin jika sedang kesal hahah... sangat menggemaskan bukan.

Aku kembali masuk ke dalam rumah dan menukar pakaian. Kulepas bajuku lalu mengikat rambutku. Kukenakan kaos Ferdi yang kebesaran dan hotpans mini milikku lalu pergi ke halaman belakang. Dia tidak menyadari keberadaanku.

Ferdi sedang membilas mobil dengan air saat aku menghampirinya. Dia terlihat sangat err... hmm, bagaimana ya menjelaskannya? Rambutnya basah oleh air yang menetes-netes. Kupeluk ia dari belakang.

“HEI!” dia tersentak kaget.

Kusandarkan daguku pada bahunya. “Mengapa tadi pergi begitu saja?” bisikku pelan, penuh kemesraan.

Ia diam. Tidak bergerak juga tidak bersuara. Aku tahu dia benar-benar marah kali ini, dan terus terang saja aku lebih suka melihatnya berteriak-teriak tidak jelas daripada harus seperti ini.

Ferdi menghela nafas. “Lepaskan aku, Cik,” balasnya.

Aku mempererat pelukanku. Entahlah, kenapa aku ingin sekali menggodanya. Dia terlihat sangat lucu. Kukecup lehernya lembut sambil menghembuskan nafasku. “Seharusnya kau menarikku pergi, bukan malah meninggalkanku,” kataku.

“Kurasa kau akan lebih senang bila bersamanya,” sahutnya dingin.

“Benarkah?” bisikku sambil menyusupkan tanganku ke dalam kaosnya yang basah. Mengusap perutnya. Tubuhnya menegang. Aku tahu ia sedang menahan nafas.

“Kalian akrab sekali...” kata Ferdi dengan suara tertahan.

Kukecupi leher dan tengkuknya, kuhisap pelan. “Aku lebih akrab denganmu, Fer... mmmhh...”

Dia menjatuhkan slang air dan melepas pelukanku dengan kasar lalu menarik tubuhku ke hadapannya hingga membentur kap mobil, membuat hotpants dan kaos belakangku menjadi basah.

“Hmmpff...” dilumatnya bibirku dengan kasar. Meluapkan amarahnya. Juga ditekannya kuat bibirku, tidak memberiku kesempatan untuk membalasnya barang sedetikpun.

“Hmmpff... Fer!” ia menghisap bibir bawahku dengan kuat. Memaksa mulutku untuk terbuka dan langsung meneroboskan lidahnya ke dalam rongga mulutku.

Ciumannya menjadi semakin liar. Tidak ada jeda yang diberikannya hingga nafasku tersengal. Aku mencengkeram bahunya kuat-kuat. “Fer... mmff...” Nafasku habis tapi ia memegang kepalaku kuat-kuat dan tidak mengijinkanku bergerak sedikitpun. Dadaku terasa sakit. Aku butuh bernafas. Dia menghukumku, aku tahu itu.

Akhirnya kulepas paksa ciuman itu. Nafasku naik turun sementara Ferdi melepaskan wajahku dan membenamkan wajahnya ke dalam leherku. Tangannya beralih memeluk pinggangku. Kudekap kepalanya lembut. Untuk sejenak kami menetralkan nafas kami berdua.

“Maafkan aku...” bisikku mesra.
Ferdi mengangkat wajahnya, menyejajarkannya dengan wajahku. Nafas kami

beradu. “Kenapa tidak mengejarku?” bisiknya lalu mengecup bibirku lembut. “Kenapa tidak menghubungiku lewat ponsel?” bisiknya lagi lalu mengecup bibirku kembali.
“Mengapa mengabaikanku?” dikecupnya bibirku lagi, lagi dan lagi.

Kutahan tengkuknya lalu kulumat lembut bibirnya sebagai jawaban. Dia membalasnya lembut. Sama sekali berbeda dari yang tadi.

“Hhhmmhh...” desahnya, membuat tubuhku menegang. Ia mengangkatku untuk didudukkan ke atas kap mobil tanpa melepaskan ciuman kami.

Kulingkarkan kakiku ke pinggangnya. Memeluknya erat. Nafasku mulai tersengal saat ia semakin menekan dalam bibirku. Tangannya bergerak menyingkap kaosku ke atas lalu melepasnya. Bibirnya beralih ke leherku. Membuatku mendongak ke atas.

“Hnghh...” kuremas rambutnya yang setengah basah. Jantungku berdebar-debar lagi.

