Cerita Dewasa Pengantin Baru VIII - Orang Ketiga Dalam Hubungan

Cerita Dewasa Pengantin Baru VIII - Orang Ketiga Dalam Hubungan - Aku membuka mataku pelan. Setelah menguap beberapa kali, kulirik tempat di sampingku. Kosong... tidak ada Ferdi di sana.

Kemarin sore ia harus ikut Papa untuk pergi ke pulau Bali. Pagi pertamaku tanpa dia ada di sisiku. Aaaaarrrgh... Entah kenapa rasanya sangat menyebalkan. Jadwalku menjadi kacau sekarang.

Yeah, seperti yang kalian tahu bagaimana rutinitas pagiku. Membuka mata, menatapnya lalu mengambil kamera dan memotretnya. Setelah itu terjadi pertengkaran kecil dan berakhir jika salah satu dari kami masuk ke dalam kamar mandi atau pergi ke dapur.

Tapi sekarang? Aku tidak bisa menatapnya, memotretnya bahkan bertengkar dengannya. Ahh... aku benci keadaan seperti ini. Kulirik ponselku di samping bantal. Kuambil benda itu dan mengeceknya. Tidak ada satupun pesan darinya. Apa aku harus menelponnya? Kurasa tidak, ia akan lebih senang jika tidurnya tidak diganggu.

Setelah meratapi pagiku ini beberapa saat, kuputuskan untuk bangun dan pergi ke kampus. Aku tidak bernafsu makan karena itu aku hanya minum segelas teh hangat.

Minuman favoritku mengingat aku sangat membenci susu. Berbeda dengan bocah setan yang sangat suka susu coklat itu. Ah, aku semakin merindukannya... Sial!!

“Cit!! Citra!! HEI, apa kau tidak mendengarku?” “Uh?” aku tersentak dan mengerjap kaget. “Ahh... ternyata benar,”

“I-iya, Sin, maaf,”

“Ada apa denganmu?” tanya Sinta kesal.

“Tidak ada apa-apa...” jawabku sambil tersenyum tipis.

“Sebelum ujian, Bu Julia menawarkan kepada kita untuk liburan di pulau Bali, kau mau ikut tidak?”

“Eh, Pulau Bali?”

“Iya, ini khusus kelas sastra dan kelompok drama. Tidak ada salahnya bersenang- senang sedikit sebelum ujian. Skripsimu sudah selesai bukan?”

“Hm, akan kupikirkan nanti, kapan acara itu diadakan?”
“Yang kudengar kita berangkat ke sana nanti sore,”
“Apa! Nanti sore?”
“Kalau kau tidak ingin terlambat sebaiknya sekarang kau pulang dan berkemas!”

Yeah, akhirnya aku ikut juga ke Pulau Bali. Aku belum memberitahu Ferdi soal ini. Mungkin saja aku bisa bertemu dengannya di sana. Daripada aku sendirian di rumah dan terus memikirkannya.

“Citra, kita sekamar!!” kata Rachel kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk kepadanya.

“Baiklah, kalian punya waktu bebas hari ini. Nanti sore kita berkumpul di pantai, ada pertanyaan?” tanya Bu Julia.

“Tidak, Bu.” jawab anak-anak serempak.

Aku melangkah ke taman villa, dan mendapati sebuah bangku di bawah pohon besar. Aku duduk di situ. Sejenak merasakan hembusan angin yang sejuk. Baunya agak asin karena di depan villa ini terbentang pasir pantai yang halus.

“Cik! Ciki!?”
Teriakan itu menyadarkanku. Aku mengerjap kaget dan melihat Azka sedang

berada di loby, sedang mencariku. “Kau yakin dia ikut?” tanyanya pada Alvin. “Aku melihatnya di sini tadi!!” jawab Alvin.

“Ciki?!” teriak Azka.

Aduh... kenapa sekarang dia jadi menempel terus kepadaku?! Sebelum bocah itu melihatku, cepat-cepat aku beranjak dari tempat dudukku dan keluar dari villa. Ini sudah hampir makan siang. Tidak ada salahnya jika aku mencoba masakan pulau ini. Setelah menyusuri cafe-cafe yang ada, aku berhenti di depan salah satu cafe. Sepertinya cafe ini lumayan.

“Kau mau makan di sini?” tanya seseorang.

Aku mengangguk pelan. “HEI, sedang apa kau di sini?” teriakku dengan mata mendelik saat melihat Azka sudah berdiri di sebelahku sambil tersenyum manis (baginya).

“Aku mencarimu dari tadi, ayo kita makan!!” sahutnya.

Aku memutar bola mataku dan berjalan masuk ke dalam cafe itu. Tunggu... Aku tidak sedang berhalusinasi bukan? Apa benar itu Ferdi?! Ferdi suamiku??

“Apa-apaan itu?” desis Azka.

“Az, diam!”

“Cik, kau ingin merusuh di tempat ini tidak?”

“Tidak, ayo kita makan saja dan mengabaikan mereka!! Pura-pura saja tidak melihat, setuju?”

Rasanya otakku kosong mendadak. Aku melihat Ferdi di sana, duduk di kursi tepi jendela dengan seorang gadis... Jepang? Yang bisa dibilang sepuluh kali lipat lebih cantik dariku, ah bukan, mungkin seratus kali lebih cantik.

