Cerita Seks Pengantin Baru V - Aku Sudah Menikah

Cerita Seks Pengantin Baru V - Aku Sudah Menikah - Hal yang paling menyenangkan dalam hidupku adalah saat aku membuka mataku di pagi hari, terlihat wajahnya. Orang yang ingin kuhabiskan sisa hidupku bersamanya. Dan aku yakin kalian tahu siapa dia. Entahlah, ini sudah pagi yang kesekian kali aku mengamati wajahnya. Tapi tidak ada rasa bosan sedikitpun yang kurasakan. Ah, aku sangat menyukai mata yang tertutup itu. dia sangat terlihat polos saat sedang tidur, dan juga hangat...

Kupotret wajahnya dan kembali memandanginya. Kurasakan jantungku berdetak-detak kacau. Sensasi yang kurasakan saat aku berada di sisinya. Tiba-tiba dia menggeliat dan tangannya langsung menyambar pinggangku. Menarikku lebih dekat dan membenamkan wajahnya ke dalam belahan dadaku seperti bocah kecil yang ingin menyusu.

“Susumu selalu bisa membuatku bergairah, Cik,” katanya dengan suara serak tanpa merubah posisinya.

Seketika wajahku terasa panas. Kulepaskan pelukannya dengan paksa. “Lepaskan aku, Fer,”

“Kapan kau akan memanggilku ’Abang’ hmm?” tanyanya, hidungnya mulai mengendusi putingku satu per satu.

“Tidak mau!! Lepaskan aku... aku mau masak,” kembali aku menggeliat.

“Katakan dulu,” ia menjilat pelan putingku yang telanjang.

”Aiiih...” aku mendesis pelan. Kalian tahu, gara-gara hari valentine kemarin aku tidak memberikan apa-apa kepadanya, dia menghukumku dengan kalimat ‘Aku mencintaimu, abang Ferdi’ dan aku harus mengatakannya setiap hari saat bangun tidur. Benar-benar konyol. Ayolah, apa istimewanya valentine? Bagiku semua hari sama saja asal dia ada di sisiku. Sama istimewanya.

“Geli, Fer,” aku merintih.

“Aku tidak menerima alasan apapun,” dia terus mencucup dan menjilati buah dadaku.

Oh Tuhaaan... dia benar-benar menyebalkan saat tidak tidur. “Fer... uhh...” kembali aku menggeliat.

“Aku masih menunggu, Cik,” bisiknya dengan mulut penuh. “A-aku mencin... oh ayolah, Fer...” aku membantah.

“......” dia terdiam. Hanya mulutnya yang terus bergerak menikmati bulatan payudaraku.

“Aiih...” aku jadi semakin merintih jadinya. Ya baiklah, ”Aku mencintaimu, Abang Ferdi!! Sudah cepat lepaskan aku!!” hardikku.

Dia tersenyum setan, “Morning kiss?” pintanya manja sambil menjulurkan bibirnya yang tipis dan indah.

Astagaaa... ingin kubenturkan kepalanya ke dinding. Sungguh! Dan nyatanya, bukan hanya morning kiss yang ia dapatkan, bahkan tubuh indahku kembali menjadi miliknya. Sekali lagi kami melakukan kenikmatan sebagai sepasang suami istri.

<hr />

Hari ini kami hanya bermalas-malasan. Tidak ada jadwal apapun. Ferdi sedang asyik main game setelah makan dan aku duduk di sofa sibuk dengan laptopku.

“Sial...” dia teriak untuk yang kesekian kalinya. Tapi aku tidak bergeming dari tempatku.

Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang. Menghembuskan nafas hangatnya ke leherku. Membuat jantungku berdegup keras.

“Cik...” bisiknya manja.

“Hmm?” jawabku masih fokus pada laptop.

“HEI!” Tiba-tiba dia merebut laptopku dan meletakkannya di meja. Aku memutar dudukku dan menatap kesal padanya.

“Kau sudah berjanji akan menemaniku hari ini, kenapa sibuk dengan mesin hitammu itu?” tanyanya.

Aku tertawa kecil. Wajah Ferdi benar-benar terlihat seperti bocah, namun dalam versi seratus kali lebih tampan.

“Ciki... peluk aku,” pintanya lagi. “Eh?” aku mengedipkan mata.

“Peluk aku,” Ferdi meletakkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pinggangku. Sesaat aku menahan nafas kemudian aku tersenyum. Kuperbaiki posisiku agar bisa memeluknya lebih nyaman.

