Cerita Seks My Boss

MY BOSS PART I

Cerita Seks My Boss - Namaku Sheila, menjadi sekretaris seorang CEO sebuah perusahaan adalah impianku sejak duduk di bangku kuliah. Aku berpikir itu adalah salah satu cara agar bisa mengenal pimpinan perusahaan lebih dekat dibanding posisi yang lainnya.

Selain itu, aku punya kesempatan lebih besar untuk mengenal makhluk-makhluk kalangan atas karena sebelum menemui pimpinan, mereka pasti akan berhadapan dulu dengan sekretarisnya. Tentu saja orang-orang yang akan ditemuinya bukan orang sembarangan.

Peluang itu dapat aku gunakan untuk menggaet seorang yang kaya bukan? Haha. Salah satu batu loncatan besar ketika aku menginginkan jalan pintas untuk menjadi kaya. Dan disinilah aku, sebentar lagi akan diwawancara secara langsung oleh CEO Wijaya Company.

Entah kenapa pihak HRD langsung menyuruhku untuk menemuinya. Sepertinya calon bos ku ini sangat selektif memilih pegawainya. Atau dia tertarik padaku? Hah. Aku pernah dengar desas-desus tentang bos ku ini. Seorang player. Tentu saja aku tidak boleh tergoda dengan orang ini. Niatku bukan untuk dipermainkan lelaki. Tetapi untuk mencari suami kaya! Ingat itu!

Cerita Seks My BossSetelah melewati pintu ini, aku meyakinkan diri untuk bersikap sebaik mungkin. Penampilan pun sudah kubuat sebaik mungkin. Rambut cokelat tembaga dengan blow di ujungnya, blazer hitam dan blouse putih berenda di dalamnya. Juga rok di atas lutut 5 cm. Cukup sopan bukan? Tentu saja. Aku tidak mau dicap sebagai perempuan murahan atau penjilat atau penggoda di penampilan pertamaku.

Walaupun ada sedikit niat terselubung di sana. Yah sedikit saja sih. Tapi kupikir perempuan yang mengandalkan tubuhnya untuk mendapatkan pekerjaan hanyalah orang bodoh saja. Mereka hanya dijadikan ikon, pajangan, atau aksesoris perusahaan.
Sedangkan aku benar-benar mengutamakan kualitas ketika melakukan sesuatu.

Aku tidak ingin dianggap perempuan seperti itu. walau kuakui, kepercayaan diriku sangat tinggi dengan fisikku yang seringkali membuat lelaki sadar menjadi mabuk seketika. Atau kakek tua berharap menjadi muda 40 tahun, saat melihatku.

“Masuk” suara berat di dalam sana menyuruhku menghadap setelah kuketuk pintu. Jantungku berdebar. Tentu saja itu normal. Sepercaya diri apapun diriku, saat-saat menegangkan seperti ini perutku selalu mulas dan jantungku berdebar. Rasa takut itu ada, dan aku harus segera menyingkirkannya ke jurang bawah sadarku agar bisa bersikap normal.

“Selamat pagi Pak!” kuberikan senyum terbaikku pada lelaki yang sedang menghadapkan badannya ke luar gedung. Apa yang dia lakukan? Kenapa sangat tidak sopan. Padahal ada seseorang di sini, tapi dia tidak melirikku sama sekali.

“Duduklah dan perkenalkan dirimu.” Ucapnya angkuh.

“Nama saya Sheila,” ucapku. Aku memaparkan segalanya, keahlianku, pengalamanku, dan semua yang kuyakin dapat jadi pertimbangannya untuk menerima lamaranku.

Setelah itu hening. Calon bos ku benar-benar tidak ada niat menatapku sama sekali. Ini benar-benar menyebalkan. Bahkan dia tak merespon apa yang kujabarkan sedari tadi.

“Pak. Apakah pemandangan di luar sana lebih menarik dari saya?” tanyaku. Peduli amat tentang tatakrama dan kesopanan. Bahkan dia sama sekali tidak tertarik melihat wajahku.

Aku menunduk dan sedikit mengumpat saking kesalnya kepada calon bos ku. Dan berhasil. Lelaki itu membalikan badannya, memperlihatkan wajahnya yang membuatku sedikit menahan napas. Alis tebal, mata elangnya, jambang tipisnya dan rahangnya yang kokoh. Dia tampan! Dan senyumnya itu, oh.. sepertinya aku butuh oksigen!

