Cerita Dewasa Pengantin Baru IV - Kebohongan Ini

Pengantin Baru IV - Kebohongan Ini - Ponselku berdering ketika aku terbangun dari tidurku. Dengan mata yang masih mengerjap ngantuk, kucari-cari benda itu di bawah tumpukan bantal-bantal. Langsung kujawab begitu aku menemukannya.

“Ya halo? ...oh, mama... tentu saja kami akan datang, ...mmm... iya,”

Kulempar lagi benda itu ke samping bantal dan menguap lebar-lebar. Kulirik Ferdi yang masih tertidur pulas dengan piyama birunya. Aku menghadap ke samping dan mengamati wajahnya.

Hal yang selalu kulakukan setiap pagi. Dia memiliki bulu mata yang pendek-pendek. Tiba-tiba otak setanku ini kambuh. Dengan iseng kutarik pelan-pelan tangannya.

Kumasukkan jempolnya ke dalam mulutnya seperti balita yang sedang menghisap pentil. Lalu cepat-cepat kuambil cameraku dan memotretnya. I got it, kekekekek...

Ferdi mulai menggeliat pelan saat aku cekikikan melihat foto yang baru saja kuambil. Tiba-tiba camera itu terlepas dari tanganku. Ferdi menyambarnya dengan cepat lalu memeluk benda itu erat-erat sambil membelakangiku.

“Fer, kembalikan!!” Oh ayolah... haruskah kami ribut setiap pagi hanya gara-gara camera?!

Ia tidak bergeming. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Menyandarkan daguku pada bahunya. Rasanya hangaaatt... dan aku menyukainya.

“Aku kau apakan lagi, Cik?” gumamnya serak dengan mata masih terpejam.

Kukecup pipinya lembut, “Hanya melakukan rutinitas pagiku,” bisikku mesra di telinganya.

“Hhmm... kali ini pose seperti apa?”

“Pose yang sangat manis,” kukecupi lagi pipinya. Ah, dia memang terlihat maniiiis.

“Mencurigakan,” tandasnya.
Aku terkekeh pelan,

“Fer... tadi mama menelepon,”

“Lalu?”

“Kita tidak boleh terlambat menghadiri peringatan kematian nenek nanti,”

“Jam berapa?”

“Jam lima sore,”

“Ok,”

“Apa jadwalmu hari ini?”

“Aku harus ke kantor sebentar lalu ke kampus lagi untuk mengurus skribsiku,”

“Jam berapa kau ke kantor?”

“Jam tujuh pagi,”

“Sepertinya kau harus cepat-cepat, ini sudah jam setengah delapan,”

Ferdi membuka matanya lebar-lebar dan langsung bangun, “Kenapa tidak bilang dari tadi?” Dilemparnya camera itu dan langsung turun dari tempat tidur. Tapi beberapa detik kemudian ia kembali lagi dan mengecup bibirku. “Morning kiss,” bisiknya lalu buru-buru masuk ke kamar mandi sementara aku hanya tertawa melihatnya.

<hr />

Aku sedang menyiapkan makan malam bersama mama di rumah orang tua kami. Hari ini peringatan kematian nenek dan semua keluarga berkumpul. Setelah makanan sudah siap, kami bergabung dengan mereka di ruang tengah bersama yang lainnya, menunggu waktunya makan malam.

“Fer, bagaimana skripsimu?” tanya papa saat aku duduk di samping Ferdi.

“Semuanya berjalan lancar, pa,”
“Itu bagus,”
“Halo semua!!!”

Suara ceria itu membuat kami semua menoleh ke arah sana.

“Oh, Karina... kemarilah!!” kata mama.

Aku menatap seorang gadis cantik yang sedang berjalan ke arah kami. Dia memakai gaun putih selutut yang sederhana. Gadis itu sangat manis.

“Fer, Karina sudah pulang dari luar negeri kemarin. Dia terus-terusan

menanyakanmu,” jelas mama.

“Fer, kangeenn...” seru Karina ceria dan langsung bergelayut manja di lengan Ferdi lalu mengecup pipi Ferdi. Kuulangi! Mengecup pipi!! Aku melotot melihatnya, dan semuanya langsung terdiam.

“Hei, apa-apaan kau ini??!” teriak Ferdi dan langsung menjauhkan tubuhnya dari Karina.

Gadis itu memanyunkan bibirnya sambil menarik lengan Ferdi lagi. “Apa kau tidak rindu pada istrimu ini, huh?”

Jika tadi aku melotot, mungkin kali ini mulutku sudah ternganga secara otomatis.

“Jangan ngawur, kapan aku menikah denganmu?? Jangan bercanda!!” sembur Ferdi galak.

Karina berdiri dengan raut wajah kesal, “Fer, kita sudah menikah lima belas tahun yang lalu, apa kau lupa huh?”