Aku merebahkan diriku di sofa panjang itu bersandarkan bantal-bantal sementara Ferdi tidur di atasku sambil memeluk pinggangku erat. Kudekap ia sambil mengelus-elus rambutnya yang halus, sesekali kuciumi juga. Baunya harum dan pelukannya terasa hangaaat... Ia memejamkan matanya. Yang terdengar hanyalah suara detak jantung kami yang seirama.

“Aku suka mendengar detak jantungmu... rasanya nyaman...” gumamnya pelan. “Hmmm?” hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Cik,

tiba-tiba saja aku berfikir...” cetusnya.
”Apa?” aku bertanya, penasaran.

“Jika di rumah ini ada bayi, mungkin akan lebih ramai...”

Aku tertegun mendengarnya. Dia menginginkan seorang bayi? “Fer...” panggilku untuk meyakinkan diri.

“Hmm... bagaimana? Apa kau setuju?”
“Sebenarnya... ada sesuatu yang tidak kau ketahui, maaf...”

Ferdi membuka matanya lalu mengangkat wajahnya, menatapku sambil mengerutkan keningnya, “Apa?”

“Maafkan aku... tapi dulu, saat awal pernikahan kita, aku... aku pergi ke rumah sakit dan memasang alat pencegah kehamilan,”

“A-apa?” ia sangat terkejut.

“Aku butuh waktu, Fer... kau tahu, dulu pernikahan kita berbeda. Aku belum tahu kau mencintaiku atau tidak. Karena itu aku memakainya... untuk berjaga-jaga. Lagi pula saat ini kita masih sekolah. Setidaknya beri aku waktu hingga lulus kuliah. Semua ada waktunya bukan?”

Ia terdiam. tampak seperti sedang berfikir. Apa dia marah? Tapi kemudian bibirnya tersenyum sambil menatapku lembut. Dibelainya kepalaku. “Iya, aku mengerti. Skenario masa depan kita tidak boleh diputuskan dengan terburu-buru...

untuk saat ini biar kau menjadi milikku saja, aku ingin egois atas dirimu,” ia terkekeh pelan.

Aku mendesah lega. Aku sebenarnya juga ingin memiliki malaikat kecil. Tapi kurasa itu bisa menunggu.

“Aku sangat beruntung memiliki istri pintar sepertimu. Kau sangat pintar merancang skenario kehidupan kita,” bisiknya pelan lalu mengecup bibirku. “Aku benar-benar mencintaimu, Cik,” dikecupnya bibirku sekali lagi. Dua kali, tiga kali, lalu berubah menjadi lumatan-lumatan lembut yang sangat membangkitkan gairah.

Jantungku mulai berdetak kencang. Nafasku mulai tersengal. Kubalas ciumannya pelan, kuhisap bibir bawahnya.

“Mmhh... hhh...” Ferdi mendesah pelan, membuatku menahan nafas. Ia semakin menekan dalam bibirku, mengulumnya pelan dan lambat. Tidak terlihat terburu-buru. Rasanya sangat manis.

“Hnghh...” aku membuka mulutku saat merasakan lidahnya mulai menerobos masuk. Ia menjilati lidahku, menukar air liur kami. Aroma nafasnya seperti permen karena pasta gigi yang dipakainya. Sangat menyegarkan. Dan aku menyukainya.

“Uuuughhh...” aku mendesah keras saat merasakan tangannya menyusup ke dalam kaos besar miliknya yang kupakai. Meraba pinggangku. “Hnggghh... sshhhh...” desisku pelan. Perutku terasa diaduk-aduk dan vaginaku mulai berkedut-kedut ringan.

Aku memalingkan wajahku ke samping. Melepas paksa ciuman kami. Nafasku tidak sepanjang nafasnya. Bibir Ferdi langsung mengecup leher di bawah telingaku.

“Hmmnnhh...” desahnya, membuatku menggeliat pelan. Nafasnya memburu.

“Ooohh Fer... aaah...” tangannya meremas kedua payudaraku, sambil bibirnya masih terus mengecupi kulit leherku tanpa membuat cupang. Sepertinya dia masih tahu aturannya. Tidak boleh membuat cupang di daerah yang bisa dilihat orang lain.

Aku menggeleng ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan bibirnya yang mengukir leherku. Lalu dengan cepat dilepasnya kaosku. Aku mengangkat sedikit tubuhku untuk memudahkannya. Bibirnya langsung pindah ke bahuku dan menghisapnya kuat. Meninggalkan bekas merah tua di sana.