“Apa kau sedang berusaha menggodaku?” seringaiannya membuat jantungku berdetak kencang, detakan yang berbeda dengan saat aku masuk ke ruangan ini.

“Maaf Pak. Um.. maksud saya, bukankah interview itu biasanya saling berhadapan? Ah maksud saya. . bahkan Bapak tidak melihat wajah saya. Saya pikir.. itu sedikit um.. tidak sopan.” sial. Kenapa suaraku bergetar.

Lelaki itu semakin menunjukan seringaian mautnya. Langkahnya kian mendekat, satu langkah, dua langkah, tiga langkah, oh tidak dia semakin dekat. Di langkah ke empat dia duduk di sisiku, menatapku dengan sorot mata tajam, ke atas, ke bawah ke atas ke bawah. Tunggu! Kenapa tatapannya seperti manusia mesum yang hendak menerkam mangsanya?

Jangan bilang aku akan dijadikan korban pelecehan seksual oleh makhluk tampan ini. Walaupun aku sedikit rela sih. Tunggu! ini salah! Aku di sini untuk mendapat pekerjaan! Bukan untuk dijadikan alat pemuas seksual!

Tubuhku beringsut, menjauhkan jarak di antara kami. Namun dia malah memegang tanganku, sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke telingaku.

“Kau memang selalu menggairahkan dimanapun aku melihatmu.” Tubuhku menegang, mendengar dia berbisik dan menghembuskan nafasnya yang menyapu daun telingaku dan sedikit ke pipi dan leherku. Otakku bekerja dengan cepat, mencerna kata-katanya dan segera memahami apa yang dia katakan. Apa dia pernah bertemu denganku sebelumnya?

“Kau! Lelaki mesum! Apa kau pikir aku akan menyerahkan tubuhku kepadamu begitu saja huh?” secara sadar aku meraih map yang kubawa dan memukulkannya ke wajah tampan lelaki itu. aku berdiri hendak pergi dari tempat sialan ini. peduli setan dengan pekerjaan!!

Bodohnya, lelaki itu malah terkekeh dan menarikku sebelum aku sempat melangkah, menarik tubuhku ke pangkuannya. Duduk di antara paha kirinya dan tangannya memeluk pinggangku. Kepalanya mendongak. Seringaian itu muncul kembali.

“Besok jam 9. Kutunggu di sini. Kau pasti pernah mendengar bahwa CEO Wijaya Company bukan orang yang mentolerir keterlambatan bukan?” tangannya mengelus punggungku yang untungnya masih dalam balutan blouse dan blazer.

Coba bayangkan apabila tanganya itu mengelus punggung polosku tanpa sehelai benang pun menghalanginya. Kukira itu akan sangat.. ahh. Pikiran kotor sepertinya mulai menguasaiku. Aku tidak boleh terjebak ke dalam pesonanya. Atau aku hanya akan berakhir menjadi simpanan lelaki ini. Aku pernah mendengar tentang bos yang terlibar affair dengan sekretarisnya. Ini tidak boleh terjadi.

Impianku bukan menjadi simpanan atau mainan bos. Tetapi jadi istri orang kaya! Dan apa katanya tadi? Aku diterima bekerja? Oke itu bagus. Tapi bekerja dengan lelaki mesum ini? Sepertinya bukan ide yang baik. Tapi mencari jodoh lelaki tampan dan kaya sepertinya bisa dijalankan kembali. Ah terlalu banyak kata tapi yang kuulang dari tadi.

“Pak. Saya diterima bekerja? Sebagai sekretaris Bapak?” tanyaku memastikan. Takut kalau telingaku salah mendengar perkataannya.

“Ya. Tentu saja. Apa kau tidak mau?” tangannya mengelus pahaku perlahan, yang terlapis rok tentunya. Bagus, kalau dia berani berbuat lebih dari itu. kupastikan ujung high heelsku akan berakhir di bola matanya.

“Tentu saja saya mau pak.” Jawabku sambil meringis. Ku raih tangannya yang berusaha memasuki dalam rokku dan menggenggam jemarinya.