A-apa katanya? Lima, lima belas tahun yang lalu?
“Hei, Karin, jangan membuat cerita yang tidak-tidak ya!!” kata Ferdi.

Dengan kesal gadis itu membuka tas kecilnya dan meletakkan selembar foto di meja. “Ini foto pernikahan kita, apa kau lupa? Aduh... sial sekali nasibku, selama ini aku selalu menyimpannya dan berharap untuk bertemu denganmu setelah menyelesaikan sekolahku, tapi ternyata kau melupakanku, istrimu sendiri...”

Ferdi menatap foto itu dengan wajah bingung sementara aku tidak tahu harus berbicara apa.

“Mama... papa... dia melupakanku,” Karina pindah duduk ke sebelah Ferdi dan memeluk lengannya sambil merengek.

“Karin, kita masih anak-anak saat itu, apa kau gila?” sungut Ferdi.

“Anak-anak atau bukan, kau sudah mengucapkan janji itu. Kau adalah suamiku, aku tidak peduli apapun!!” sambut Karina.

“Mama...” Ferdi menatap mamanya memohon pertolongan.

Mama terlihat sangat tidak enak. “Aku ragu ini semua benar, Fer... bagaimanapun kalian dulu pernah menikah,” kata mama.

“APA? Jadi maksud mama sekarang, aku punya dua istri begitu?” kata Ferdi.

“D-dua istri?” tanya Karina tajam “Apa maksudmu, Fer? Kau menikah lagi tanpa ijinku?”

Tiba-tiba saja aku merasa pandanganku kabur. Dadaku tiba-tiba menjadi sesak. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, aku tidak mengerti dan aku tidak ingin mengerti.

“Citra, bisa kau ikut aku sebentar?” tanya mama lembut.

Tubuhku tidak bisa bergerak, bagaimana ini? Aku merasakan mama menarikku, membawaku ke kamarnya. Ia mendudukkanku di atas tempat tidurnya lalu menghampiri lemari dan mengambil sebuah album foto. Dia duduk di sebelahku sambil membuka lembaran album itu kemudian berhenti di sebuah foto yang sama persis dengan yang dibawa Karina itu tadi.

“Dulu, saat masih kecil... Ferdi dan Karina sangat dekat. Karina adalah putri tetangga kami. Karena kedekatan mereka, kami berencana untuk menjodohkan mereka. Tapi ayah Karina bilang tidak perlu menunggu mereka besar dulu untuk menikah. Karena itu saat masih kecil, kami sudah menikahkan mereka.

”Itu tidak lama, karena kemudian mereka terpaksa harus pindah ke Paris karena ayah Karina ditugaskan di sana untuk bekerja. Itu terjadi saat Ferdi masih berumur sepuluh tahun, dan Karina masih delapan tahun. Mereka masih duduk di

bangku SD. Seiring berjalannya waktu, kami melupakan hal itu hingga kau datang...”

Nafasku tercekat mendengarnya. Rasanya ada yang menghimpit jantungku. “M-maksud mama... aku ternyata adalah... istri kedua Ferdi?” tanyaku bersamaan dengan air mata yang berjatuhan.

Mama hanya menatapku prihatin, “Maafkan aku...”

Bibirku bergerak ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar sementara air mataku sudah berjatuhan. Ini tidak mungkin! Kalaupun itu benar, lalu aku harus bagaimana? Aku tidak bisa berfikir. Aku harus bagaimana? Bagaimana mungkin suamiku tiba-tiba menjadi suami wanita lain juga? Terlebih, aku yang kedua. Ayah... ibu... tolong aku!

<hr />

Malam ini kami menginap di rumah orang tua Ferdi. Tapi aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku melirik Ferdi yang tidur pulas di sampingku. Perlahan, kusingkirkan lengannya yang memeluk perutku.

Aku beranjak bangun pelan-pelan lalu pergi ke taman belakang dan duduk di ayunan kayu favoritku. Kunaikkan kakiku lalu kudekap. Angin yang berhembus sejuk itu malah membuatku menggigil. Tiba-tiba saja air mataku keluar. Kuhapus dengan cepat. Tapi tidak bisa berhenti, air mata ini tidak bisa berhenti.

Sekarang harus bagaimana? Karina adalah istri pertama Ferdi. Dan aku? Bagaimana aku harus menyebut posisiku saat ini?? Aku terisak pelan. Haruskah kami berpisah?

Aku benar-benar tidak siap dengan keadaan ini. Kenapa memikirkan perpisahan rasanya sangat menyakitkan? Akankah skenario yang sudah kami rancang bersama harus berakhir? Fer... aku harus bagaimana? Jika Karina memintamu menceraikanku, aku harus bagaimana? Haruskah aku pergi dari hidupmu?