Melihat gadis itu mengusap bibir Ferdi dengan tissue benar-benar pemandangan yang sangat-sangat menyakitkan mata. Aku berjalan pelan ke arah mereka. Tempat di sudut samping jendela, di belakang tempat mereka adalah tujuanku. Azka mengikutiku dengan senang hati.

“Cik, kau mau makan apa?” tanyanya.
Bruuuuusss... “Uhuk... uhuuuk...” Ferdi terbatuk-batuk setelah menyemburkan air

yang diminumnya dengan mata melotot setelah melihatku.
“Ferdi-kun, kau baik-baik saja?” tanya gadis itu cemas dengan suara merdunya.

“Cik... kau suka capcay bukan? Biar kupesankan untukmu,”
Aku tersenyum manis pada Azka.

“Kau selalu mengerti keinginanku,” ucapku padanya dan dibalas dengan belaian sayang di kepalaku. Kulirik Ferdi sementara Azka berbicara pada Waitters.

Astaga, wajahnya... benar-benar seperti dari dunia kegelapan. Jika bukan karena kesal, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Pergi ke Pulau Bali, meninggalkanku sendirian untuk berkencan dengan gadis itu eh? Kau akan tahu akibatnya, Fer!!

“Ferdi-kun, apa kau baik-baik saja?” tanya gadis itu lagi. “T-tidak apa-apa...” jawab Ferdi sedikit gugup.

Aku menikmati makananku dengan Azka. Sesekali dia menyuapiku. Dan aku? tentu saja terpaksa menerimanya. Lihat, Fer, bukan kau saja yang bisa.

“Ferdi-kun, setelah ini kita ke mana? Aku ingin melihat perhiasan kerang, kita ke sana ya?” tanya sang gadis.

“Cik, bagaimana jika main di pantai setelah ini?” tanya Azka tiba-tiba.

“Hmmm... sepertinya ide bagus, sudah lama aku tidak pergi ke laut,” jawabku.

“Kau tidak ingin berenang? Aku bisa membelikanmu bikini yang bagus,” cengir Azka dengan wajah mesumnya.

Duaaak!!! Kutendang kakinya dari bawah meja. Azka mengaduh tanpa suara. Hanya bibirnya saja yang meringis lebih lebar.

“Ya Tuhan!! Ferdi-kun, tanganmuuu...” jerit gadis itu membuatku menoleh. Ferdi tersentak saat mendapati jari tangannya berdarah. Bukan steak yang dia iris ternyata, tapi jari telunjuknya yang sedang memegang garpu.

“Ayo, kita harus membeli obat!!” kata gadis itu cemas sambil menarik Ferdi agar berdiri.

“Ta-tapi...”
“Lihat, darahnya semakin banyak, ini harus diobati,” “Tu-tunggu...”

Ferdi bahkan tidak berdaya saat gadis itu menariknya pergi. Aku menghela nafas saat melihatnya pergi dari cafe. Selama ini aku percaya kepadanya. Sampai saat ini pun aku percaya. Hanya saja apa yang membuatnya tidak memberitahuku tentang gadis ini. Jika dia memang memiliki hubungan dengan gadis itu, lalu mengapa tidak meminta berpisah denganku?

“Cik!!”

Aku mengerjap pelan saat Azka memanggilku. “Ada apa?” “Kita harus kembali, acara akan dimulai sebentar lagi,”

Aku mengangguk pelan sambil beranjak dari dudukku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ku non-aktifkan nada deringnya dan memasukkan lagi ke dalam sakuku. Meneleponlah sampai puas, Fer, dan aku tidak akan mengangkatnya!!

<hr />

“Cik, kau tidak ikut keluar? Mereka membuat api unggun di dekat pantai,”

Aku menggeleng pelan pada Rachel sambil tersenyum. Aku tidak ingin melakukan apapun saat ini. Rasanya aneh. Aku seperti kembali pada tahap awal sebelum Ferdi memulai scenarionya. Tapi ini lebih menyakitkan karena mungkin, aku sudah terbiasa dengannya.

Mataku mulai mengabur. Cepat-cepat kuhapus genangan air di mataku yang siap jatuh. Aku belum tahu yang sebenarnya. Tiba-tiba aku teringat pada ponselku yang kumatikan tadi siang. Kuambil benda itu di dalam saku jaketku yang tersampir di sofa dan memeriksanya.

176 panggilan tidak terjawab dan 48 pesan? Apa dia sudah gila? ‘Ciki Sayang, katakan di mana dirimu!?’
Ciki Sayang? Dia masih sadar jika punya istri?
‘Cik, angkat teleponnya. Kumohon,’

‘Jangan membuatku marah, Cik!! Cepat angkat teleponnya!!’

Aku mendengus kesal. Seharusnya yang marah itu aku. Belum selesai aku membaca pesan-pesan itu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Papa? Cih, pasti dia mengadu pada Papanya.

“Ya, Pa. Ada apa?” jawabku begitu ponsel itu menempel di telingaku.

“Citra, kau ada di Pulau Bali sekarang?”

“Iya,”

“Ferdi sudah menceritakan semuanya kepadaku, ini semua salahku. Kau jangan marah dulu,”

“Iya, Pa,”

“Gadis itu namanya Yukita Hishano, dia artis jepang yang akan bermain dalam drama di perusahaan kita. Papa menyuruh Ferdi untuk menemaninya melihat-lihat keindahan Indonesia. Dia masih memikirkan tentang kontrak itu, karena itu kami berusaha menyenangkan dia. Papa melarang Ferdi untuk mengatakan bahwa ia sudah menikah. Citra, maafkan Papa...”

