Cerita Dewasa Pengantin Baru IX - Aku Hamil

Cerita Dewasa Pengantin Baru IX - Aku Hamil - “Uugh...” aku mengerjapkan mata sambil memegangi kepalaku yang terasa pusing. Badanku terasa berat. Kulirik seseorang yang masih pulas di sampingku. Seperti biasa, menatap wajahnya untuk memulai hariku. Tanganku terulur meraih laci meja lampu dan membukanya.

Kuambil sebuah camera lalu memotretnya. Ah, dia terlihat sangat, well sexy. Kukembalikan kameraku sebelum dia merebutnya lalu berbisik di telinganya “Fer, bangun!!”

Dia tidak bergeming sama sekali. Kuusap-usap kepalanya lembut. Ia mulai bergerak pelan.

“Fer, kamu harus ke kantor. Bangunlah,”

“Bisakah kau mengatakan pada Papa kalau aku sakit?” tanyanya dengan suara serak, masih memejamkan mata.

Kupencet hidungnya, “Kau mengajariku untuk berbohong, eh?”

Ia tersenyum lalu membuka mata. “Aku benar-benar malas dan ingin melanjutkan kegiatan kita tadi malam,”

Astaga Tuhan. Apa dia tidak tau kalau kata-katanya itu membuat wajahku ini memerah?! “Jangan kekanakan. Ayo, cepat bangun!!”

“Morning kiss,” katanya sambil memejamkan mata. Aah... chuup... “Mmmhhh...”

Sial, tangannya menahan tengkukku, membuat niatku yang hanya mengecupnya kini tertahan. Bibirnya melumat nikmat bibirku. Kau tau? Ciumannya selalu memabukkan. Tapi dia tidak memberiku kesempatan sama sekali untuk bernafas. Aku memukul-mukul dadanya. Astaga, apa dia ingin membunuhku?

“Haaaah...” kulepas paksa ciuman itu. “Fer! Kau ingin membunuhku, hah?” teriakku pada laki-laki yang masih memejamkan mata sambil mengambil nafas itu.

Dia tersenyum tanpa dosa kepadaku. Dan tidak... sudah jam berapa sekarang ini? Kucari ponselku dengan panik dan seketika melotot saat melihat jam di layar ponsel.

“Fer, cepat bangun! Ini sudah setengah tujuh lewat!” teriakku panik sambil menyambar baju handuk. Secepat kilat aku keluar kamar. “Kalau sepuluh menit lagi kau belum siap, aku akan menggantungmu! Pakai jasmu yang sudah kugantung di depan lemari!!”

<hr />

Aku menghela nafas pelan. Kulihat file-file di depanku dengan malas. Sepertinya aku tidak enak badan hari ini. Rasanya badanku lemas. Saat sarapan tadi pun perutku tidak enak. Apa aku sakit? oh ayolah... Apa yang bisa dilakukan suamiku itu jika aku sakit?! Well, tentu aku tidak ingin memakan bubur hancurnya itu saat sakit.

Aku sudah lulus kuliah dua bulan yang lalu. Dan sekarang aku membantu Mama bekerja di butik gaun pengantin miliknya. Sebenarnya aku juga menjadi editor di perusahaan Papa, tapi itu bisa kulakukan sebagai sampingan saja.

“Citra, ada seseorang yang ingin melihat desain terbaru kita, bisa kau tunjukkan?” tanya Mama. Terlihat ia sedang membawa kotak berisi aksesoris gaun.

“Tentu, Mah,” jawabku sambil beranjak dari duduk. Aku berjalan menemui sepasang pria dan wanita yang tampaknya akan menikah itu. Keringat dingin mulai mengalir di tengkukku. Nafasku terasa berat. Sepertinya aku memang sakit.

“Selamat siang,” sapaku sambil membungkuk pada pasangan itu. “Apa anda ingin melihat desain terbaru kami? Mari saya tunjukkan,” ucapku ramah. Kuantar mereka ke sebuah ruangan. Di sana ada beberapa manequein yang menggunakan gaun pengantin dan beberapa rak yang berisi gaun-gaun.

“Silahkan anda melihat-lihat,” ucapku lagi “Bagaimana model yang anda inginkan?”