“Aku sudah tahu semuanya...”
Aku tersentak saat mendengar suara itu. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Karina, gadis itu sedang berdiri di hadapanku. Lalu, ia duduk di sampingku.

“Terus terang... aku sangat terkejut mendengar dia sudah menikah dan merasa sangat kecewa karena dia telah melupakanku. Tapi ada satu hal yang tidak kuberitahukan kepadanya. Aku tahu Ferdi sangat mencintaimu, Citra. Tapi aku juga mencintainya,”

Dia terdiam sejenak sementara aku sudah tidak bisa bergerak. Apakah secepat ini dia memintaku agar meninggalkan Ferdi?

“Aku tidak memintamu untuk menceraikan Ferdi,” Aku menoleh kaget ke arahnya. Apa maksudnya?

“Kau tahu kenapa aku kembali? Itu karena aku mengidap kanker hati stadium akhir,”

Aku semakin tidak dapat berfikir. Gadis ini sakit.

“Aku kembali karena aku ingin menghabiskan waktuku bersama Ferdi, disaat-saat terakhirku, tolong biarkan aku untuk bersamanya. Seharusnya aku tidak perlu meminta ijin darimu mengingat aku adalah istri pertamanya. Tapi selama ini kau sudah menjaganya dan aku sangat berterima kasih,”

Tidak, jangan berterima kasih. Itu membuatku terlihat seperti orang lain yang diminta tolong untuk menjaganya. Aku istrinya dan sudah seharusnya aku menjaganya. Aku tidak perlu rasa terima kasih itu. Ingin kuteriakkan hal itu kepadanya tapi lidahku terasa kelu.

“Kau tahu, waktuku tidak lama lagi, dokter memperkirakan hanya sebulan... tolong jangan beritahukan hal ini pada Ferdi, apapun yang terjadi. Aku tidak ingin dia mengasihaniku, aku tidak perlu rasa kasihan itu. Berjanjilah kepadaku, Citra,”

<hr />

“Ciki Sayang, katakan sesuatu,” pinta Ferdi dengan nada memohon begitu kami memasuki ruang tamu.

Pagi ini kami baru saja kembali dari rumah orang tua Ferdi. Dan aku belum berbicara satu katapun padanya sampai saat ini. Aku masih tidak mempedulikannya dan langsung masuk kamar. Kulempar tasku ke sofa dan melepas jaket panjangku. Kemudian aku masuk ke dalam kamar mandi. Sepertinya aku harus berendam untuk mendinginkan kepalaku.

Kuisi bathtub dengan air hangat dan mencampurnya dengan aroma lavender favoritku dan mulai melepas kaosku. Tiba-tiba aku tersentak saat seseorang menarik lenganku, membalik tubuhku dan langsung melumat bibirku dengan rakus.

“Mmmfff... F-Fer... mmf...”

Ferdi menarik pinggangku lebih erat hingga tubuhku menempel di tubuhnya. Ia menciumku dengan kuat hingga aku sampai terdorong ke belakang. Aku tidak pernah merasakan ciuman ini sebelumnya. Biasanya ia selalu lembut. Tapi kini, seperti ada amarah, rasa frustasi dan juga permohonan di dalamnya. Membuatku mengeluarkan air mata.

“Hmmff... Fer... pff...” semakin aku memberontak semakin kuat ia. Akhirnya, tubuhku melemas dan mulai membalas ciumannya. Tidak ada gunanya melawannya.

Setidaknya biarkan aku egois memilikinya saat ini. Fakta bahwa ia tidak hanya milikku membuatku menginginkannya lebih. Biarkan aku memilikinya sendiri saat ini sebelum besok luka itu melebar karena harus membiarkannya bersama wanita lain.

Ferdi memperlembut ciumannya saat merasakan tubuhku pasrah. Perlahan, kubalas ciumannya. Kulingkarkan lenganku pada lehernya. Meremas rambut halusnya yang wangi.

“Mmmmhh...” aku mulai mendesah pelan.

Ferdi semakin menekan bibirku dalam-dalam. Lidahnya menerobos masuk menjilati lidahku. Air liur kami bercampur dan sebagian menetes ke dagu.

“Nngghh...“ nafasku mulai tersengal sementara Ferdi masih melumat bibirku. Rasanya manis dan lembut.

“Oooohh...” tangannya menyusup masuk ke dalam kaosku dan mengusap punggungku lembut saat bibirnya bergerak mengecupi daguku.

“Hmmmhh...” suara desahan dan decakan ciumannya menggema dalam kamar mandi ini. Membuat tubuhku menegang dan menggeliat hingga payudaraku menggesek dada bidangnya yang tertutup kaos. Bibirnya terus menuruni daguku dan mengecupi leherku. Dijilatinya kulit leherku hingga aku harus mengangkat wajahku, memberinya ruang untuk membuat satu hisapan kecil disana.