“Tidak apa, Pa. Aku mengerti,” “Kalian jangan bertengkar lagi ya?” “Iya,”

Aku menghela nafas saat sambungan telepon itu terputus. Demi pekerjaan? Aku tersenyum pahit memikirkannya. Tiba-tiba saja benda dalam genggamanku itu berkedip-kedip lagi. Ferdi.

“HEI, KENAPA TIDAK DIANGKAT DARI TADI?!” teriaknya bahkan sebelum aku menempelkan ponsel ke telinga.

“Ada apa?” tanyaku datar.
“Eh, i-itu... a-aku...”

“Aku sudah dengar dari Papa, tukang pengadu!!”

“HEI, SIAPA YANG KAU SEBUT TUKANG PENGADU HAH?”

“APA HAKMU BERTERIAK KEPADAKU, BABI?” balasku penuh emosi.

“K-kau marah?” tanyanya dengan intonasi yang turun drastis sampai ke minus.

“Apa aku tidak boleh marah?

”
“Te-tentu saja boleh, tapi kau bilang tadi kau sudah tahu...”

“Aku mengerti, tapi aku ingin marah. Memang kenapa, kau keberatan?”

“T-tidak,”

“Bagus, kalau begitu jangan hubungi aku lagi sebelum kita bertemu di rumah,”

“HEI_”

Kumatikan ponselku sebelum ia sempat memprotes. Percuma saja jika aku menyusulnya kemari tapi ia harus menemani gadis lain. Aku menyesal sudah ikut ke pulau ini.

“Ciki?”

Terdengar suara pintu diketuk. Aku menghela nafas. Dari mana Azka tahu nomor kamarku? Dengan malas kuhampiri pintu untuk membukanya. “Ada apa?” tanyaku begitu pintu sudah terbuka.

“Kau tidak ingin jalan-jalan? Ada festival di sini, sangat bagus!”

Aku sedang tidak mod, tapi berdiam diri di sini akan lebih membuatku bosan. “Baiklah, ayo kita pergi,”

“OK!!”

Mari kita lupakan setan itu sejenak. Aku ingin menikmati malam ini sebaik- baiknya. Yang benar saja, dua minggu lagi aku akan ujian, seharusnya aku tidak boleh stres.

“Cik, lihat aku,”

Aku terkikik saat melihat Azka memakai topi pantai lebar untuk wanita, dia berpose seperti waria sambil mengedip-ngedipkan mata.

“Wow... kau cantik sekali...” seruku. Ah, rasanya aku seperti kembali ke masa lalu. Dulu, aku sering pergi ke taman hiburan dengan Azka. Dan dia selalu dapat membuatku tertawa.

“Ada sate kerang, ayo kita coba!!” Azka menyeretku ke sebuah kedai sebelum aku sempat menjawab. Tapi dia tiba-tiba saja berhenti, membuatku membentur punggungnya.

“Hei, kenapa berhenti?!” kesalku.
“Kita ke tempat lain saja!” katanya sambil mencoba membalikkan tubuhku.

“Kenapa? Hei, tunggu dulu,” aku memberontak dan langsung terpaku. “Ferdi...?!!” Rasanya ada ribuan paku yang mematri kakiku hingga tidak bisa bergerak. Bukankah ia hanya menemani, lalu itu... apa yang sedang mereka lakukan? Berciuman? Atau ada yang matanya kemasukan debu? Yang mana yang harus kupercaya?

Aku berbalik dan berjalan keluar. Tapi tiba-tiba Azka menahan lenganku. “Mau kemana kau?” Aku hanya bisa menatapnya. Lidahku terasa kelu.

“Dia sudah kelewatan, Cik!!” tiba-tiba saja Azka menarik tubuhku, menyeretku ke hadapan mereka. Otakku yang mendadak kosong ini hanya bisa terkejut tanpa bisa memprotes.

Kedua orang itu terkejut saat melihat kami menghampiri meja mereka. Aku memalingkan wajah tidak ingin menatap Ferdi tapi Azka tiba-tiba mengangkat daguku dan mencium bibirku.

Aku terbelak. Sepertinya arwahku sudah terlepas dari ragaku. Setelah beberapa detik ia melumat bibirku di hadapan Ferdi, Azka berkata kepadaku, “Bilang padanya, Cik, bahwa kau akan...”

BOUGH...!! BRAAAK...!! PRAAANG...!!

Aku mengerjap kaget saat tiba-tiba saja tonjokan Ferdi mendarat di wajah Azka. Membuat laki-laki itu terhuyung menabrak meja-meja di sampingnya. Menjatuhkan piring dan gelas-gelas.

“Aku akan membunuhmu jika kau berani menyentuhnya,” desis Ferdi dengan nafas naik turun. Aku melihat ada aura pembunuh dalam tatapan matanya. Lalu, tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan menyeretku pergi meninggalkan mereka di sana.

Genggaman tangannya begitu erat hingga terasa sakit. Jangankan untuk memberontak, untuk mengeluh saja aku tidak bisa. Sepertinya tenggorokanku tersumpat. Aku hanya bisa menangis. Ia terus menarikku sambil berjalan cepat, mengabaikan orang-orang yang ditabraknya.