”Tapi dengan satu syarat.” Lanjutku menampilkan senyum paling menawan yang paling kupunya. Dan dia merespon dengan menelan ludah yang membuat jakunnya naik turun. Huh. Pesonaku memang selalu berhasil. Tepi sedetik kemudian dahi lelaki itu mengernyit.

“Hey. Siapa bos di sini? Kau berusaha bernegosiasi denganku hm?” kini tangannya berpindah ke wajahku, dan tangan kanannya mengelus rambut cokelatku.

“Terserah. Saya juga tidak terlalu membutuhkan pekerjaan ini.” Aku mencoba menjaga image ku dengan tak terlalu menampakan keinginanku. Padahal sesunguhnya pekerjaan ini benar-benar hal yang sangat kuharapkan. Belum lagi sewa kontrakan yang nunggak tiga bulan. Kulepaskan tangannya yang melingkar di tubuhku. Berusaha berdiri dan menjauh darinya. Terlalu lama dekat dengannya benar-benar membuatku takut. Hh. Takut terjadi hal yang mengerikan.

“Baiklah. Apa syaratnya?” hm sepertinya caraku berhasil.

“Tidak ada kontak fisik yang menjurus kepada hal-hal yang intim selama saya jadi bawahan anda. Saya tidak mau jadi sekretaris yang mengandalkan fisik untuk menggoda bos saya.”

Dia terdiam. Wajahnya datar. Emosinya tak dapat ditebak.

“Oke.” Kemudian dia tersenyum, senyuman jahat yang biasa ada di televisi ketika pemeran antagonis akan membunuh lawannya.

“Tapi itu tidak berlaku bila kedua belah pihak menginginkannya. Atau ada faktor-faktor yang tidak terduga yang membuat kita melakukannya.

”Apa dia bilang? Apa dia akan berusaha menggodaku nantinya? Ah ini buruk. Memangnya aku mau dengan dia? Huh. Jangan harap. Aku tidak akan mengalah untuk seseorang lelaki mesum seperti dia. Aku sudah begitu berpengalaman mengatasi lelaki-lelaki mesum yang berkeliaran di hidupku sejak aku remaja. Dan mereka tidak pernah berhasil.

“Maaf Pak. Saya tidak..”

“Cukup. Sekarang kau boleh pergi. Dan sampai jumpa besok.” Pungkasnya. Dia pergi meninggalkanku terpaku. Pintu itu tertutup dengan anggunnya. Suara bedebamnya seolah mengejekku yang sedang berdiri seperti orang bodoh di ruangan ini. Ini salah! Harusnya aku yang pergi duluan! Aku yang meninggalkannya pergi! Kenapa malah terbalik?




Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS Part 2

Seminggu berlalu sejak kejadian interview itu. Jujur saja itu adalah interview teraneh yang pernah kujalani. Entahlah, mungkin sekali-kali aku harus menerima keberuntunganku. Bekerja tanpa harus susah-susah menjawab pertanyaan jebakan yang dilontarkan pihak perusahaan.

Yah walaupun sebagai gantinya aku harus rela sedikit dirayu. Prinsipku bekerja mengandalkan kualitas seketika jebol karena perilaku mesum bosku minggu lalu. Hah. Kalau saja aku tak dililit hutang sewa nunggak kontrakan, pasti langsung kutolak pekerjaan ini. Sekarang yang penting jalani saja.

Aku bekerja seperti biasa selama seminggu ini, semuanya kulakukan dengan baik. Bosku bahkan tak pernah protes dengan hasil kerjaku. Semuanya rapi, aku menjalani pekerjaanku, dia menjalani pekerjaannya. hm satu lagi. Bosku berubah 180 derajat sejak pertemuan pertama kami. Satu minggu ini dia terlihat bergulat dengan pekerjannya. Datang paling pagi, pulang paling telat.

Tidak ada interaksi di antara kami yang terjadi selain tentang pekerjaan. Aku akui bahwa pekerjaannya sangat berat. Kukira dulu seorang CEO itu hanya duduk dan berleha-leha seenaknya. Itu yang kubaca di novel-novel roman, kerjaannya hanya menggoda gadis yang disukainya kemudian membuntutinya kemanapun dia pergi. Tapi tidak dengan dia.