“Hnghhh... Feerr...” desahku keras saat ia menghisap kulit leherku. Digigitnya telingaku lembut. Nafasnya yang berat terdengar jelas. Dan itu seperti suara nyanyian yang merdu di telingaku.

“Mmmhh... Fer... hhhh...” dikecupinya daerah belakang leherku dan semakin turun ke bawah, ke bahuku.

Tiba-tiba ia mengangkat kaosku dan melepasnya dalam sekali sentakan, lalu dibuangnya entah kemana. Disibaknya rambutku ke samping lalu dikecupinya bahu belakangku, membuat wajahku tenggelam dalam lehernya. Kukecup pelan kulit lehernya yang hangat.

“Mmmmhh... hhh...” ia mendesah pelan.

“Hngghh... Ferr...” aku melenguh pelan saat merasakan tangannya meraba pinggangku, daerah sensitifku. Jari-jarinya bergerak ke depan, melepas kancing celanaku dan membuka resletingnya.

“Ooohhhh... aaahhh...” lagi aku mendesah saat tangannya meraba lembut pinggangku, menyingkap celanaku perlahan.

“Hnghhh... hhhh...” desahnya saat aku menggigit bahunya. Kulepaskan kaos abu-abu yang dipakainya dan melemparnya asal. Kuraba dadanya lalu perutnya

“Hmmhhh...” Sekarang ia meremas-remas pantatku dan aku tergoda untuk mengecupi lehernya. Kujilati setiap inci kulitnya.

“Aaaarrgh...” ia mengerang tertahan saat kuhisap jakunnya dengan lembut, menjilatinya lebih lama.

“Eenghhh... Ferr... aaahhh...” aku mendesah keras saat merasakan jarinya menggesek-gesek vaginaku.

Zzzzrrrssssh... Air shower yang dingin tiba-tiba jatuh membasahi tubuh kami. Ternyata tangan Ferdi yang menyalakannya. Melihat rambutnya yang basah dengan air yang menetes-netes membuatku semakin bergairah. Perutku terasa diaduk-aduk dan vaginaku berdenyut cepat. Kukulum putingnya, membuatnya mengerang tertahan.

“Cik... ahhh...” tangan Ferdi naik menyusuri punggungku dan melepas kaitan braku lalu melemparnya menjauh. Diremasnya pelan buah dadaku.

“Oooohhh... aahhhh... Ferr... hhh...” Kulepas celananya dengan cepat lalu meremas tonjolan penisnya yang masih terbalut celana dalam.

“Aaaaakhh...” Ferdi melenguh keras, dipilinnya putingku, dimainkannya dalam jemarinya. Ia mematikan shower lalu mencium keningku, mataku. Bibirnya turun menyusuri pipiku, rahangku, lalu menjelajahi leherku lagi.

“Mmmhh... nghhh...” Perlahan kulepas celana dalamnya lalu menyentuh penisnya dengan ujung jariku.

“Uuuugghh...” ia melenguh lagi. “Terus, Cik...“ pintanya dengan nafas menderu. Kugenggam penisnya lalu mengurutnya pelan.

“Aaaasshhh... nghhh...” desahnya semakin keras terdengar di telingaku, membuatku jadi semakin bergairah.

Tanganku terasa lengket oleh cairan bening yang keluar dari penisnya. Terus kuurut benda coklat panjang itu dengan lambat, merasakan otot-otot kasarnya sementara Ferdi mulai melepas celana dalamku. Diusap-usapnya lagi pinggangku, membuatku mendesah semakin keras. Kurasa ia sudah tahu kalau itu salah satu titik sensitifku.

Tiba-tiba Ferdi melepaskan lengannya yang memeluk pinggangku lalu duduk di lantai kamar mandi dengan bersandarkan bathtub. Tangannya menarikku kehadapannya lalu memegang kepalaku dan mengarahkannya pada batang penisnya.

Kukecup ujungnya yang mengerut indah.

“Aaaaahhh... uuuuggh... hhhh...” tubuh Ferdi langsung mengejang dan aku terus mengecupi penisnya dari ujung hingga ke pangkal. Lalu kusedot biji pelirnya secara bergantian.

“Oooohhh... sangat nikmat, Sayang... hhhh...” rintih Ferdi suka. Kujilati terus biji pelirnya, kubasahi dengan air liurku.

“Nnghhh... aaagghh...” Ferdi memejamkan mata menikmatinya. Mulutnya terbuka sambil terus merintih.

Kujilati terus penisnya sambil kukecup-kecup ringan sesekali. Bunyi decakan kecupanku membuatnya semakin terangsang. Tiba-tiba Ferdi mengangkat kepalaku lalu menarik tubuhku ke atas. “Berbaliklah...” bisiknya pelan.