“Hngghhh... Ferr...” aku terus menggeliat. Kubuka pahaku lebar lalu memeluk pinggangnya erat-erat dengan kakiku. Membuat penisnya yang terbungkus celana menekan kuat lubang vaginaku.

“Aaaahhh... hhh...” Ferdi mendesah keras sambil mengecupi bahu dan dadaku. Lalu dilepasnya kaitan braku dan disingkirkannya benda itu dari tubuhku. Ia melumat bibirku lagi.

“Hmmhhff...” desahku tertahan saat merasakan jemarinya memainkan putingku. Memutar-mutarnya, dan memilin-milinnya hingga jadi mengeras.

“Hnghhh... aaahh...” pinggul kami bergerak naik turun saling menekan. Aku merasa celanaku sudah basah dan penis Ferdi sudah mengeras di bawah sana.

“Hngghh... sssh...” bibir Ferdi turun ke bawah. Mengecupi daguku, leherku lalu mengulum putingku. Melumurinya dengan air liurnya.

“Aaaahh... Ferr... ngghhhh...” Aku meremas rambutnya kuat saat ia menyedot putingku kuat. Lalu...

KRIIIIIIIIIIINGGG... KRIIIIIIIIIIING...

Telepon itu berdering keras, membuatku tersentak. “Aaaahh... Fer, ada telepon... ooohh...” desisku.

Tapi dia masih meneruskan kegiatannya bermain dengan putingku. Kuangkat wajahnya paksa, menyuruhnya untuk berhenti sejenak. Dia menatapku dengan wajah cemberut. Bibirnya monyong sangat jelek, membuatku ingin tertawa.

Cepat-cepat kusambar gagang telepon yang ada di atas meja kecil di samping sofa tepat di atas kepalaku.

“Ya halo? ... oh, Alvin, ada apa? Aaakh...” aku menjerit pelan saat ada yang menggigit putingku lalu menariknya kuat. “oh bukan... ada semut yang menggigit... baiklah, tunggu aku... aku akan ke sana sekarang!!” cepat-cepat kumatikan sambungan telepon.

“Aaaakhh- Fer... hentikan...” aku menahan Ferdi agar tidak menyedot putingku lagi.

“Kau akan pergi?” tanyanya tajam.

“Maafkan aku, Fer... aku harus menyelesaikan tugas kuliah. Kebetulan Alvin sudah ada di perpustakaan sekarang,” kataku.

“Kenapa harus bersamanya?” “Dosen yang menentukan, aku tidak bisa menolak!” “Ah si botak itu,” gerutu Ferdi.
Aku bangun dari tidurku, “Aku tidak akan lama!” “Kau sudah berjanjiii...” rengeknya.

“Jangan seperti anak kecil, Fer... kau ingin aku tidak lulus ujian, huh?” sahutku sambil berjalan mengambil kaosku yang terhampar di lantai, membiarkan Ferdi memandangi bulatan payudaraku yang mungil namun terlihat sangat indah.

“Cik... lalu bagaimana dengan punyaku ini?” tanyanya dengan wajah tersiksa, ia mengelus-elus penisnya sendiri.

Aku terkikik pelan melihatnya, “Akan kubayar nanti, sekarang aku benar-benar

harus pergi,” jawabku sambil berjalan cepat ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

<hr />

“Maaf memintamu kemari mendadak, Cik... tapi aku dan Sinta baru saja menemukan sesuatu yang menarik untuk tugas kita,” kata Alvin saat aku tiba di perpustakaan kampus.

“Tidak apa-apa, ayo kita selesaikan!!” Aku duduk diantara Sinta dan Alvin dan memulai mengerjakan tugas kami. Tidak lama Dedi datang sambil membawa beberapa tumpuk buku.

“Aah... ini ada kaitannya dengan artikel yang kutemukan kemarin,” erang Alvin setelah beberapa jam.

“Lalu kenapa kita tidak ke rumahmu saja?” tanya Dedi.

“Kalian tidak keberatan?” Alvin bertanya balik.

“Tentu saja tidak,” jawab Sinta dan aku secara bersamaan.

“Tunggu, aku juga punya artikel yang terkait. Sin, bisa kita ke rumahmu dulu? Artikel itu ada di dalam map biru yang kau pinjam kemarin,” tambah Alvin.

“Oh baiklah,” jawab Sinta.

Cepat-cepat kami membereskan peralatan tugas kami dan keluar dari perpustakaan.