Hingga tidak lama kemudian, kami berjalan memasuki sebuah loby hotel mewah. Ia terus menarikku melewati koridor lantai satu dan masuk ke dalam sebuah kamar.

BLAAAM...!! Dibantingnya pintu dengan keras lalu memutar tubuhku hingga ke hadapannya dan langsung melumat bibirku kasar. Aku tidak bisa menyebutnya ini sebagai ciuman. Ia mendorongku ke belakang sambil terus melumat bibirku.

“Aakh,” aku memekik pelan saat kurasakan perih pada bibirku. Lalu, aku merasakan sesuatu yang asin. Bibirku berdarah.

Dia tidak menghentikan ciumannya sampai kakiku tersandung tempat tidur hingga tubuh kami berdua jatuh ke atas tempat tidur. Air mataku meleleh. Dia bukan seperti Ferdi yang kukenal.

Tanganku mencengkeram kaosnya erat-erat. Semakin lama, ciumannya semakin memelan dan hanya mengecupi bibirku. Kemudian ia melepaskan bibirku dan membenamkan wajahnya ke dalam leherku. Dan dia terisak untuk yang pertama kalinya.

Aku tertegun mendengarnya. Air mataku mengalir semakin deras. Kuangkat kepalanya, kutangkup wajahnya dengan kedua tangaku. Pipinya basah, matanya terpejam.

“Maafkan aku...” bisiknya pelan. Kukecup bibirnya lembut. “Maaf, Cik...” bisiknya lagi. Kukecup lagi bibirnya. Kuhapus air matanya dengan ibu jariku.

“Tidak apa-apa, Fer,” bisikku. Ia membuka matanya dengan sedikit terkejut.

Detak jantungku... Aku selalu saja berdebar-debar saat ia menatapku.

“Bibirmu terluka...” bisiknya dengan raut wajah sedih. Diusapnya luka di bibirku dengan ibu jarinya. Aku sedikit meringis karena perih. “Sakit?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. Lalu, dikecupnya bibirku dengan teramat pelan “Cik, peluk aku,” bisiknya.

Aku menaikkan tubuhku bersandar pada bantal dan headboard ranjang sementara ia meletakkan kepalanya di dadaku dengan tangan memeluk pinggangku. Rasanya hangat... untuk beberapa saat kami hanya diam.
Tidak ada pertanyaan atau penjelasan. Kami menyelesaikan semuanya lewat batin dan tatapan.

“Cik,”

“Hmm?”

“Kau ingin tahu apa yang kulakukan saat aku merindukanmu jika aku akan tidur?!”

“Apa?”

“Aku menonton film,”

“Kenapa tidak menelponku?”

“Jika aku mendengar suaramu, aku tidak akan bisa menahan diriku untuk tidak pulang. Dan Papa pasti akan marah-marah,”

“Benar, jangan menelponku,”
“Bagaimana jika kita menonton film saja?” “Baiklah...”

Ferdi mengambil laptopnya. Kali ini dia yang bersandar pada headboard dan aku menyandarkan tubuhku pada tubuhnya. Ia meletakkan laptop itu di atas perutku dan mulai membuka file-filenya.

Aku mulai menunggu filmnya dimulai. Jangan sampai itu film Romeo and Juliet, dia sudah menontonnya ratusan kali hingga aku bosan melihatnya. Bukan melihat filmnya, tapi bosan melihat dirinya yang berada di depan TV tanpa beranjak sedikitpun.

“Mmmhh... aah...”

Aku mendelik saat melihat film itu. Ada dua orang yang sedang berciuman penuh gairah. “HEI, film apa ini?” tanyaku.

“Diam dan lihat saja,”

“T-tapi, ini film...”

“Ini yang kutonton saat aku jauh darimu,” bisiknya tepat di telingaku. Membuatku bergidik.

“Aassh... nghhh...” suara decakan-decakan itu menggema memenuhi kamar. Aku benar-benar bodoh atau tolol? Untuk bergerak dalam dekapannya pun aku tidak bisa.

“Aaah... nghh...” saat ini terlihat si laki-laki sedang menghisap puting si perempuan. Tanpa sadar, aku menahan nafasku.

“Nghhh... ahhh... hhh...” hembusan nafas Ferdi di leherku membuatku merinding.

“Uuughh...” aku mendesah tanpa sadar saat jemari Ferdi mengelus payudaraku dari luar baju. “Ferr...”

“Mmmhh...” bibir hangat itu mengecupi leherku. Menggigiti telingaku lembut dan tanpa sadar, jemarinya sudah bergerak melepasi kancing kemejaku.
 Kututup laptop itu dan meletakkannya di meja lampu. Tangan Ferdi bahkan sudah berhasil melepas kancing celana jeansku.

“Ciki Sayang... nghhh...” panggilnya.

Aku berbalik dan mengecup bibirnya. Ia menahan tengkukku dan melumat bibirku lebih dalam. Tanganku menyusup ke dalam kaosnya. Meraba perutnya.

“Nghhh...” ia melenguh pelan. Lalu kupilin kedua putingnya. Decakan-decakan bibir kami mengalun seperti nyanyian seks yang merdu. Kapan terakhir kali kami melakukan ini? Mungkin tiga atau empat hari yang lalu. Bibir lembutnya selalu saja membuatku ingin memakannya.