Aku pun berbalik sementara ia memerosotkan tubuhnya hingga tidur di lantai, tepat menghadap ke arah vaginaku sementara posisiku sedang merangkak di atasnya, menghadapi batang penisnya.

“Lanjutkan, Cik,” katanya pelan.
“Aaaahh... Ferr... uuuggh...” aku mengerang saat merasakan lidahnya menyapu

daging vaginaku. Rasanya sangat nikmat hingga air mataku ingin tumpah.

“Nngghhh... ohhh... aaaahhh...” Ferdi terus menjilati daging vaginaku. “Lanjutkan... Cik...” ia menggerakkan pinggulnya naik turun hingga ujung penisnya menyentuh wajahku.

Kuemut ujung penis yang mengeluarkan lendir bening itu. Rasanya asin. Kusibak lubangnya dengan ujung lidahku.

“Aaaaggghh...” Ferdi melenguh lalu melanjutkan jilatannya di vaginaku. Kali ini disibaknya lipitan vaginaku dengan lidahnya lalu menyedot kuat klitorisku.

“Aaaakhh...” aku menjerit tertahan dan membalas dengan menghisap ujung penisnya lebih kuat.

“Nnggghh... mmhhh...” Ferdi menjilat-jilat klitorisku dengan lidahnya, menghisapnya dan menggigitnya pelan.

“Mmmmhhh... mmhhh...” kumasukkan semakin dalam batang penisnya ke dalam mulutku lalu menggerakkannya naik turun bersama dengan tanganku yang menggenggam pangkal penisnya dan mengocoknya perlahan.

“Ooohh... shhhh...” desisan Ferdi terasa di vaginaku. Nafasnya yang hangat menggelitik disana, sementara lidahnya masih terus menyapu vaginaku, melumasi dengan air liurnya.

“Hhhhhh... ssshhh... Ferr... mmmmhh...” desahku saat Ferdi memasukkan satu jarinya ke dalam lubang vaginaku, lalu menggerakkannya lambat. Terus kukulum penisnya yang semakin besar. Membasahinya dengan air liurku.

“Aaaahh... aaahhh... lebih cepat, Cik... oohhh...” desisnya.

“Nngghhh...” Ferdi memasukkan satu jarinya lagi lalu menggerakkannya semakin cepat. “Mmmmhh... mmm...” kupercepat gerakan mulutku. bagian bawah perutku terasa ngilu. Rasanya ada sesuatu yang ingin keluar. Dan semakin lama rasa itu semakin kuat hingga...

“Aaaaaaaaggghhh...” lenguhku panjang sambil melepaskan penisnya. Cairanku keluar dan Ferdi langsung menghisapnya. Vaginaku masih terasa berdenyut- denyut saat ia menyedotnya dengan begitu kuat.

“Uuuugghh...” kukulum lagi penisnya lalu mengocoknya dalam mulutku, sesekali kusedot kuat-kuat.

“Oooohhh... terus, Sayang... enghhh... aaaaaaaggghhh...” lenguh panjang Ferdi terdengar bersamaan dengan cairan yang menerobos langsung ke tenggorokanku, membuatku hampir tersedak.

Kami berhenti beberapa saat untuk mengatur nafas. Lalu Ferdi beranjak bangun sambil membantuku. Ia menarikku berdiri dan memelukku dari belakang, menciumi tengkukku sambil meremas buah dadaku.

“Nnghhh...” aku kembali mendesah merasakan kecupan-kecupannya di punggungku. “Ferr... ssshh...” ia memilin putingku lembut. Ciumannya menjadi semakin liar. Penisnya sudah menegang lagi dan kali ini menusuk-nusuk tepat di belahan pantatku. Tubuhnya mendorongku condong ke depan hingga aku harus bertumpu pada pinggiran bathtub.

“Eengghh... aaah...” penisnya menggesek-gesek vaginaku dari belakang. “Hmmmhhh...” desah Ferdi terdengar jelas. Nafasnya menyapu bahu dan leherku.

“Aaaakkhhh...” jeritku tertahan saat dengan sekali sentakan Ferdi memasukkan penisnya dengan kuat hingga menghantam dinding rahimku. Rasanya ngilu sekaligus nikmat. Perlahan, ia mulai menggerakkan pinggulnya.

“Nngghhh... aaaahhh... aaahh...” desahku saat penisnya mulai menggesek dinding rahimku dengan lambat.

“Oooohhh... uuughh... hhhh...” ia mempercepat gerakannya. Aku mengimbanginya dengan menggerakkan pinggulku berlawanan arah.

“Oooohhhh... Fer... sshhh... aaaahhh...” desahku.

“Terus, Sayang... ssshh... aaaah... aaaahhh...” balasnya. Tangannya meremas-remas dadaku yang menggantung bebas. Bibirnya mengecupi tengkukku lagi.