“Oh hujan,” kata Sinta memandangi langit. Kami semua menatap hujan itu dengan diam.

“Bagaimana sekarang?” tanya Alvin.

“Biar Sinta kuantar,” sahut Dedi. “kalian berdua pergi saja dulu,” katanya padaku dan Alvin.

“Cik, kau tidak keberatan berjalan memutar? Mobilku ada di tempat parkir belakang,” kata Alvin.

“Tidak masalah,” aku menjawab.

“Baiklah, kita bertemu nanti,” kata Alvin lalu mengajakku berjalan ke tempat parkir.

Sampai di depan gedung olah raga, Alvin melepas jaketnya. “Kita harus ke gedung seberang... ayo kemarilah biar tidak basah,” katanya sambil memayungkan jaketnya.

Aku mendekat dengan ragu. Jika Ferdi melihatku seperti ini, habislah aku. “Kita berlari bersama, oke? Satu... dua... tiga,”

Aku mengikuti Alvin yang menuntunku ke gedung seberang. Setelah sampai, kami belok ke kanan dan sampai di tempat parkir.

<hr />

Aku sedang menyeruput teh hangat saat Sinta dan Dedi tiba di rumah Alvin. Mereka langsung saja duduk dan mulai mengeluarkan alat-alat untuk mengerjakan tugas. Namun tidak sampai setengah jam kemudian, seseorang mengetuk pintu rumah Alvin.

“Tunggu sebentar,” kata Alvin sambil beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu.

“CIKI...!!!”

Aku mengerjap kaget saat melihat Ferdi yang langsung menerobos pintu dengan tubuh basah kuyup. Dia tampak bingung melihat kami.

“Fer, apa yang kau lakukan disini?” tanyaku bingung.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi malah menatap teman-temanku bingung. “Kalian juga ada disini?” tanyanya seperti orang bodoh.

“Tentu saja mereka ada disini!!” sahutku kesal. “Bukankah sudah kubilang aku akan mengerjakan tugas?”

“Kau tidak bilang kelompokmu ada banyak orang!!” dia balik membentakku.

“Jadi kau pikir aku hanya berdua dengan Alvin? Astaga, yang benar sajaaa... kenapa kau bodoh sekali?”

“Aku mengkhawatirkanmu, dan sikapmu malah seperti ini? Kau pikir aku akan diam saja kalau kau dibawa laki-laki lain ke rumahnya?”

“Lalu kenapa kau sampai basah seperti ini?”

“Kau pikir aku membawa payung, huh? Aku menyusulmu ke kampus dan ternyata aku melihatmu sedang berlari berdua dengannya. Lalu apa yang kulakukan? Tentu saja menyusulmu, bahkan aku lupa kalau sudah meninggalkan mobilku disana!!”

“Lalu dengan apa kau kemari?” tanyaku bingung.
“I-itu... aku meminjam sepeda Pak Satpam, aku tidak sempat berfikir tadi!!”

Aku hanya bisa menatapnya. Tidak tahu harus berbicara apa. Dia mencintaiku, tapi juga sangat bodoh.

“Hei kalian...” sela Sinta. “tidakkah kalian merasa kalian ini mirip drama-drama yang ada di tivi?”

“Sangat maniis... kalian ini benar-benar sudah menikah ya?” timpal Dedi. “Haaatssyiiin...”

Aku tersadar dan menoleh ke arah Ferdi yang sedang mengusap hidungnya. Dia kena flu.

“Alvin, bisakah aku meminjam bajumu untuknya?” kataku. “Tentu saja,” jawab Alvin. ”ayo ikut aku, Fer.”

Dengan cemberut Ferdi mengikuti Alvin, sementara aku mengambil lap untuk membersihkan air di lantai yang menetes dari tubuhnya.

“Awalnya kupikir itu hanya gosip, tapi ternyata kalian benar-benar sudah menikah ya,” kata Dedi.

Aku hanya bisa tersenyum ke arahnya.

“Kau sangat beruntung, Cik... sebenarnya dulu aku juga menyukainya,” sahut Sinta. “dia bahkan sampai rela hujan-hujanan hanya untuk menyusulmu,” tambahnya.

Aku bersemu merah mendengarnya, tak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba pintu kamar Alvin terbuka. Dia keluar diikuti Ferdi yang sudah berbalut selimut tebal.
“Ayo kita lanjutkan,” kata Alvin.