“Hmmhhh...” nafas Ferdi mulai berat. Ia mendorongku ke belakang hingga rebah di atas kap mobil. Membuat punggungku terasa dingin oleh air. Digigitinya telingaku, dikecupinya leher bawah telingaku. Bibirnya terasa lembut dan hangat. Ditelusurinya rahangku hingga ke dagu beberapa kali dengan hidung mancungnya. Aroma nafasnya membuatku menahan nafas.

“Hnghhh... Fer...” aku merintih.
“Jangan abaikan aku lagi...” bisiknya sambil mengelus-elus pinggang mulusku.

“Ooohh... Ferr... aaahh...” aku mendesah keras, sentuhannya membuat bagian vitalku berkedut-kedut cepat. Kususupkan tanganku ke dalam kaosnya yang basah. Kuusap pelan punggungnya.

“Hmmmhh...” Ferdi mencium keningku lama, lalu mataku, hidungku, bibirku, daguku dan terus merambat ke bawah. Leherku... dan membuat cupang di bahuku. Tangannya juga bergerak ke belakang melepas braku, lalu diremasnya kedua payudaraku yang kini tumbuh semakin besar.

“Ooohh... ssshh...” aku mendesis sambil menggeliat pelan, membuat vaginaku bergesekan dengan batang penisnya. “Aaahh... hhhh...” kutarik kaosnya hingga terlepas lalu meraba dadanya, kupilin putingnya pelan, kumainkan dengan jemariku.

“Aahh... ssshhh...” ia meremas kuat dadaku, lalu ikut memilin putingku. “Hmmhhh... hhh...” bibirnya bergerak turun ke bawah untuk mengulum putingku, menggantikan tangannya yang kini turun mengusap perutku lalu pinggangku.

“Eenghh... aahhhsssh...” aku menggeliat-liat sambil mendesis nikmat. Darahku sepertinya berdesir-desir di bawah kulit.

Dikulumnya putingku yang satunya lembut, dimainkannya dengan lidahnya. Lalu dihisap-hisapnya hingga mengeras. Aku menahan nafas hingga perutku tertekan ke dalam, membuat dadaku membusung. Perlahan, tangan Ferdi bergerak melepas hotpantsku sekaligus celana dalamnya.

“Aaahh... Fer... hhh...” kuremas rambutnya yang halus kuat-kuat saat hawa dingin udara menyapu vaginaku yang terbuka.

Bibir Ferdi turun ke bawah. Ia membenamkan wajahnya ke perutku. Nafas hangatnya menggelitik kulitku. Lama kami menikmati sensasinya. Lalu Ferdi menarik tubuhku hingga turun dari kap mobil. “Sentuh aku,” bisiknya tepat di telingaku.

Langsung kubenamkan wajahku ke dalam lehernya. Kuhirup aromanya kuat lalu kukecupi kulit lehernya. Kujilati jakunnya lama.

“Hhhh... ssshhh...” tangannya meremas-remas rambutku sementara tanganku bergerak mengusap punggungnya turun ke bawah dan melepas celana pendeknya perlahan beserta celana dalamnya. Ada sesuatu yang menggesek bagian bawahku saat penisnya terlepas dari kain yang membalutnya.

“Oooohh...” desahnya meningkatkan gairahku. Membuat darahku berdesir cepat hingga ke ujung kepala. Memacu detak jantungku.

Kuremas pelan pantatnya sementara bibirku masih sibuk mengecupi leher dan bahunya. Kukulum putingnya bersamaan dengan gerakan tanganku yang menyentuh batang penisnya.

“Aaaaagghh...” ia mengerang tertahan hingga tubuhnya melengkung. “Sssshh... hhhh...” aku mendesis saat tangannya mengelus-elus pinggangku.

“Ooohhh...” pekiknya saat tanganku meremas penisnya kuat. “Aaaahhh... hhh... ssshhh...” ia memejamkan mata sambil mendesis tepat di telingaku. Kuurut penisnya yang sudah menegang itu perlahan sambil menikmati putingnya yang sedang kuemut.

“Aaaghh... Ciki... ooohh...” ia menaikkan tubuhku ke atas kap mobil lagi lalu membaringkannya. Diangkatnya kedua kakiku dan dibukanya pahaku lebar-lebar.