“Uuuughh... Ferr... aaahhh...” aku merintih di antara goyangannya.

“Ciki Sayang... engghhh... aahh... aaaaghh... lebih cepat...” racau Ferdi dengan nafas tersengal. Penisnya menghentak-hentak cepat, membentur-bentur dinding rahimku. Menyentuh G-spotku.

“Sssshhh... ooohh...” aku mencengkeram tepi bathtub dengan kuat. Suara benturan alat kelamin kami menggema dalam kamar mandi. Perutku terasa geli, seperti dikocok-kocok.

“Ferr... aaah... aaah... ngghh...” Bibir Ferdi mencium pipiku. Aku menoleh dan kami berciuman penuh gairah. Decakan ciuman kami dan benturan alat kelamin kami terdengar sangat kontras bersama desahan-desahan yang keluar.

“Aaaahh... uuughh...” aku melepaskan ciumannya saat ada sesuatu yang mendesak pada vaginaku. “Aaaaaggghhhh...” vaginaku berdenyut kuat lalu mengeluarkan cairan orgasmeku bersama dengan lenguh panjangku.

“Oooohhh... ssshhh... hhhh...” Ferdi masih menghentak-hentakkan penisnya, membuat vaginaku becek oleh cairanku yang baru saja meleleh keluar. Bunyi benturan itu semakin keras, membuatku mendesah lagi.

Tiba-tiba saja Ferdi menghentikan gerakannya lalu melepaskan penisnya. Ia masuk ke dalam bathtub lalu menarikku ikut bersamanya. Air bathtub yang hangat dan wangi membuat tubuhku rilex seketika.

“Tidurlah,” bisik Ferdi di telingaku. Aku menurutinya. Aku merebahkan diri di dalam bathtub. Lalu Ferdi mengangkat kakiku, membukanya lebih lebar, menaikkannya hingga keluar bathtub.

”Ngghhh...” aku mendesah lagi saat penisnya yang masih menegang itu menggesek-gesek vaginaku di dalam air yang hanya terisi seperempat.

“mmmhh... ooohhhh... Ferr...” erangku tertahan saat ia mengulum salah satu putingku. Tanganku otomatis memeluk lehernya, menyusupkan jemariku ke dalam rambutnya yang basah.

“Uuuummhh... aaahhh...” ia memainkan putingku dengan lidahnya. Melumuri benda mungil kemerahan itu dengan air liurnya sementara ia memilin puting yang satunya.

“Aaaaaghh... ooohhh... nghhhh...” aku mendesah keras saat penisnya mulai melesak masuk ke dalam lubang vaginaku.

“Hmmmhhh... mmpphhh...” terus disedot-sedotnya putingku sebelum kemudian beralih ke puting yang satunya.

“Aaaasshhh... nggghhhh... uuuggghhh... Ferdii...” rintihku saat ia mulai menggerakkan pinggulnya.

“Hmmmhh... aaahh... mmmmhh...” ia menggigit-gigit pelan putingku, membuatku makin menggeliat keenakan.

“Kau hhh... sangat nikmat, Sayang... nghhhh... aaaahhh...” Ferdi terus menggerakkan penisnya, menggesek-gesek dinding vaginaku. Air berkecipak karena gerakan kami. Apalagi saat Ferdi semakin mempercepat gerakannya.

“Aaaassshh... ssshh... uuughhh... ngghhhh... lebih dalam, Fer... aahh...” pintaku.

Ferdi semakin kuat mendorong penisnya, bahkan hingga tubuhku terguncang- guncang. Rasanya menjadi semakin nikmat, dan semakin mendesak.

”Oooohhh... ssshshh... aaaaaaggghh... aaaaaagghhh...” Kami melenguh bersama saat mencapai klimaks. Sperma Ferdi hangat mengalir di dalam perutku, bercampur dengan cairanku. Rasanya geli sekaligus nikmat. Vaginaku dan penisnya masih berdenyut-denyut kuat, sebelum Ferdi merubah posisi kami hingga kini aku yang berada di atas.

Kusandarkan kepalaku ke dadanya sambil memejamkan mata, merasakan tangannya mengusap-usap punggungku, membasahinya dengan air. Aku menatap cermin sambil mengeringkan rambutku setelah proses mandi yang panjang tadi. Aku bukan satu-satunya istrinya.

Kenyataan itu menghampiri pikiranku lagi. Membuat dadaku menjadi sesak. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, Karina yang lebih dulu berhak atas Ferdi.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Ferdi sambil memelukku dari belakang. Ia menyandarkan dagunya di bahuku sambil memejamkan mata. Pertanyaan bodoh sebenarnya.

“Fer...”

“Hmmm?”

“Untuk sementara waktu, bisakah kau tinggal dengan Karina?”