Dia benar-benar fokus. Bahkan aku sering mencuri-curi pandang saat masuk ke ruangannya (masalah pekerjaan tentu saja) dia sedang tenggelam dalam tumpukan dokumen-dokumen yang dia tangani, kadang dahinya mengerut, matanya terpejam, dan sesekali dia minum kopi dengan mulut seksinya itu. ah tunggu. Apa baru saja aku bilang dia seksi? Oh tidak. Koreksi. Dia itu dingin. Wajahnya datar.

Bahkan senyumnya tak pernah kulihat sejak dua minggu ini. Aku jadi tak yakin. Apakah bos yang dulu kutemui benar-benar dirinya? Ataukah itu kembaranya? Bisa saja kan dia memiliki kembaran. Atau dia memiliki kepribadian ganda? Oh berhentilah berpikiran seperti pemeran drama wanita yang bodoh.

Aku menggelengkan kepalaku. Mencoba menghilangkan pikiran-pikiran bodoh yang berkeliaran di otakku.

“Maaf.” Suara seseorang menyadarkanku. Jari telunjuk dan jempolnya dijentikan dua kali di depan mukaku. Membuatku mendongak.

“Hei. Maaf apa aku mengganggumu? Aku ingin bertemu bosmu? Apa dia ada di dalam?”

Aku tersenyum. Lelaki ini tampan. Pikirku.

“Ah. Apa anda sudah membuat janji dengan Pak Rendra?” tanyaku memastikan.

“Boleh saya tahu siapa anda?” lanjutku dengan senyum yang kubuat seseksi mungkin, kali aja dia tertarik denganku.

“Ah. Sepertinya si bodoh itu di dalam.” tanpa menjawab pertanyaanku, dia menuju ruangan bos ku. Sial. Senyuman mautku tak mempan. Kualihkan pandanganku pada lelaki itu, kulihat dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Gawat. Aku sadar kalau aku harus mengejarnya. Aku tahu kalau bosku sangat tidak suka dengan orang yang masuk tanpa permisi seperti itu.

“Maaf Pak anda..” mataku terbelalak melihat dua lelaki itu dalam posisi yang tidak seharusnya. Di sofa itu, kulihat bosku sedang bergulat di bawah tubuh lelaki tak di kenal, lelaki itu menopang tubuhnya dengan siku tangan dan lutut kakinya sedangkan bosku terlentang pasrah.

Sungguh dua makhluk itu benar-benar seperti sedang… bercumbu (??) . pemandangan apa ini? Jadi bos mesum itu ternyata Gay??????? Hanya beberapa detik dia di meja kerjaku dan sekarang sedang bercumbu dengan bos ku? Jadi ini acara penyaluran nafsu yang tak bisa ditahan ala lelaki homo???

Suaraku sepertinya mengganggu kegiatan mereka. Dua makhluk itu melirikku kemudian membenarkan posisi mereka, berdiri dan menghampiriku. Aku melirik bosku sekilas. Wajahnya merah. Sepertinya dia malu rahasianya ketahuan olehku. Ah jangan khawatir bos aku akan menyimpannya baik-baik.

“Saya permisi..” aku segera membalikkan badanku. Menjauh sepertinya bisa menormalkan kembali suasana.

“Hei. Ini tidak seperti yang kau kira!” Rendra memegang tanganku, mengisyaratkan agar aku tidak keluar dari ruangan ini.

“Ah jangan khawatir Pak. Saya tidak akan membocorkannya. Saya jamin itu.” berusaha tegas dengan ucapanku aku melepaskan genggaman tangannya di lenganku.

“Hahaha. Sepertinya gadis cantik ini benar-benar salah paham bro!” lelaki itu tergelak. Kutatap dia dengan wajahku seolah mengatakan Kau-jangan-membohongiku- Aku-sudah-tahu-semuanya. Namun dia semakin terbahak. Dan mengusap-usap kepalaku.

“Manis. Kau tenang saja. Kami ini masih normal. Tadi itu hanya kecelakaan. Yah kami ini sudah begitu sejak kecil jadi, itu hanya pertengkaran kecil kami.” Dia menjelaskan. Aku berpikir keras. Bagaimana mungkin mata bisa dibohongi dengan penjelasan seperti itu? aku yakin mereka hanya membela diri. Aku sudah melihatnya dengan jelas.