“Mmhh...” Ferdi memasukkan lidahnya, menyapa lidahku. Bahkan aku tidak merasakan saat tangannya melepas kemejaku. Aku melepaskan ciuman kami dan menarik kaosnya hingga ia telanjang.

Kutatap ia sejenak. Matanya terpejam dengan mulut sedikit terbuka untuk bernafas. Kusentuh keningnya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya. Hembusan nafasnya terasa hangat di jariku. Tiba-tiba saja ia membuka mulutnya lalu melahap jariku. Mengulumnya.

“Mmmhh...” aku membenamkan wajahku di lehernya dan menghirup aroma lembutnya. Aroma yang lebih harum dari parfum apapun. Dan aku menyukainya. Kukecupi kulit lehernya. Tangan Ferdi bergerak melepas braku dan aku merasakan sensasi aneh saat payudaraku menempel pada kulit dadanya yang bidang. Terasa panas.

“Nghhh...” aku melenguh pelan saat tangannya mengelus-elus punggungku. Tangannya perlahan menyusup ke dalam celanaku. Meremas pantatku sambil menurunkan celanaku perlahan. Aku menciumi seluruh leher dan dadanya. Membuat hisapan di bahunya dan menjilati putingnya.

“Uuhh... aahh...” Ferdi mendesah pelan, membuatku menggeliat hingga menekan bagian bawahnya dengan kuat.

“Nghhh...” Tiba-tiba ia berguling, membuatku berada di bawahnya sekarang. Dilepasnya dalam satu tarikan celana jeansku beserta celana dalamnya. Dikecupinya kulit pahaku.

“Aaahhh... Ferr... nghhh... “ aku menggeliat merasakan vaginaku berdenyut-denyut cepat. Nafasku memburu. Lidah Ferdi seperti kuas yang membasahi bagian yang dijilatinya. Semakin lama semakin mengarah ke pusatnya.

“Ooohhh... aaahh...” aku meremas rambutnya kuat saat lidah itu menyapu daging vaginaku. “Nghhh...ssshh...” dibasahinya dengan air liurnya. Sesekali dihisapnya hingga berwarna kemerahan.

“Mmmhhh...” disibaknya lipatan vaginaku dengan lidahnya dan menemukan klitorisku di dalamnya. “Uuughh... aaah... aahh...” kakiku memeluk lehernya erat.

Mendorong kepalanya semakin dalam menyeruak ke vaginaku. Dihisapinya klitorisku hingga berdecit. Lidahnya menari-nari, membuat vaginaku terasa geli sekaligus nikmat.

“Hnghhh...” nafasku terputus-putus saat Ferdi menyapukan lidahnya pada lubang vaginaku. Dijilatinya lubang vaginaku dengan cepat. Perutku tertekan menahan nikmatnya.

“Uughh... Ferr...” aku menggeliat pelan. Rasanya seperti akan meledak. Tapi aku menahannya, “Ngghh... hhh... aaaaaaaaaggh...” vaginaku berdenyut kuat saat cairanku menyembur keluar.

Nafasku terengah sementara Ferdi masih menjilat dan menghisapi vaginaku. Menghabiskan cairanku. Lalu, ia melepas celananya sendiri. Kemudian ia mengelus-elus pinggangku. Membuatku mendesah lagi. Bibir lembutnya menyusuri perutku kini. Semakin lama, semakin merambat ke atas.

“Aaahh...” aku menggeliat pelan saat merasakan ujung penisnya yang menggesek liangvaginaku. “Mmmhhh...” dipijatnya payudaraku dengan kecupan-kecupan basahnya. Membuat cetakan merah bibir bekas hisapannya.

“Ssshhhh....” aku mendesah saat lidah Ferdi menjilat puting kiriku. Kurapatkan pahaku hingga menjepit batang penisnya.

“Uuughhh... Cikk... hhhh...” ia mengerang tertahan lalu kembali menjilati putingku sementara tangannya memainkan putingku yang bebas. Memilin-milinnya lembut.

“Nghhhss... Fer... hhh...” aku meremas rambutnya yang halus. Ferdi mengulum putingku. Membasahinya dengan air liurnya. Dihisapnya dan digigitnya hingga jadi mengeras.

“Mmmhh... nghhhh...” ia mendesah terputus-putus karena penisnya kuremas-remas dengan pahaku. Kuusap-usap punggungnya yang basah oleh keringat. Kubenamkan wajahku ke dalam halus rambutnya. Wangi... aroma yang selalu menjadi heroinku.

“Mmhh...” Ferdi melepaskan putingku dan bibirnya bergerak ke atas. Mengecupi leherku. “Hhh... beri aku jalan... hhh...” bisiknya dengan nafas memburu.

Aku mengerti maksudnya. Segera kurenggangkan pahaku yang menjepit penisnya lebar-lebar, membiarkannya menggesek-gesek lubang vaginaku. “Nghhhh...” perutku kembali seperti di aduk-aduk. Ferdi menjilati seluruh leherku dan aku membenamkan wajahku ke dalam bahu dan lehernya.

“Uuughhh... hhhh...” aku meringis pelan saat merasakan ujung penisnya yang menerobos masuk ke dalam. Terasa ngilu. “Mmmhhh... aahhh...”
kuhisap bahunya kuat-kuat saat penisnya terus menerobos ke dalam. Kulingkarkan kakiku pada pinggangnya.