“Apa?” ia membuka mata lebar-lebar dan langsung memutar tubuhku menghadapnya.

“Bisakah kau tinggal dengan Karina?” aku mengulang lagi pertanyaan itu.

“Cik, kau tidak bermaksud untuk mengusirku bukan?”
Aku menggeleng pelan.

“Saat ini dia sedang membutuhkanmu, Fer...”

“Aku juga membutuhkanmu, Cik, sangat membutuhkanmu malah!!”

“Mengertilah, Fer... dia juga istrimu,”

“Aku hanya memiliki satu istri dalam hidupku, dan dia bernama Citra Kirana. Bukan yang lain!” tegasnya dengan tatapan tajam.

Air mataku mulai menggenang. Aku sangat menyukai kata-katanya. Tapi aku sudah berjanji pada Karina. Dia sedang sakit dan membutuhkan kehadiran Ferdi. Aku tidak boleh egois.

“Dia membutuhkanmu, Fer,” kataku lagi.

“Lalu kau tidak?”

“Aku...”
“Jawab aku, Cik!!”

Air mataku jatuh. “Temani dia, Fer...”
“Kau tidak menginginkanku?” bisik Ferdi dengan tatapan terluka.
“Kumohon...” pintaku sambil menunduk. Aku tidak ingin melihat tatapan itu. “Aku tidak peduli, Cik. Aku tidak peduli dengannya, jangan memaksaku...” “Dia sakit, Fer!!” bentakku dengan suara bergetar. “Kanker hati stadium akhir...” Tubuh Ferdi membeku. “A-apa?”

“Dia membutuhkanmu... pergilah... buatlah dia bahagia, tapi jangan bilang aku yang mengatakan tentang penyakitnya. Aku sudah berjanji kepadanya. Untukku, Fer... tolong bahagiakan dia... aku tidak boleh menjadi egois. Bagaimanapun, kau mengikat janji lebih dulu dengannya,” aku memalingkan wajahku lalu berbalik membelakanginya. Kata-kataku yang terakhir itu benar-benar seperti boomerang yang berbalik menyakitiku. Rasanya sangat sakit.

BRAAAAK...!!!

Aku mendengar pintu kamar dibanting keras dan seketika tangisku pecah. ”Maafkan aku, Fer...”

<hr />

Sudah tiga hari aku menginap di rumah Julia, teman kampusku. Di kampus, sebisa mungkin aku menghindari Ferdi. Terkadang, aku melihatnya sedang bersama Karina. Aku tahu dia terpaksa melakukannya. Wajahnya selalu terlihat kesal saat Karina mengikutinya.

Aku menghela nafas pelan tanpa semangat. Aku merindukannya... sangat. Aku merindukan setan tampanku, aku merindukan babi kecilku, aku merindukan teriakannya, suaranya, pelukannya, ciumannya, sentuhannya. Dan memikirkan hal itu membuat dadaku terasa sesak.

“Maaf, permisi...“

Aku mengerjap dan langsung menghapus air mataku saat seseorang menegurku. “I-iya, ada apa?”

“Maaf, apa kau melihat gadis ini disini?” tanya seorang laki-laki sambil menunjukkan ponselnya kepadaku.

Aku mengerutkan kening. Foto gadis itu tampak familiar... “KARINA??” pekikku keras.

“Apa kau mengenalnya? Dia ada disini bukan??” tanya laki-laki itu senang. Aku menatapnya ragu. Siapa dia?

“Kau mencarinya?” tanyaku balik.

“Benar, aku sedang mencarinya. Kau mengenalnya?”

“Kau siapa?”

Dia tersenyum lebar, “Aku Zakky, tunangan Karina,” “A-apa? Tu-tunangannya?” tanyaku tergagap.
“Benar... apa kau melihatnya? Di mana dia?” tanya Zakky.

Aku menatapnya bingung. Dia tunangan Karina. Lalu Ferdi suaminya. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku jadi semakin bingung. “K-kau yakin dia... tunanganmu?” tanyaku mencari kejelasan.

Laki-laki itu mengerutkan kening. “Tentu saja,” jawabnya tanpa keraguan.

“Kau mencari Karina? Itu dia!!” aku menunjuk Karina yang tengah bergelayut manja di lengan Ferdi.

Laki-laki itu mengikuti pandanganku dan seketika membeku. Tatapannya seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “HEI, KARIN!!!” teriaknya keras, membuatku terkejut.

Kulihat Karina juga sama terkejutnya. Gadis itu langsung melepaskan lengan Ferdi. Zakky berjalan dengan cepat menghampirinya. Aku mengikutinya. “Apa yang kau lakukan, huh?” ditariknya lengan Karina dengan kasar menjauh dari Ferdi.

“Z-Zakky... bagaimana bisa kau ada disini?” tanya Karina.