“Aaarrghhh...” aku mengerang saat merasakan bibir lembutnya mengecup daging vaginaku. “Hngghhh... Ferr... ssshh...” tubuhku menggeliat tidak karuan. Kutarik salah satu tangannya lalu memasukkan jarinya ke dalam mulutku. Kukulum mesra penuh nafsu.

“Eenghhh... aaakh...” aku menjerit kecil saat ia menyedot kuat klitorisku. “Ooohh... aaahh... ssshhh...” mulutku mendesis begitu Ferdi menjilat-jilat seluruh bagian vaginaku, melumuri dengan air liurnya.

Ferdi menghentikan aktivitasnya di vaginaku, tubuhnya naik dan bibirnya mengulum putingku lagi. “Aaaahh... ssshhh...” aku merasakan penisnya menggesek-gesek vaginaku.

Ditariknya tubuhku hingga duduk. Kukecupi kulit lehernya sementara ia menjilati bahu dan tengkukku. “Aaahhh... aaakhh... ssshhh...” Penisnya mulai memasuki lubang vaginaku perlahan. Sensasi tarikan bibir vaginaku yang disebabkan oleh penisnya terasa ngilu sekaligus nikmat.

“Aaaahhh...” Ferdi mendesah pelan saat miliknya sudah terbenam semua ke dalam lubangku.

“Uuuughh... enghhh... aaahh... aaah...” aku mulai merintih saat ia menggerakkan pinggulnya dengan tempo lambat.

“Sssshhh... hhh... mmhh... aaahh...” ia mempercepat gerakannya. Urat-urat penisnya terasa kasar menggesek dinding vaginaku.

“Oooohh... aaah... ahhh... sshhh...” bunyi benturan alat kelamin kami terdengar jelas. Menambah kenikmatan persetubuhan ini.

Ferdi meraba pinggangku lagi. Membuatku mendesah semakin keras, “Eenghhhh...

hhh... aaahhh... Ferr...” Ia melumat bibirku, meredam suara desah dan rintihan kami. Digantikan dengan suara decakan bibir kami berdua.

“Hmmhh... mmm...” lidahnya bergerak-gerak mencari celah masuk ke dalam mulutku.

Aku segera membuka mulutku, membiarkannya masuk. “Hmmhhh... ssshhh...” Penisnya menghentak-hentak semakin cepat. Ujungnya membentur-bentur dinding rahimku. Kuremas-remas pantatnya, mendorongnya semakin dalam.

“Hmmhh... Ferr... lebih dalam- ooohhh...” aku merintih.

Ferdi melepaskan ciumannya lalu mendesah lagi, “Aaaahh... ssshhh... Cik... ooohhh...”

“Enak, Fer... aaahh... aah... uuughh... nghhh...” “Nnghhh... hhh... aaahhh... ssshhhh...”

Vaginaku terasa penuh sesak oleh batang penisnya yang membengkak. Perutku terasa seperti dikocok-kocok. Rasanya tidak tertahankan. Sensasi yang selalu kurasakan saat...

“Uuuughh... aaaaaaaaaaghhh...” lenguhku panjang bersamaan dengan cairanku yang mengalir keluar. Vaginaku menjadi semakin becek jadinya, membuat penis Ferdi semakin mudah menusuk-nusuk liar disana.

“Aaaahh... ngghhh... tu-tunggu sebentar...” ia menghentakkan penisnya semakin kuat, juga semakin dalam. “Sssshh... nghhhh... aaaaaaaaaagggghhh...” tubuhnya mengejang kaku bersamaan dengan spermanya yang mengalir hangat di dalam perutku. Sedikit geli, namun sangat nikmat.

Nafas kami memburu. Untuk sejenak kami saling mengatur nafas tanpa Ferdi melepaskan penisnya. “Hangatkan milikku, Sayang...” bisik Ferdi pelan sambil melepaskan penisnya.

Aku turun dari kap mobil sementara ia berbalik, bersandar pada mobil. Kuraba dadanya yang bidang lalu aku bergerak turun ke bawah dan berlutut di hadapannya. Kupegang penisnya dan ia mendesah pelan. Kukecup ujung tetisnya, membuat tubuhnya mengejang. Kukocok pelan dengan jemariku sambil aku menjilati biji pelirnya.

“Ooohh... ssshh... terus, Cik... ngghhh...” rintihnya sambil memejamkan mata, menikmati sentuhanku.

Kusedot-sedot biji pelirnya sambil kugigit-gigit kecil. “Hmmhh... mmm...”