“Nghhh...” desahku saat merasakan ujung penisnya membentur dinding rahimku. Ia diam sejenak. Kukecup pipi dan bagian bawah telinganya.

“Nghhh...” ia mendesah pelan dan mulai menggerakkan tubuhnya.
“Nghh... uuuhhh...” aku memejamkan mata menikmati sensasinya. Bibir vaginaku yang tertarik penisnya terasa nikmat. “Aaahh... hhh... ssshh...”

“Ferr... nghhh... aaaaahh...” kugerakkan pinggulku berlawanan arah untuk mengimbanginya.

“Aahh... aaahh... aaah... hhhh...” Ferdi mempercepat gerakannya. “Uuunghh... ssshhhh... aaahhh....” aku menikmati rasa payudaraku yang

bergesekan dengan dadanya yang berkeringat.

“Nghhh... hhhh... ooohh...” ia terus menghentak-hentakkan penisnya sambil merapikan rambutku dan mengelap keringat di dahiku.

“Nghhhs... aaahhh... aaah... hhhh...” aku dapat merasakan penisnya yang semakin membesar, membuat vaginaku penuh. Urat-urat penisnya terasa jelas di dinding vaginaku.

“Uughhh... Ferr... aaaahhh...” desahku keras saat penis Ferdi tepat mengenai titikku. Dihentakkannya semakin cepat batang itu hingga membuatku menggeliat-liat saat ujungnya yang tumpul berkali-kali menghantam g-spotku.

“Aaahhh... Ciki... sshhh...”

“Ferr... ngghhh... aaaahhh...” bunyi decakan itu semakin keras dan cepat, mengiringi desah dan erangan yang keluar dari bibir kami berdua. “Ferr... a-ku... aaaaaaaaaaaghhh...” lenguhku panjang bersamaan dengan vaginaku yang berdenyut kuat mengeluarkan cairannya.

Ferdi masih bergerak mengocok vaginaku yang sekarang becek oleh cairanku. Aku dapat merasakan penisnya berkedut-kedut. “Mmhh... aaahh... aaahhh...” ia mempercepat gerakannya lalu menghujamkannya dalam-dalam.

“Aaaaaaaaaaggghhhh...” bersama lenguhan panjangnya, sperma Ferdi menyembur keluar, mengalir di dalam perutku. Rasanya geli dan hangat. Sangat nikmat.

Ferdi lalu ambruk di atas tubuhku tapi kemudian berguling ke samping hingga aku yang berada di atasnya sekarang. Aku mendengarnya. Debaran jantung kami, berdetak berirama. Dan aku menyukainya.

“Cik...” bisiknya pelan “Mandikan punyaku dengan mulutmu,” katanya memohon. Aku menekan penisnya yang masih berada di dalam vaginaku. “Aaahhh....” ia mendesah pelan.

Aku segera melepaskan penisnya dari vaginaku. Kukecupi lehernya sambil menggesek-gesekkan penisnya pada bibir vaginaku. “Aahhh...” ia mendesah lagi sambil memejamkan matanya.

Bibirku merambat turun ke bawah, mengecupi dadanya. Menghirup aroma wanginya. Aku bergerak lagi semakin ke bawah. Ujung penis Ferdi menyapu kulit perutku sementara bibirku mulai mengecupi dadanya. Kukulum putingnya. Kuhisap dan kusedot-sedot. Kutekan-tekankan penisnya pada perutku.

“Uuughhh... Ciki...” tangan Ferdi meraih kepalaku dan meremas rambutku. Ia seperti tidak sabaran, tapi tidak ingin mendahului dan terburu-buru. Ia menungguku.

Aku bergerak lagi ke bawah menciumi perutnya hingga ujung penisnya merambat ke atas, menggesek belahan dadaku. Kukecupi perutnya sambil kugoyangkan badanku ke kanan dan ke kiri hingga penisnya menggesek-gesek payudaraku, berbenturan dengan putingku.

“Nghhh...” kali ini aku yang mendesah. Kupejamkan mata menikmati sensasinya.

“Aahhh... shhh...” Ferdi semakin melebarkan kakinya, dan aku terus mengecupi perutnya, semakin ke bawah hingga membuat ujung penisnya terus menggesek dadaku, lalu ke leherku.

“Uuughhh...” tubuh Ferdi menegang. Kumainkan sedikit. Kujepit penisnya di leherku. “Cik... oohh...” rintihnya.

Perlahan, kugesekkan penisnya pada ujung daguku. Basah, daguku terasa basah. Lubang penisnya mengeluarkan cairan bening tanda sangat terangsang.

Aku mendekatkan wajahku pada penis yang mengeras itu. Ujungnya berwarna merah dengan testis berkerut-kerut. Kuhembuskan nafasku sambil meniupnya. Ferdi mendesis pelan masih dengan memejamkan matanya. Wajahnya terlihat tersiksa dengan mulut terbuka.

Aku menyukai ekspresinya yang menahan nikmat itu. Kusentuh batang penisnya dengan ujung-ujung jariku. Kuelus-elus testisnya yang mengkerut dengan jari telunjukku.

“Nghhh... ooohhh...” Ferdi mengerang tertahan. Kemudian kukecup lembut beberapa kali hingga membuat tubuhnya mengejang.

“Mmmhh...” kecupanku merambat ke bawah. Begitu pelan. Merasakan urat-urat penis Ferdi hingga sampai pangkalnya.