Ferdi duduk di dekatku. Aku mengulurkan teh hangatku kepadanya, “Minumlah...” “Hatssyiiin...” dia bersin lagi sebelum meminum teh itu.

<hr />

Sampai di apartemen, Ferdi langsung masuk ke kamar sementara aku memasukkan pakaian basahnya pada mesin cuci. Setelah itu kubuatkan susu panas untuknya dan menyusulnya ke kamar. Ia sedang tengkurap dengan bergelung memakai selimut tebal.

“Fer, minumlah... apa kau baik-baik saja?” tanyaku sambil meletakkan gelas di atas meja lampu. Kubalik badannya dan kutempelkan dahiku ke dahinya. Badannya agak panas. “Kau demam...” kataku.

“Sangat sakit, kau tahu...” gumamnya sambil memejamkan mata. “Maafkan aku...”

“Lain kali jangan memutuskan permainan di tengah jalan seperti itu... sangat sakit, Cik...”

Ah, jantungku berdebar-debar lagi. Aku tidak tahu harus bilang apa. “Kuambilkan baju yang lebih hangat agar kau tidak sakit,”

Aku sudah akan beranjak, tapi satu tangannya menahan tengkukku. Menahanku, membuat dahiku tetap menempel di keningnya.

“Bukan aku yang sakit,” bisiknya lalu mengecup bibirku. Terasa sedikit panas.

“Lalu?”

Ia melumat bibirku lembut. Nafasnya menyapu wajahku. Satu tangannya meraih tanganku lalu menyusupkannya ke dalam selimut. Tanganku menegang saat ia menggesekkan tanganku itu pada sesuatu yang menonjol.

“Sembuhkan punyaku ini,” bisiknya di sela ciuman. Ia melumat bibirku lembut seperti biasanya. Tapi kali ini terasa agak panas. Tubuhnya demam.

“Hmhh... tapi kau sedang sakit, Fer... mmm...” jawabku agak sedikit tergagap.

“Kau harus membayarnya,” lidahnya menerobos mulutku, menyambut lidahku. Bunyi decakan-decakan mulai terdengar. Dia menghisap lidahku hingga kini lidahku yang ada di dalam mulutnya. Diemutnya lidahku.

“Hnghhh...” aku mendesah pelan, nafasku mulai tersengal. Perlahan, tanganku yang masih di bawah sana, kugerakkan pelan mengelus penisnya.

“Aaaagghh...” ia mendesah tertahan lalu melumat bibirku lagi.

Kutekan-tekan penisnya yang semakin mengeras itu.

“Hmmhhh... hhh...” ia tersengal.

Aku melepaskan ciuman di bibir kami lalu mengecupi ujung dagunya.

“Aaaahhh...” ia menyusupkan tangannya ke dalam switerku, membelai punggungku lembut.

Kukecup jakunnya yang bergerak-gerak karena ia berkali-kali menelan ludahnya. Kujilati lama, kurasakan debaran jantungnya di dadaku.

“Hngghhh... hhhh...”

Tanganku masih mengelusi penisnya. Lalu kurasakan celananya mulai basah. Sepertinya penis Ferdi mulai mengeluarkan lendir bening. Tangannya bergerak melepas switerku, sekaligus juga braku. Tubuh kami basah berpeluh keringat. Kubenamkan wajahku ke lehernya, mengecup dan menjilatinya sementara ia membuat cupang di sekitar bahuku.

Tiba-tiba Ferdi berguling hingga kini aku yang berada di bawahnya. Ia menyingkirkan selimut itu lalu membuka kaos yang dipakainya. Kuusap perutnya yang panas. Ia menjilati leherku lagi dan menggigit telingaku lembut.

“Hngghhh... Ferr...” aku menggeliat hingga payudaraku menggesek permukaan dadanya. Kulingkarkan kakiku ke pinggangnya, memeluknya erat.

“Uuugghh...” aku melenguh saat ia mengulum putingku, melumurinya dengan air liur. Perutku terasa geli, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Membuat vaginaku berkedut-kedut hingga tanpa sadar kutekan-tekankan penisnya ke dalam vaginaku.

“Hhhh... mmmhhh...” Ferdi mengemut dan menyedot putingku seperti bayi, sambil dipilin-pilinnya satu persatu, juga digigitnya kecil-kecil lalu dimainkan dengan lidahnya.

“Aaahhhsss...” aku meraba pinggangnya, membuatnya melenguh pelan. Kubuka kancing celananya lalu melepasnya perlahan. Kutarik ke bawah celana itu dengan kakiku.