“Kami ingin yang sederhana saja, tapi manis dan mewah,” ucap wanita itu.

“Ah, tunggu sebentar,” aku berjalan menuju sebuah rak. “Fit, bisa kau bantu aku mendorong rak ini?” pintaku pada seorang gadis yang menjahit manik di sebuah gaun.

“Iya, sebentar,” jawab gadis itu kemudian menghampiriku.

Tiba-tiba saja aku merasa dunia berputar. Keseimbanganku hilang. “Mbak Citra!!!” teriakan itu sempat kudengar sebelum semuanya gelap.

<hr />

“Uugh...” aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut.

“Ciki sayang...”

Suara itu. Suara Ferdi. Aku mengerjapkan mata pelan dan melihat wajah itu ada di sana. Menatapku dengan cemas.

“Aku kenapa?” tanyaku pelan sambil berusaha bangun.

“Kau pingsan tadi,” jawabnya sambil membantuku duduk.

“Apa kau sakit, Citra?” tanya Mama.

“Aku sepertinya tidak enak badan...”

“Kenapa tidak bilang padaku?”

“Tunggu... apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku pada Ferdi.

“Tentu saja melihatmu, bodoh!! Kau pikir siapa yang tidak panik saat mendapatkan telepon kalau kau tiba-tiba saja pingsan?” semburnya.

“Ah... kenapa Mama menelepon Ferdi?! Aku hanya pingsan!!”

“Hanya pingsan??” Ferdi melotot kepadaku. Oke, itu berlebihan. Aku hanya pingsan, bukan mengalami kecelakaan atau semacamnya.

“Ayolah, Fer... aku haus,”

Yuli, salah satu pekerja dengan cepat mengambil segelas air lalu memberikannya kepadaku. Aku menggeleng pelan, “Aku ingin air es,” bisikku serak.

Dengan cepat Yuli mengambilkanku air es.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ferdi setelah aku minum. “Aku tidak apa-apa, Fer, kau kembalilah ke kantor,” “Tidak, kuantar dulu kau ke rumah sakit!!”

“Tidak perlu, aku tidak apa-apa, sungguh,”

“Pergi saja, Cit, wajahmu terlihat pucat,” kata Mama.

“Atau aku akan di sini terus dan tidak akan kembali ke kantor!” ancam Ferdi.

Aku mendesah pelan, “Baiklaaah...” jawabku tidak rela.

<hr />

“Bagaimana, Dokter?” tanya Ferdi.

Dokter itu hanya tersenyum sambil duduk di kursinya, “Non Citra hanya kelelahan,”

“Kau dengar itu?! Aku tidak apa-apa, Fer!”

“Dan sebaiknya mulai sekarang anda harus menjaga kondisi anda, Nona, kalau tidak ada kemungkinan buruk yang terjadi,” tambah Dokter itu.

“Apa maksud Dokter?” tanya Ferdi sementara aku hanya menatap bingung.

Dokter itu mengulurkan sebuah amplop, “Jangan terlalu keras bekerja dan perbanyaklah istirahat. Anda juga tidak boleh stres. Selamat atas kehamilannya,”

“...”

Aku masih terdiam mencerna kalimat Dokter barusan. selamat atas kehamilannya? Maksudnya, aku hamil?

“Cik, kamu hamil!!” pekik Ferdi menyadarkanku.

“Tiga minggu!” sahut dokter itu sambil tersenyum.

“A-apa itu benar?” tanyaku tidak percaya.

Ferdi menggenggam erat-erat tanganku, mengguncangnya pelan. “Kau hamil, kau hamil, kau hamil, kau hamil,” bisiknya berkali-kali.

“Dalam amplop itu sudah ada nama dokter yang akan menangani istri anda nanti Tuan Ferdi, periksalah rutin dan jagalah istri anda baik-baik,”

“Tentu saja, Dokter. Terima kasih banyak,” Ferdi menggenggam erat-erat tangan dokter itu saat kami diantar keluar ruangan olehnya.

“Sama-sama, Tuan.”