“Assshhh... lebih cepat, Sayang... uughh...” racaunya saat kusapukan lidahku pada biji pelirnya. Membasahinya dengan air liurku. “Ooohh... sangat nikmat, Sayang... ssshhh...” rintih Ferdi begitu kuhisap dan kusedot-sedot seperti aku akan memakannya. Biji pelir itu terasa sangat kenyal.

“Aaahhh... ngghhh...” aku kembali mengecupi batang penisnya. Lendir bening yang keluar tampak semakin banyak. Kusapukan lidahku pada penis Ferdi, dari pangkal hingga ke ujung, lalu turun ke pangkal lagi. Begitu terus berkali-kali.

“Ooh... aaahhh... nghhh... hhhh...” Ferdi merintih kegelian.

Kukecup lagi ujung penisnya, lalu kuhisap kuat-kuat. “Aarrghhh... Cikk...” ia mengerang tertahan.

Kumasukkan penisnya ke dalam mulutku lalu mulai mengulumnya. “Mmhhh... mmmm...” Tanganku mulai mengocok bagian bawah sementara mulutku bergerak naik turun mengemut penisnya seperti lolipop. Lolipop favoritku.

“Aaaghhh... nghhhh... ssshhh...” tangan Ferdi meremas kuat rambutku, mendorong kepalaku agar penisnya masuk lebih dalam ke mulutku.

“Mmmhh... mmmhhh...” terus kusedot-sedot penisnya. Membasahinya dengan air liur sambil sesekali menggesekkan gigiku pada kulit penisnya.

”Ooohhh... yeaahhh... ssshhh...” Ferdi mendesah keenakan.

Kupercepat gerakan di mulutku. Kurasakan denyutan di batang penisnya. “Cik... uuughhh... nghhh... aahh... akuu...” tubuh Ferdi semakin melengkung.

Kuhisap kuat-kuat penisnya. “Mmm... mmmnnhhh... nghhh... aaaaaaaaggghhhhh...” lenguh Ferdi sambil menekan kepalaku kuat-kuat.

Aku merasakan cairan asin yang menerobos tenggorokanku, membuatku hampir tersedak. Kuteguk semua cairan itu masih sambil mengulum penisnya lalu kujilati hingga bersih.

Ferdi menarikku ke atas, berpindah posisi hingga kini aku berada di bawahnya lagi. Dikecupinya bibirku, lalu dilumatnya lembut. “Mmmhh...” semakin ditekannya kuat saat aku membalas ciumannya, kuhisap bibir atas dan bawahnya bergantian. Tubuh Ferdi basah oleh keringat.

“Nghh...” lidahnya mencoba membuka mulutku.

“Mmnn...” kubiarkan lidahnya masuk menjilati mulutku, membuat gema decakan- decakan lagi.

Ferdi meraih satu tanganku lalu membawanya ke bawah, diaturnya jari telunjukku, lalu ditusukkan ke lubang vaginaku sendiri.

“Ngghhh...” aku mendesah sambil menggigit bibirnya. Jari telunjuknya ikut masuk ke dalam lubang vaginaku, menuntun jariku hingga bergerak seirama.

“Mmnn...” bibirnya terus melumat bibirku, menjilat-jilat lidahku, mencampur air liur kami. Gerakan jari kami juga semakin cepat, vaginaku jadi berkedut-kedut karenanya.

“Aaaaghhhh...” aku melepaskan ciumannya dan melenguh saat merasakan vaginaku berdenyut kuat bersamaan dengan cairanku yang mengalir keluar.

Ferdi menjilati jariku dan jarinya yang berlumuran cairanku. Dikulumnya dengan nikmat. Lalu dimiringkannya tubuhku dan diangkatnya satu kakiku, disampirkan pada bahunya.

“Unghhh...” aku mendesah saat penisnya mulai masuk lagi ke dalam lubang vaginaku. “Mmmhh...” ia mengecupi pinggangku, membuatku mendesah semakin keras, “Aaahh... Ferr...”

Perlahan, mulai digerakkan pinggulnya. Mengocok vaginaku lagi dengan batang penisnya. “Nghhh... aaahh...” membuatku merintih.

“Oohhh... Ferr... uuuh... aaahh...” ia menghentak semakin cepat. Membuat tubuhku ikut terhentak. “Hmmnnn...” dikulumnya puting kananku, sementara ia meremas payudaraku yang satunya dengan lembut. “Aaaahh... uuunghhh... sssshhhh...” aku mendesis nikmat.

Bibir Ferdi merambat ke atas, menghisapi bahuku. “Uuughhh...” aku membenamkan wajahku ke bantal, membuat desahanku teredam, namun membuat Ferdi bebas mengecupi tengkukku. “Ngghhh... lebih dalam, Ferr... asshhhhh...” racauku.

“Enghh... aaahh...” Ferdi semakin kuat menghentakkan penisnya hingga menghantam titikku berkali-kali. Perutku bergejolak, lendirku terus mengalir untuk memudahkan Ferdi menggesek keluar-masuk rongga vaginaku.

“Aaaaahhh... ssshhhh... oooohhh... Ferr...” aku merintih. “Mmmnnhh... ngghhh...” nafasku tersengal. Kucengkeram seprei kuat-kuat.

“Aaaahh... aaahhh...” Ferdi mempercepat gerakannya dan menghujamkan batang penisnya semakin dalam.