“Aaaahhh, Cik... mmmhh...” ia pindah pada putingku yang satunya, memperlakukanya sama. Decakan kecupannya membuatku berkali-kali menahan nafas. Yang paling kusuka darinya adalah, kami tidak pernah terburu-buru dalam melakukannya. Selalu pelan, lembut, dan penuh gairah. Kami menikmatinya seiring setiap menit yang terus berlalu. Merekamnya dalam segala rasa.

Ferdi turun mengecupi perutku, membuatku semakin menggelinjang keenakan. Perlahan ditariknya celana dalamku sambil bibirnya mengecupi kulit pahaku.yang putih mulus.

“Oooohhh... ssshhh...” tanganku langsung meremas sprei kuat-kuat. Vaginaku sudah mengeluarkan banyak lendir. Kedutan-kedutan yang kurasakan juga menjadi semakin cepat.

“Aaaahhh... ngghhhh... sshhh...” ia meratakan lendir di vaginaku dengan jarinya. Mengelus-elus permukaanya yang masih nampak utuh dan indah. Diketuk- ketuknya pelan lubang vaginaku hingga membuatku tak sabar.

“Ferr... nghhh... aaahhh...” aku merintih saat Ferdi memasukkan kedua jarinya lalu menggerakkannya dengan tempo lambat.

“Uuuughh... hhh...” ia juga kembali mengulum putingku.

“Aaahh... aahh... sshhh...” aku mendesah saat gerakan jarinya menjadi semakin cepat. Kutarik tubuhnya ke atas lalu mengulum putingnya.

“Eerrghh... aaah... terus, Cik...” desahnya nikmat.

Sedotanku pada putingnya menjadi semakin kuat saat ia menusukkan jarinya semakin dalam. “Hmmhh...” Aku beralih pada puting satunya. Aku merasa ada sesuatu yang mendesak. Vaginaku terasa... “Aaaaagghhh...” sangat nikmat. Aku melenguh saat sesuatu itu terasa meledak dan mengeluarkan cairan orgasmeku.

Ferdi melepas celana dalamnya sendiri lalu menggesek-gesekkan penisnya pada vaginaku yang becek parah. “Eengghhh... Ferr... sssshhh...” aku merintih pelan, vaginaku masih berdenyut kuat. Ia membasahi penisnya dengan cairanku. Lalu tubuhnya naik ke atas dan duduk di perutku. Ditekannya payudaraku dari samping ke tengah, lalu digesek- gesekkannya batang penisnya ke belahan payudaraku itu.

“Aaaahhh... ssshhh... hhhh...” Ferdi mendesis nikmat sambil menggerakkan payudaraku semakin cepat.

Aku memejamkan mata sambil mendongak, membiarkan ujung penisnya membentur-bentur tenggorokanku. Kedua tanganku meraih putingnya lalu memainkannya dengan jemariku. Kupilin lembut benda mungil itu.

“Aaaahhh... ohhhh... hhh...” desahnya semakin keras.

“Hngghhh... mmmmhh...” aku menunduk hingga kini penisnya membentur-bentur bibirku.

“Sssshhh... aaah... ahhh... ahhh...” Ferdi berhenti bergerak lalu kedua tangannya melepaskan payudaraku dan ganti memegangi kepalaku. Ia mendorongnya hingga bibirku bisa menyentuh penisnya. Tetisnya terlihat mengkerut indah. Kukecup lembut ujungnya yang lengket dan tumpul.

“Aaaahhh... nghhhh...” ia mendesah keras saat kukocok pelan penisnya yang sudah membengkak. Urat-uratnya jelas terlihat. Begitu indah dan menggairahkan.

“Aaaaggh... terus, Sayang... hhhsss...” desahnya dengan mata terpejam dan mulut terbuka. Terus kukocok pelan penis itu sambil mengecupinya. Kujilati dengan lembut ujungnya, melumurkan air liurku disana. Lalu, kusedot biji pelirnya.

“Uuuugghh... aaaahhh...” Ferdi mengerang keras sambil meremas rambutku kuat-kuat. Kukulum ujung penisnya yang terasa asin, memainkannya dengan lidah di dalam mulutku. Kusibak belahan testisnya dan kuhisap kuat.

“Eenghhhhh...” ia melenguh pelan.

“Aaaahhh... hhh... hhhh...” kumasukkan penisnya ke dalam mulutku hingga mencapai tenggorokanku, lalu kukulum naik turun sambil mengocoknya dengan tanganku.