“Terima kasih, dokter,” ulang Ferdi lagi.
“Iya, Tuan,”
“Terima kasih banyak,”
“Iya, iya, sebaiknya anda segera pulang dan beritahu keluarga juga,” “Anda benar,” sahut Ferdi kemudian berjalan pergi.

Aku hanya menatap datar padanya. Sesenang itukah dia hingga lupa bahwa aku masih ada di sini, di sebelah Dokter? Kenapa dia pergi begitu saja tanpa mengajakku?

“Hei, istriku hamil,” katanya penuh bahagia pada seorang wanita yang berpapasan dengannya.

“Tau nggak, istriku hamil,” katanya pada seorang nenek yang tengah duduk di kursi roda, dituntun oleh seorang gadis. Nenek itu terkekeh sambil mengucapkan selamat.

Begitu seterusnya. Ia mengucapkan hal itu kepada semua orang yang berpapasan dengannya di koridor rumah sakit.

“Suami anda terlihat sangat senang, Nona,” komentar Dokter sambil menatap aneh pada Ferdi.

“Menurutku dia terlihat tidak waras,” sahutku “Apa gejala-gejalanya sudah mulai tampak, Dokter?”

“Anda ingin aku jujur?” balas Dokter itu sarkastik. ***

Sudah tidak terasa empat bulan berlalu. Perutku mulai membesar. Kami rutin cek kandungan dan coba tebak bagaimana tingkah Ferdi?! Dia seperti nenek-nenek saja. Tidak memperbolehkanku begini, begitu. Sangat menyebalkan.

Dia melarangku bekerja di butik. Oh ayolah, aku baru hamil empat bulan tapi dia bersikeras melarangku bekerja dan hanya mengijinkanku menjadi editor. Itupun harus kulakukan di rumah. Tidak tahukah dia bahwa aku sangat bosaaan?

Selain itu dia akan meneleponku tiap jam dan aku harus melapor kemana aku akan pergi. Tidak memperbolehkanku pergi kemana pun sendirian. Pernah sekali waktu aku pergi ke supermarket karena kehabisan tissue, dan kalian tahu apa yang dia

lakukan? Sedetik setelah meneleponku, dia langsung menyusulku ke supermarket tempatku berada. Dia juga meminta Bik Sum, salah satu pembantu di rumah Mama untuk menemaniku selama Ferdi bekerja di kantor. Bik Sum baru boleh pulang jika Ferdi sudah berada di rumah. Kekanakan sekali bukan?

Bukan itu saja, sekarang dia juga sering memaksaku minum susu untuk ibu hamil. Meskipun itu rasa coklat karena aku memang membenci susu, apalagi yang berwarna putih. Pagi hari, dia akan memaksaku melakukan olah raga ringan dan memaksaku pergi berenang setiap minggu.

Sedikit menyebalkan, Tapi aku menyukai dirinya yang seperti itu. Dia selalu mendengarkan nasihat Dokter sungguh-sungguh. Dan bayangkan berapa banyak buku tentang kehamilan yang dia beli. Untukku? Tentu saja bukan, itu untuknya sendiri.

Karena aku memang hanya membaca sesekali. Tapi dia selalu membaca setiap detailnya dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kalau dipikir-pikir yang hamil ini aku atau dia sih?

Itu tingkah-tingkah normalnya. Bagaimana dengan tingkah tidak normalnya? Kalian tahu, kamar kami sekarang sudah penuh dengan foto close up wajahnya. Jika ditanya kenapa, dia akan menjawab supaya anak kami nanti setampan dirinya.

Dia juga selalu bernyanyi setiap malam sebelum aku tidur. Agar bayi kami mengenali suara Papanya. Oke, yang ini aku menyukainya. Dia memang memiliki suara yang terindah menurutku.Tapi tidakkah kalian merasa rasa percaya dirinya terlalu tinggi?

“Uuuggh...” aku membekap mulutku. Rasanya perutku bergejolak. Kusingkirkan lengan Ferdi yang memelukku dan langsung beranjak dari tempat tidur. Berlari menuju kamar mandi dan muntah di sana.

“Cik, kau baik-baik saja?” tanya Ferdi dengan tampang kusut baru bangun tidur. Ia berjalan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya menghampiriku.