“Ssshh... aaahhh... nghhh...” aku semakin tak tahan.

“Cik... ooohhh... aaaaaaaaagghhh...” Ferdi menghujamkan penisnya dalam-dalam lalu melenguh bersamaan denganku. Cairan kami bercampur menjadi satu dalam lorong vaginaku, rasanya penuh dan sesak. Nafas kami tersengal, tapi tubuh ini sudah berhenti bergerak. Hanya menikmati denyutan alat kelamin kami berdua, sisa-sisa dari orgasme barusan.

“Nghh...” Ferdi melepaskan penisnya lalu ambruk di sampingku. Dilingkarkannya lengannya ke pinggangku sambil membenamkan wajah ke dalam tengkukku. Kutarik selimut untuk menutupi tubuh kami lalu diam mengatur nafas.

“Fer...” panggilku pelan. “Mmm?”

“Apa yang sedang kau lakukan dengan gadis itu tadi? Kau menciumnya? Atau ada alasan lain?” tanyaku.

Ferdi mempererat pelukannya di pinggangku. “Mataku kemasukan bubuk merica tadi, itu akibatnya jika aku memikirkanmu, pikiranku menjadi kacau,”

Aku tersenyum mendengarnya, kutarik lengannya agar mendekapku lebih erat.

“Cik...”
“Hmm?”
“Kenapa kau ada di sini? Kau tidak bisa hidup tanpaku rupanya,”

Kuakui itu benar, tapi kenapa kesannya jadi aku yang tergila-gila kepadanya? Hhh... tergila-gila padanya? Itu juga benar. Aku membalikkan tubuhku, “Fer, percaya diri sekali kau,”

“Lalu apa yang kau lakukan?”

“Kampus mengadakan liburan sebelum ujian,”

“Kenapa bocah sialan itu juga ikut?”

“Klub Karate juga ikut,”“Aku sangat kesal melihatnya selalu menempel padamu,”

“Sepertinya kau yang tidak bisa hidup tanpaku, Fer,” ejekku.
Ferdi mengerutkan keningnya,

“Kurasa kau benar,”
Aku tersenyum melihatnya.

“Kau terlihat seperti bayi, imut sekali~” Kruuuuk...
Aku mengernyit mendengarnya.

“Perutmu berbunyi? HUAHAHAHAH...”

“HEI, aku belum sempat makan tadi!!”

“Astaga... itu sangat tidak keren,”

“Ayo kita mandi, setelah itu kita makan. Ini masih jam sembilan,” tiba-tiba saja Ferdi tersenyum setan. “Cik, bocah sialan itu tadi menciummu kan? Berarti bibirnya masih ada bekas bibirmu...”

“Lalu?” aku mengerutkan kening tidak mengerti, tapi Ferdi sudah menarik tanganku untuk mandi.

<hr />

“Ahh... di mana bocah sialan itu?”

“Fer, untuk apa kita mencari Azka?” “Ada yang harus dibersihkan,” “Apa?”

“Ah, itu dia!!” Ferdi berhenti berjalan, membuatku menabrak bahunya. “Cih, dasar iblis penggoda... Cik, jangan sampai kau tergoda olehnya!” desis Ferdi sambil menatap orang di depannya.

Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat Azka sedang bermain lempar gelang bersama artis Jepang itu. “Cepat sekali mereka akrab,” gumamku.

“Ayo!!”

“Eh?” aku hanya menatap bingung pada Ferdi yang tiba-tiba menarik tanganku menghampiri mereka. Kedua orang itu menatap kaget saat tiba-tiba kami ada di hadapan mereka.

“Cik, kau selamat bukan? Apa iblis ini menyiksamu?”

Ferdi langsung menahan tubuh Azka yang akan maju menghampiriku. “Bocah sialan, sekali lagi kau berani mencium istriku, kupastikan kau tidak akan punya bibir lagi!!” kata Ferdi sambil memegang wajah Azka dan mengusapkan kotoran binatang ke bibirnya.

Aku menatap shock. Artis jepang itu juga ternganga.

“Sekarang sudah bersih,” bisik Ferdi lalu melepaskan Azka yang mendadak pandangannya menjadi kosong. Mungkin ia benar-benar shock. Ia bahkan tidak dapat bergerak.

“Hishano-san, maafkan aku untuk semuanya,” Ferdi membungkuk pada si gadis Jepang.

“T-tidak apa-apa, Azka-kun sudah menceritakan semuanya,” jawab gadis itu tergelagap. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Besok Managerku akan datang untuk mengurus kontraknya,”

“Baiklah, kami mau makan, kau mau bergabung?” tawar Ferdi. “K-kurasa Azka-kun perlu disadarkan dulu, kalian pergilah,”

“Baiklah, terima kasih,” Ferdi meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku membungkukkan badanku lalu berbalik pergi bersama suamiku.

“Azka-kun, kau baik-baik saja?”

“HUWAAAAAAA... JANGAN MENDEKAAAAATTT...!!!” jerit memilukan itu masih bisa kudengar. Kulirik laki-laki di sampingku ini. Aku benar-benar sudah menikahi seorang iblis. Tapi aku sangat mencintai iblis ini.
Cerita Dewasa Pengantin Baru VIII - Orang Ketiga Dalam Hubungan Cerita Dewasa Pengantin Baru VIII - Orang Ketiga Dalam Hubungan Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.