“Ooohhh... terus, Cik... engghhhh...” Ferdi merintih nikmat. Salah satu yang membuatku nyaman bermain dengannya, dia tidak banyak bicara hal-hal yang membuatku malu seperti mengatakan kalau aku sexy dan dia juga tidak pernah memberi perintah kepadaku lewat kata-kata.

Ia lebih suka menuntunku melakukannya langsung daripada berbicara. Yang terpenting, dia tidak pernah meminta ijin dariku untuk melakukannya. Dia tahu aku tidak akan bisa menjawab jika ditanya seperti itu. Jadi dia tidak pernah bertanya karena aku pasti tidak akan bisa menolak sentuhannya. Dia sangat memahami diriku.

Sekarang penisnya sudah basah dengan air liurku sementara aku masih terus mengulumnya. Malah semakin mempercepat gerakanku. “Hhhhh... aaahhhh... sshhhh... aaaaaagggghhhh...” Ferdi melenguh panjang bersama dengan spermanya yang muncrat keluar, langsung menerobos ke dalam tenggorokanku. Membuatku jadi sedikit tersedak.

Kulepaskan penisnya, tapi masih terus mengurutnya. Membantu mengeluarkan

spermanya hingga tuntas. Ferdi menurunkan tubuhnya lalu melumat bibirku. Membersihkan spermanya yang berceceran di mulutku. Vaginaku berkedut-kedut lagi saat merasakan penisnya yang menggesek-gesek lembut di bawah sana.

“Hmmhhh...” ia menarik tubuhku agar tengkurap. Aku menurutinya. Disibaknya rambutku lalu mengecupi tengkukku sambil mengelus-elus pinggangku.

“Henghhh... ssshhhh...” aku mendesis nikmat sambil menggeliat pelan. Kutarik salah satu tangannya lalu mengulum jarinya.

“Hmmmhhh....” ia mendesah masih sambil menjelajahi punggungku. Membuat banyak cupang merah disana.

“Hmmhh... mmmm...” kulumuri jarinya dengan air liurku. Kujilati dengan penuh nafsu saat mulai merasakan ujung penisnya yang menekan-nekan pantatku. Kurasakan benda coklat panjang itu sudah mengeras lagi.

Ferdi bangun lalu memiringkan tubuhku. Ia mengangkat salah satu kakiku ke atas sementara ia duduk di kaki yang satunya. Disampirkannya kakiku yang diangkatnya itu ke bahunya lalu ia mulai menggesek-gesekkan penisnya lagi.

“Hnghhh... Ferr...” rintihku saat ia mulai memasukkan benda itu sambil mengulum putingku. Kupeluk lehernya dengan satu lengan. “Aaaahhh...” rasanya sedikit ngilu, tapi juga nikmat saat merasakan bibir vaginaku tertarik ke dalam oleh desakan batang penisnya.

“Aaaahh... aaahhh... engghhhh...” aku mulai mendesah saat Ferdi mulai menggerakkan pinggulnya lambat.

“Hmmmhh... hhhhh...”
“Sssshhh... aaaghh... ooohhhh... hhhh...” “Eenghhhh... ssshhh...”

“Fer... enak... enghhhh... aahhhh...” aku meremas kuat rambutnya saat ia menggerakkan penisnya lebih dalam. Benda itu terasa kasar saat menggesek dinding vaginaku. Membentur dinding-dindingnya yang sensitif hingga menimbulkan sensasi geli di dalam perutku.

“Aaaahh... aaahh... ssshhh...” Dari dada, Ferdi beralih mengecupi rahang bawah telingaku. Deru desahnya terdengar jelas, membuatku jadi sangat bergairah.

“Hmmmh... hhhh... ssshhhh...” ia juga semakin mempercepat gerakannya, menghentak-hentak di dalamku tubuhku.

“L-lebih... dalam... Ferr... oooohhh...” rintihku keenakan, aku benar-benar dibuat melayang oleh semua perbuatannya.

Ferdi memperkuat hentakannya, membuat decakan alat kelamin kami terdengar semakin keras.

“Aaaahh... uuughhh... hhhh...” aku menjerit.
“Hmmmhhh... ooohhh... Ciki... aaahh...” Ferdi ikut merintih.

“Eenghhhh... aaahh... aahh...” kutimpali dengan pekikan yang semakin kuat. Perutku terasa diaduk-aduk, membuatku terus menggeliat nikmat.