Aku tidak menjawab, lalu kurasakan pijatan di tengkukku. Tapi mengapa perutku terasa semakin mual?!

“Kuambilkan air sebentar,” katanya lalu pergi.

Aku membasuh mulutku dengan air kran. Rasanya lebih baik sekarang. Tidak lama kemudian, Ferdi datang membawa segelas air hangat. Baru saja aku mengambil gelas itu dari tangannya, perutku sudah mual lagi. Aku berjalan keluar dari kamar mandi. Menghempaskan diriku di sofa. Rasanya lebih baik sekarang. Kusesap air hangat yang diambilkan Ferdi tadi.

“Sudah lebih baik?” tanya Ferdi sambil berjalan menghampiriku. Ia menjatuhkan dirinya di sebelahku.

Aku menutup mulutku. Kuberikan gelas itu pada Ferdi lalu beranjak dari dudukku.

Kubuka jendela kamar, merasakan sejuknya angin yang berhembus. Mengapa setiap Ferdi berada di dekatku, aku merasa mual?

<hr />

“Aku pulang!!”

Kudengar teriakan Ferdi dari arah pintu. Aku yang sedang memasak di dapur bersama Bik Sum menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu sedang berjalan menghampiriku.

“Berhenti di situ, Fer!! Jangan mendekatiku, aku mual jika berada di dekatmu!!”

Ferdi menghela nafas dengan tatapan yang begitu memelas “Ini sudah seminggu lebih, Cik,” desahnya.

Aku menggaruk tengkukku. “Mau bagaimana lagi, aku selalu muntah-muntah kalau kau di dekatku,”

“Ah, terserah deh!” dengus Ferdi kesal sambil keluar dari dapur. Bik Sum terkikik pelan, “Dia pasti sangat kesal,”

Aku hanya tersenyum canggung. Biasanya Ferdi memang langsung memelukku saat pulang dari kantor, tapi entah kenapa seminggu ini perutku terus-terusan mual jika di dekatnya. Apa anakku tidak menyukai Papanya?

Setelah makan malam, Bik Sum pulang dan Ferdi langsung masuk ke dalam kamar. Aku mengerjakan beberapa pekerjaan dengan laptopku di ruang tengah.

Beberapa kali pesan masuk ke dalam ponselku dan itu semua dari Ferdi. Aku sedikit geli juga kasihan melihatnya.

Ia menyuruhku minum susu lewat pesan, menyuruhku minum vitamin lewat pesan juga. Dan kalian tau? Sudah seminggu ini dia tidur di kamar bekas kamarku dulu.

Aku terpaksa menyuruhnya pindah karena aku tidak bisa tidur bersamanya dan tidak tega membiarkannya tidur di sofa. Tapi dia tetap menggunakan kamar mandi di kamar kami.

Kurenggangkan badanku. Sudah malam rupanya. Apa yang dilakukan bocah itu di kamar? Pasti sedang main game. Well, saatnya untuk mengusir babi bodoh itu.

Kubuka kamar dan... kosong? Kemana dia? Aku hanya melihat laptopnya yang berada di atas tempat tidur. Apa dia di kamar mandi? Kuhampiri pintu kamar mandi tanpa suara. Tanganku sudah terangkat akan mengetuknya saat kudengar sesuatu dari dalam.

“Ciki... oooh... uuugh...”

Blusssh... Wajahku langsung terasa panas mendengarnya. Memang sejak aku mual di dekatnya, dia tidak bisa menyentuhku sedikitpun. Jangankan menyentuh, mendekat saja aku sudah mual. Kutempelkan telingaku di pintu. Menguping sebentar tidak masalah bukan?!

“Aaah... terus sayang... uuugh... lebih cepat...”

Aku menggigit bibirku. Pasti Ferdi sedang memuaskan dirinya sendiri. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.

“Aahh... Cikii... oooh... ngghh...”
Apa yang dibayangkannya saat ini? Diriku yang sedang mengulum penisnya? “Nghh... ooohh... aaahh... aaah...”

Aku terus mendengarkan. Entah sejak kapan nafasku menjadi berat. Rasanya bagian bawahku basah. Tanpa sadar, aku memejamkan mata dan ikut berfantasi bersama suaranya.