“Aaaahh... ngghhh... enak sekali, Cik... hhhh...” rintihnya. Kupercepat kocokanku sambil mengecupi ujung penisnya lagi.

“Aaaakhh... uuugghh... nikmat, Sayang... nghhh...” Ferdi meracau tidak jelas. Penisnya mulai mengeluarkan lendir bening tanda terangsang. Kujilati dengan lidahku merasakan untuk asinnya, lalu mengulumnya lembut.

“Aaaagghh... ssshhh... aaaahhh...” ia mengerang tertahan saat kumasukkan penisnya ke dalam mulutku hingga penuh. Kukulum naik turun dengan tempo lambat dibantu oleh jemariku yang mengocok pangkalnya.

“Uuuughh... ssshhh... ngghhh... aaahhhh...” tangan Ferdi meremas kuat rambutku lalu medorong-dorong kepalaku agar mempercepat gerakan mulutku. Kuikuti keinginannya. Kupercepat gerakan mulutku sambil menyedot batangnya kuat-kuat.

“Yaahhh... terusss Cik... ooohhh...” Tiba-tiba saja ia menahan kepalaku. Melepas kulumanku pada penisnya lalu menarikku berdiri. Diarahkannya aku menghadap ke kap mobil dan ia memelukku dari belakang.

“Hmmhhh...” vaginaku berkedut-kedut cepat lagi saat bibirnya mengecupi tengkuk dan punggungku. Perlahan Ferdi mendorongku hingga tubuhku menyentuh kap mobil dengan posisi tengkurap. Tangannya mengelus-elus pinggangku, membuat gairahku naik. Suara decakan bibir dan nafasnya membuatku menggeliat pelan.

“Hnghhh... Ferr... sshhh...” Perlahan aku merasakan penisnya mulai menggesek-gesek vaginaku, mencari lubangnya yang mungil dan indah.

“Aaaghhh... enghhh... Ferdii...” rintihku saat miliknya mulai masuk lagi ke dalam punyaku.

“Hmmhhh... aaahhh...” desah Ferdi pelan saat penisnya sudah masuk lagi. Tanpa memberi jeda, ia langsung menggerakkan pinggulnya, menciptakan decakan dari benturan alat kelamin kami berdua.

“Aaaahhh... ssshhhh... mmmhhh...” aku memejamkan mata menikmati segala sentuhannya.

“Uuughh... asssshhh... nghhh...” desahannya seperti nyanyian dewa di telingaku. Dan aku ingin menjadi satu-satunya orang yang mendengarnya.

“Hngghhh... hhh... ooohhh...” ia menyusupkan tangannya ke bawah dadaku, meremas payudaraku pelan, memilin putingnya yang mungil kaku dengan dua jari.

“Hmmhhh... nhhh... ssshhhh...” dihentakkannya semakin cepat batang penisnya hingga membentur dinding rahimku dengan kuat. Menekan G-spotku.

“Aaagghh... uuugghh... Fer... hhh...” membuatku merintih keenakan berulang kali. “Cik... ooohh... ssshh... yeahhhh...” Ferdi ikut merintih.

Aku menoleh ke arahnya, dan ia segera mengecup bibirku. “Hmmhh...” Dikecupnya bibirku bertubi-tubi.

“Lebih dalam lagi, Fer... oohhh... ssshhh...” racauku.

Ferdi menurutinya, ia mendorong semakin kuat miliknya hingga perutku membentur-bentur kap mobil dan aku merasa mobil ini sudah bergeser beberapa puluh senti dari tempatnya semula.

“Fer... a-akuhh... nghhh... oohhh... aaaaaaaaggghh...”

“Aaaahh... aaaaaaaaggghhh...” lenguh kami bersamaan dengan orgasme kami. Cairanku keluar bersama spermanya yang kini memenuhi rahimku. Vaginaku berdenyut-denyut kuat sama seperti batang penisnya. Sensasi nikmat yang tidak pernah bosan kurasakan.

Tubuh kami melemas. Ferdi ambruk di atasku dengan nafas memburu. Kami melepas sejenak, menuruti rasa lelah.

***
“Cik, ceritakan tentang dia,” pinta Ferdi.

“Hhmm?” aku mengelus-elus rambutnya yang halus lalu menciumnya. Saat ini aku sedang tidur di ranjang, bersandar pada bantal yang lebih tinggi sementara Ferdi meletakkan kepalanya di dadaku dengan kedua lengan memeluk pinggangku. Aku mendekap kepalanya. Mengusap-usap rambut halusnya.