Ferdi menatapku bertanya tapi aku hanya menggeleng pelan.

“Aku susah payah mendapatkan liburan yang sama untuk menyusulmu kemari, tapi apa yang kulihat huh? Tadi saat kutelepon kau bilang sedang mengerjakan sesuatu disini. Jadi ini yang sedang kau kerjakan, kencan dengan laki-laki lain? Kau lupa kau sudah bertunangan?” marah Zakky.

“T-tunangan?” gumam Ferdi bingung.

PLETAK...!!!
“ADUH!!”
Aku tercengang melihat Karina tanpa keraguan menjitak kepala Zakky.

“Siapa suruh kau tidak memberitahuku kalau akan menyusulku, huh? Dan sekarang kau merusak semuanya! Zakky bodoh!! Aku tahu kau tunanganku, jadi tidak usah marah-marah seperti itu!!”

“Lalu apa yang kulihat tadi?” sergah Zakky tak ingin kalah.

“Itu hanya pura-pura! Kau puas? Karena kau tidak ikut bersamaku, aku berencana menghabiskan waktuku dengan bersenang-senang sedikit!! Ferdi sudah menikah, kau tahu? Dan dia tidak mengundangku bahkan tidak memberitahuku, jadi aku berpura-pura menjadi istrinya dan melihat bagaimana mereka!!

Ferdi itu sangat- sangat pelupa, bahkan dia tidak ingat kami pernah main drama waktu masih kecil dulu. Kugunakan saja foto pernikahan dalam drama itu dan meminta keluarga untuk membantuku.

Lagipula aku ingin tahu seperti apa istrinya, apa dia mencintai Ferdi dengan tulus? Apa dia gadis baik-baik? Tapi tiba-tiba kau datang dan merusak semuanya. Kau benar-benar tolol!!!”

“Karin, aku tidak bisa mengerti kata-katamu...” kata Zakky.

“Kau memang bodoh, mana mungkin bisa mengerti??!”

“J-jadi... itu hanya pura-pura?” tanya Ferdi seram.

“Iya!!” sahut Karina, tapi kemudian ia terdiam dan menoleh sambil menyengir lebar ke arah Ferdi yang menatapnya dengan aura iblisnya.

“Karin, kau sudah membuat istriku menangis!!” kata Ferdi tajam dengan tatapan kemarahan.

“Iya, maaf... tapi kan kau jadi tahu kalau ternyata Citra sangat mencintaimu,” Karina menepuk lengan Ferdi masih dengan cengirannya “Dan aku jadi lega karena Citra sangat mencintaimu, dan dia sangat baik. Kau tidak tahu, dia menangis sendirian setelah mengetahui hal itu, dia sangat mencintaimu, Fer,”

“Benarkah?” tanya Ferdi suka. “Tentu saja!!”

Tatapan iblis Ferdi berubah menjadi senyum iblis. Astagaaaa... aku segera menutup mukaku dengan kedua tangan. Mudah sekali suamiku dirayu. Ckck, dia itu polos atau bodoh?!

“Cik, kau mencintaiku?” tanyanya dengan tatapan berbinar seperti anak kecil mendapatkan mainan.

Apa dia begitu bodoh? Tentu saja aku mencintainya meskipun aku tidak pernah mengatakan I Love U kepadanya.

“Baiklah, Fer, kembalilah pada istrimu. Aku tidak membutuhkanmu lagi. Zakky, ayo kita pergi!!” Karina buru-buru menarik tunangannya pergi.

Aku hanya bisa menghela nafas melihatnya. Bagaimana bisa iblis dikerjai oleh seorang gadis bernama Karina? Baiklah, kesimpulanku hanya satu. Ferdi adalah iblis yang bodoh!!

“Cik, kau belum menjawabku...” rengeknya.

Aku tersenyum manis kepadanya. Terlalu manis. “Fer... apa kau tidak merasa sudah dibodohi?”

“Apa?”
“Kita baru saja dikerjai hingga hampir berpisah dan kau dengan mudahnya tertipu

hanya karena dia bilang aku mencintaimu. Hah, tentu saja aku mencintaimu, Fer. Aku...” Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Aku malah berdiri mematung. Ferdi baru saja mengecup bibirku dan sekarang sedang tersenyum seperti bocah.

”Kau mencintaiku... itu saja sudah cukup, Cik. Kita pikirkan balasan untuknya nanti,” bisik Ferdi lalu memelukku.

Ada perasaan hangat yang mengalir saat merasakan pelukannya. Sangat nyaman... kemudian aku tersentak. “KITA SEDANG DI KAMPUS, FER!!!”
Cerita Dewasa Pengantin Baru IV - Kebohongan Ini Cerita Dewasa Pengantin Baru IV - Kebohongan Ini Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.