“Aaahh... nghhh... Cikii... oooh... ssshhhh... aaaaaaaarrrghhh...” Ferdi memekik. Kurasa ia baru saja orgasme.

Untuk beberapa saat, hening. Kemudian terdengar suara shower dinyalakan. Aku berjalan menuju tempat tidur dan membuka laptop Ferdi. Dahiku mengernyit saat melihat folder itu. Pantas saja, dia baru saja melihat film dewasa. Kumatikan benda itu lalu kutaruh di atas meja.

Aku sudah tidur di atas ranjang saat Ferdi keluar dari kamar mandi. Entah melihatnya yang toples dengan rambut basah membuat wajahku terasa panas. Ia mengambil kaos di lemari lalu memakainya.

“Kau sudah minum susu?” tanyanya. Aku mengangguk pelan, “S-sudah,” “Sudah minum vitamin?”
“Sudah,”

“Sekarang tidurlah,” ucapnya lembut sambil melempar handuknya ke sofa. Kebiasaan buruknya.

“Mmm, kau juga,”
“Nanti saja, belum ngantuk,” kata Ferdi sebelum keluar kamar.

<hr />

Sudah sejam aku memejamkan mata. Tapi entah mengapa aku tidak bisa tidur. Bayangan Ferdi yang ehh... memuaskan dirinya sendiri membuatku merasa bersalah. Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap ponselku. Apa dia sudah tidur? Aku sangat ingin mendengar suaranya. Kuusap perutku sambil mendesah pelan. Ada apa denganmu, baby?

Akhirnya kuputuskan untuk meneleponnya.
“Halo?” jawabnya pada nada sambung pertama. Dia belum tidur! “Ada apa, Cik?

Kau perlu sesuatu?”

Aku menggeleng pelan, “T-tidak...“ jawabku saat sadar dia tidak bisa melihat gelengan kepalaku.

“Lalu?”
“Fer,”
“Hmm?”
“Kau sudah tidur?”
“Belum, kau?”
“Aku tidak bisa tidur...”
“Kau ingin aku ke sana?” “Perutku akan mual,” Kudengar ia mendesah pelan. “Maaf...” bisikku.

“Tidak apa-apa, Cik. Sekarang tidurlah, sudah malam,” “Aku masih ingin mendengar suaramu,” bisikku pelan. “Aku juga,” balasnya ikut berbisik.

Entah mengapa percakapan kami dengan bisikan terasa lebih intim. Seolah dia ada di sebelahku. Kutarik selimut lebih rapat sambil memejamkan mata. “Fer...” panggilku.

“Hmm?”
“Peluk aku,” bisikku perlahan sambil menelungkupkan muka ke bantal. Hening sejenak. “Aku sudah memelukmu,”
“Benarkah? Kenapa aku tidak merasakannya?” aku mendesah lagi.

“Mmhh... kau merasakan lenganku di pinggangmu? Aku sedang membelai setiap inci kulit indahmu. Bibirku sedang mengusap-usap lembut rambut-rambut halus di belakang telingamu, lalu beralih ke bibir indahmu.”

“I-iya,” aku berucap pelan sambil mulai memejamkan mata. Bayangan percumbuan kami di dalam mobil beberapa waktu yang lalu nampak jelas di pelupuk mataku.

“Sekarang bibirku turun ke arah lehermu. Lalu lidahku menyapu-nyapu lembut di sana. Kamu bisa merasakannya, Cik?” Ferdi melanjutkan.

“Mmh... iya, Fer. Sekarang terasa hangat,” aku semakin tidak sabar menunggu kelanjutannya sambil jemari tanganku mulai membelai-belai leherku sendiri, mengikuti fantasinya.

“Aromamu enak, Cik... aku jadi ingin menggigit lehermu,” bisik Ferdi.

“Kalau begitu, gigitlah...” pelan jemariku mengalir pelan di sepanjang leherku yang jenjang, sesekali berhenti di belakang telinga sebelum akhirnya turun ke arah buah dadaku.

“Ngh... kau menggodaku huh?” tanyanya nakal.
“Kau yang menggodaku, Fer... hhh...” nafasku mulai sedikit berat.