“Hhhhh... Ferr... mmhhhh... ssshhh... sangat-nik-mat... aaahhh...” Rasa itu datang lagi. Ada yang ingin meledak di lorong vaginaku. Seperti bir yang setelah kau kocok akan mendesak dan menyembur keluar.

“Aaaahh... Ferr... ssshhhh... ooohhhh...” tubuhku menggelinjang. “Oohhh... nghh... sssshhhhh...” Ferdi ikut bergetar.

Rasa itu semakin memuncak, hingga akhirnya... “Aaahh... aaah... nghhh... aaaaagggghhhh...” tubuhku kelojotan. Aku melenguh panjang saat merasakan vaginaku berdenyut kuat bersama dengan cairanku yang menyembur keluar.

Banyak sekali hingga membasahi penis Ferdi yang masih menghentak-hentak kuat.

Suamiku itu semakin mempercepat genjotannya, tampak sangat menikmati sekali kehangatan tubuhku, “Hnghhh... sshhhh... aaaagh...” Ferdi menghujamkan penisnya dalam-dalam saat ikut orgasme tak lama kemudian.

“Aaaaaaagggghhhh... hhhhhh...” ia melenguh panjang sambil menekankan penisnya dalam-dalam pada liang vaginaku. Perutku jadi terasa geli saat merasakan sesuatu mengalir di dalam rahimku. Sperma Ferdi.

Penisnya dan vaginaku masih berkedut-kedut, sisa-sisa dari orgasme kami yang terjadi secara hampir bersamaan. Lalu, ia ambruk di sebelahku dengan nafas masih tersengal-sengal. Aku bangun lalu menarik selimut dan menutupi tubuh kami berdua. Kuusap peluh di keningnya. Tubuhnya masih terasa panas. Lalu aku tidur di sebelahnya.

Paginya, aku merasakan tubuhku menggigil. Kutarik selimut lebih rapat sambil menyusup ke tubuhnya. Ferdi bergerak pelan lalu mempererat pelukannya.

“Fer... dingin...” gumamku pelan. Tubuhku menggigil tapi terasa panas. “Cik... kepalaku pusing...” balasnya.
“Eenghhh...” tenggorokanku terasa sakit.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara serak.

“Kurasa kita berdua sakit,” kataku.

“Kenapa kau ikut sakit?” tanya Ferdi tak mengerti.

“Kau lupa? Kau menulariku semalam!! Sudah kubilang kau sedang sakit, tapi tetap saja menginginkannya,” omelku dengan mata terpejam. Tubuhku masih telanjang, begitu juga dengan Ferdi.

“Maaf...” desahnya pelan.

<hr />

“Bagaimana kalian bisa sakit bersama seperti ini?” omel mama sambil memasukkan termometer ke dalam mulut Ferdi.

Aku menaikkan selimut lebih tinggi sambil mendesah pelan. Saat ini, aku dan Ferdi sedang tidur di ranjang untuk mendapatkan perawatan dari mama. Karena tidak kuat bangun tadi, aku terpaksa menelponnya.

“Ferdi yang menulariku, Ma... kemarin dia hujan-hujanan,” aduku.

“Tapi, demi siapa aku sampai hujan-hujanan seperti itu?” sanggah Ferdi.

“Aku tidak memintanya,” sengitku dengan hidung memerah.

“Baiklah, maafkan aku sudah menularimu dengan cara yang kau sukai,” sahutnya.

Kali ini aku menarik selimut hingga menutupi kepalaku. Aku tidak ingin mama melihat wajah merahku.

“Sudah-sudah, jangan bertengkar... kalian sakit bersama seperti ini sebenarnya sangat romantis, hahaha...” tawa mama.

Apa-apaan itu?!
“Aku akan membuat bubur dulu untuk kalian, sebentar lagi dokter akan datang,

jadi tidurlah dulu,” mama berjalan keluar lalu menutup pintu. “Cik, peluk aku...” rengek Ferdi.

“Sadarlah, di sini ada mama, Fer,” jawabku.

“Apa peduliku?!” sahutnya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Ia menempelkan penisnya yang kembali menegang ke bulatan bokongku, menggesekkannya pelan disana.

“HEI!!” aku menjerit kaget, tapi tidak ingin melarang karena diam-diam aku juga menyukainya.

(Cerita ini saya ambil dari sebuah forum dunia maya tentang sex dan ditulis oleh iisamu takeo)
Cerita Seks Pengantin Baru V - Aku Sudah Menikah Cerita Seks Pengantin Baru V - Aku Sudah Menikah Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.