“Ceritakan padaku,” pintanya lagi.
“Kau ingin tahu tentangnya?” tanyaku untuk meyakinkan.

“Iya, aku ingin tahu tentangmu. Aku tidak suka dia lebih banyak tahu tentangmu dibanding aku,”

Aku tersenyum mendengarnya dan mulai bercerita tentang Azka Nur Hikam. Laki-laki yang lebih akrab kupanggil dengan nama Azka. Tetangga sekaligus teman masa kecilku. Kami selalu sekelas hingga saat itu tiba. Kecelakaan kedua orang tuaku.

Aku harus berpisah dengannya karena papa Ferdi, teman kerja ayahku, membawaku ke kota untuk tinggal bersama keluargannya. Dan sejak itulah aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Waktu itu aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan. Bagaimana bisa semuanya berubah secepat itu?! Yang kupikirkan saat itu hanya menyelesaikan sekolahku dan mencari pekerjaan hingga aku dapat hidup mandiri. Tapi sepertinya takdir berkata lain saat aku bertemu dengan Ferdi untuk pertama kalinya.

Azka laki-laki yang baik. Ia terlihat sangat ceria dan tanpa beban, tapi terkadang ia sangat jorok dan menyebalkan. Dia pintar karate sejak masih kecil. Saat aku sedih, ia pasti bercanda untuk menghiburku. Dia teman yang baik...

<hr />

“Fer, haruskah kau mengantarku hingga ke depan kelas?” keluhku saat suamiku itu memaksa untuk mengantarku ke kelas.

“Kenapa, kau tidak suka?” tanyanya tak peduli.

“Bukan... hanya saja, ini sedikit berlebihan,” kataku.

“Aku tidak perduli,” acuhnya sambil mempererat genggamannya pada tanganku.

“Ciki!!! Selamat pagi...” aku tersentak kaget saat seseorang memelukku dari belakang. Dari suaranya aku tahu pasti siapa dia.

“Hei, lepaskan!!” bentak Ferdi yang langsung menarikku ke belakang tubuhnya.

Azka menatap Ferdi dengan cemberut, “Kau galak sekali,”

“Az, apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kuliah!” tanyaku.

“Aku ingin bertemu denganmu...” senyumnya melebar. “Sudah dari tadi pagi aku menunggumu,” tambahnya lagi.

“Jangan gila!! Kau bisa membuat suamiku marah,” kataku.

“Kau sudah menikah? Apa peduliku?” jawabnya tanpa merasa bersalah, membuat wajah Ferdi menggelap dengan tatapan iblisnya.

“Bu Julia!!” panggil Ferdi tiba-tiba pada seorang dosen wanita yang berumur tiga puluhan yang kebetulan lewat di dekat kami.

“Kau memanggilku?” tanya dosen itu genit. Dari kabar yang kudengar, ia sangat menggilai mahasiswa yang tampan-tampan dan dia sendiri belum menikah hingga sekarang.

“Saya dengar ibu membutuhkan pelatih karate untuk pertunjukan bulan depan... kenalkan, ini temanku Azka. Dia ini sangat pintar karate,” kata Ferdi.

“Apa?!” Azka mengerjap kaget.

“Ya Tuhan, kau ganteng sekaliii...” dosen itu langsung mencubit pipi Azka.

“Kalau begitu saya permisi dulu, dia akan senang hati membantu ibu,” kata Ferdi cepat sambil membungkuk. Ia lalu menarik tanganku dan cepat-cepat pergi situ.

“HEI, SEJAK KAPAN AKU MENJADI TEMANMU?!” teriak Azka keras. Ia ingin pergi tapi Bu Julia langsung memeluknya erat-erat. “Ciki!!! CITRA!! TOLONG AKUUU!! HEI!!!”

Aku masih sempat melihatnya meronta-ronta dalam pelukan Bu Julia yang genit. “Fer, apakah itu tidak keterlaluan?” tanyaku cemas.

“Itu akibatnya jika ingin bermain-main denganku,” sahut Ferdi dengan senyum setannya. Dan baru kusadari betapa mengerikannya suamiku ini...
Cerita Dewasa Pengantin Baru VI - Jauhi Istriku Cerita Dewasa Pengantin Baru VI - Jauhi Istriku Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.