Aku mendengar nafasnya juga mulai tersengal, sama dengan nafasku. ”Mmmh... kuhisap pelan lehermu... “ Ferdi berkata.

“Aah... lidahmu terasa basah, Fer... uugh...” aku menggelinjang. “Lehermu lembut.... biar kukecupi, angkat wajahmu,” perintahnya.

“Uuggh... Fer... ngghhh...” melenguh pelan, terus kuremas-remas bulatan payudaraku. Semakin nikmat saja rasanya.

“Bisa kau bantu aku melepas bajuku?” bisiknya lembut.

“Iya... sudah.” aku berkata nakal. Kubayangkan Ferdi yang telanjang, dengan penisnya yang besar sudah mengacung tegak. Ughh... membuatku jadi sangat bergairah sekali.

“Sekarang giliranku melepas bajumu...” ia berbisik. ”Kau pakai daster merah muda yang ada renda-rendanya itu kan?”

”He-eh,” aku mengangguk.

”Dengan celana dalam warna krem?” tanyanya lagi, penuh rasa penasaran.

”He-em,” aku mengangguk lagi.

“Sekarang lepas semuanya!” perintahnya, dan aku pun melakukannya. ”sekalian bersama bra-mu,” tambahnya.

Dalam waktu singkat, tubuhku sudah polos telanjang di atas ranjang. Aku tergolek lemas, tak sabar menunggu perintah Ferdi selanjutnya.

“Sekarang bibirku semakin turun ke bawah, turun... dan terus turun secara perlahan-lahan sampai tiba di atas gundukan payudaramu. Sambil meremas, aku mulai menjilatinya. Kuhisap putingmu yang berwarna merah itu secara bergantian, dari yang kiri... lalu ke yang kanan. Begitu terus sampai aku puas!” bisiknya.

“Sshh... Fer... hhh...” aku tidak kuasa membayangkan betapa dadaku yang kenyal dihisap-hisap oleh Ferdi, serta tangannya yang kokoh meremas-remas bulatannya yang kenyal. Tanpa sadar, aku mulai mengerang kecil, meremas seprai dengan satu tangan, lalu memiringkan badan untuk meraih guling.

“Mmhh... putingmu manis, Cik... keduanya mulai mengeras dan meruncing. Warnanya merah kecoklatan, kecil, panjang dan semakin menjulang... terus kuemut sambil tak lupa juga menciumi lingkaran coklat di sekelilingnya... mmmh...” Ferdi kembali melanjutkan fantasinya

“Oohh... Fer... sssh... aaaahh...” aku mulai menggelinjang. Terus kuremas-remas buah dadaku sambil membayangkan seolah-olah memang Ferdi yang melakukan aktifitas itu.

“Mmhh... mnnhh... aah... Penisku bangun, Cik,” ia berkata.

“Hhh... sepertinya harus ditidurkan lagi bukan?” jawabku dengan tersengal. “Kuusap pelan-pelan ya?!” kataku sambil mulai membayangkan meremas-remas lembut kejantanan Ferdi di bawah sana.

“Uuughh.... aahh... kocok yang kuat, Cik...” Ferdi merintih.

Tanganku turun ke bawah. Di pikiran, memang kejantanan Ferdi yang kubayangkan, namun nyatanya aku malah mengusap-usap bibir vaginaku sendiri, hingga membuatnya jadi begitu basah dan lengket. “Hmm... enak, Fer?” aku bertanya.

“Ssshh... kulum, Cik... jangan cuma dikocok!” ia meminta.

Aku mengangguk. ”Iya, sini biar kukecup, mmhh...” aku benar-benar tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dada, aku terus mengusap-usap kewanitaanku dengan tangan yang lain. Kurang puas, kutambah dengan menelusupkan satu jari ke lembah sempit yang ada disana. Terasa sangat basah dan lembab sekali oleh cairan cinta, namun membuatnya jadi begitu nikmat. Apalagi saat aku menemukan tonjolan kecil di bagian atas yang telah menyeruak keluar dari tempat persembunyiannya, segera aku menggesek-geseknya hingga membuatku mengerang pelan tak lama kemudian.

”Jilat, Cik!” Ferdi meminta lagi. Kutebak ia juga sedang mengocok-ngocok penisnya sendiri sekarang, sama seperti yang sedang aku lakukan.

“Sini kujilati... mmmh...” desisku sambil membayangkan kenikmatan saat Ferdi menjilat-jilat lembut bibir kewanitaanku, yang sebenarnya malah jari telunjukku yang terus kuputar-putar di atas daging kecil merah milikku.

“Aaahh...” Ferdi mengerang.

“Masukkan, Fer... enghh... aku pengin... oohh... sekarang!” aku tak kuasa meneruskan kata-kata.

“Iya, Sayang. Aku juga.” balas Ferdi, ”Lebarkan kakimu, kumasukkan sekarang... aaah...” ia menjerit.

“Ooohh...” aku mengerang pelan sambil menggigit bibir, tubuhku sedikit tersentak bagai tersengat listrik saat ujung jari telunjuknya tak sengaja menyentuh daerah g-spotku. Aku terus mengusap-usap lembut disana, membuat desahanku menghambur keluar cukup keras.

“Kugerakkan ya?” Ferdi berkata cepat.

”Oooh... lakukan, Fer!” aku berbisik sambil mengangkat kedua pahaku untuk mempermudah usapan jemariku di bibir kewanitaan.

“Uughh... nikmat Cik... aahh... aaahh...” Ferdi mulai mengerang, kubayangkan ia mengocok penisnya semakin cepat di ujung sana.

“Lebih cepat, Fer... aaah... nghhh... disitu... uughh...” aku mengerang semakin keras. Kubayangkan jari tengahku yang masuk ke dalam celah liang vagina adalah penis Ferdi yang tengah menusuk-nusuk liar disana. Namun sepertinya masih terlalu kecil, jadi kutambahkan satu jari lagi. Kini kedua pahaku terpentang semakin lebar dengan dua jari melesak menerobos di antara lembah bibir-bibir kewanitaan dan meluncur teratur maju-mundur mengocok liang senggamaku yang sudah begitu basah dan lengket oleh cairan vagina.

“Oohh... aaahh... aaah...” Ferdi ikut merintih, entah apa yang ia lakukan disana hingga tampak begitu nikmat.

“Uuugghh... lebih dalam, Fer... aaahh...” aku meminta. Eranganku menjadi semakin jelas. Kalau saja ada orang yang berdiri di balik pintu dan menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.

“Hampir, Cik... ohhh... nikmatnya punyamu... sshh... aah... aah...” suara Ferdi menjadi kian parau.

“Aahh... aku tidak tahan, Fer... aaah... sshh...“ begitu juga denganku. Aku merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mata.

“Sebentar... oohh... ughh... ahh... ahh...” Ferdi terdengar sangat tersiksa.

“Ferr... uuughh...” kugumamkan namanya dengan tangan bergerak semakin cepat, terus kugesek liang senggamaku sementara tanganku yang lain tetap meremas-remas tonjolan payudaraku dengan begitu gemas.

“Aaahh...sekarang Cik... sshh... aaaaaaaarrrggghhh...” Ferdi menjerit.

“Aaaaaaarrghh...” aku ikut mengerang saat mendengar lenguhan panjangnya. Sama denganku, ia pasti juga sudah keluar di ujung sana. Nafasnya terdengar memburu. Untuk sesaat, hanya suara nafas kami berdua yang terdengar. Aku masih memejamkan mata. Selimutku terasa sangat basah di bawah sana.

“Cik...” panggilnya berbisik.
“Hmm?” aku berusaha untuk membuka mata. “Terima kasih,” katanya.
“Sama-sama, Fer. Sekarang tidurlah,” aku tersenyum. “Peluk aku,” ia berkata manja.
“Dari tadi aku sudah memelukmu,” sahutku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan.

Aku mulai tertidur tanpa mematikan ponsel. Suara nafasnya kini terdengar teratur. Suaranya selalu membuatku nyaman. Aku juga mencintaimu, Fer... bisikku dalam hati.
Cerita Dewasa Pengantin Baru IX - Aku Hamil Cerita Dewasa Pengantin Baru IX - Aku Hamil Reviewed by Anonymous on 12/22/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.