“Sheila. Kau jangan berpikir macam-macam atau kupecat!” Rendra memolotiku dengan mata elangnya. Seolah tahu dengan jalan pikiranku. Ah sepertinya mereka benar-benar malu. Baiklah aku akan pura-pura untuk mempercayai mereka. Aku mengangguk dan mencoba pergi dari dua makhluk ini.

“Sheila. Nanti jangan dulu pulang! Aku ingin bicara." Rendra berbicara agak keras. Ciri khas seorang pimpinan ketika memerintah bawahannya. Lelaki arogan.




“Hhhh..” aku menghela nafas. Memikirkan apa yang akan terjadi ketika nanti bertemu dengan bos arogan itu. Apa aku pulang saja ya? Pura-pura lupa dengan apa yang tadi dia suruh. Malas bertemu dia. Sudah kubayangkan apa yang akan terjadi nanti. Dibentak-bentak, disuruh ini itu, atau dipotong gaji? Atau ancaman-ancaman yang biasanya diterima pegawai saat melakukan kesalahan.

“Hei, belum pulang?” sahut Ami teman sekaligus salah satu staff di kantor tempatku bekerja. Aku hanya menggeleng pasrah.

“Lesu amat. Mau pulang bareng gak?” ajaknya. Dan sekali lagi aku menggeleng.

“Duluan aja, aku mau ketemu bos dulu.”ucapku dengan malas.

“Hahaha. Kayaknya ada yang bakal dapet hukuman nih.” Kujitak kepalanya agar tidak mengatakan hal-hal yang membuatku kesal. Tapi, apa iya hanya gara-gara tadi siang aku akan dihukum. Lagipula aku kan sudah berjanji tidak akan membocorkan rahasia besarnya. Argh. Kepalaku pusing. Tapi sudah nasibnya aku jadi karyawan di sini, mau atau tidak, tubuhku pun tahu kalau aku harus masuk ke ruangan itu.

Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku membawa tubuhku menjauh dari meja kerjaku, menuju ruangan Bos yang hanya berjarak beberapa langkah hingga aku sampai di depan pintu ruangannya. Mengarahkan tanganku untuk mengetuknya sebagai tanda aku sudah ada di depan ruangannya.
Tok tok tok.

“Masuk!” seperti biasa, suara seksinya benar-benar mengundang selera. Kubuka pintu itu, dan terpampanglah sosok seorang lelaki berkemeja putih sedang menghisap rokoknya, dua kancing kemejanya tak terpaut, menampakkan dada bidangnya yang seolah berkata padaku ‘kemarilah’.

Asap berbentuk lingkaran keluar dari bibirnya yang merah. Astaga, padahal dia merokok, tapi bibirnya benar-benar merah seakan menyuruhku untuk menciumnya. Aku benar-benar iri dengan rokok itu, harusnya lidahku yang dipermainkan mulutnya di sana, bukan benda bau itu!

“Hei, kau mau masuk atau tetap berdiri di sana? Dan apa-apaan mata dan bibirmu itu? Tingkahmu seperti wanita yang ingin diperkosa saja!” ucapnya datar. Tanpa ekspresi. tapi menusuk. Sialan. Memangnya kenapa dengan mataku? Cuma melotot beberapa detik saja tidak akan bikin dia mati kan. Bukan salahku kalau lidahku tanpa permisi menjilat bibirku dan gigiku menggigit bagian bawahnya. artseks.com

Itu salahmu Bos. Gara-gara rokok bau yang kau hisap itu, aku jadi membayangkan berciuman dengan bibir merahmu!! Dan apa-apaan matamu dan kata-katamu yang menusuk itu! kau harusnya menusukku dengan “suntikan kenikmatan” yang meringkuk di dalam celanamu!!

Itu lebih nikmat tahu!! Hah! Bosku ini bodoh sekali! Kalau saja aku tidak ingat kejadian tadi siang, aku pasti akan lebih ekstrim dalam memfantasikan tubuhnya di otakku. Tapi semuanya sirna saat bayangan dua lelaki tampan sedang bercumbu di sofa itu mampir dan melindas habis fantasi indahku. Sial.

“Kau tidak mendengarkan aku? Masuk Sheila!” setengah berteriak dia menyuruhku menghampirinya. Dengan kesal aku menghentakkan kakiku dan menuju meja kerjanya kemudian duduk di kursi yang ada. membuatku berhadapan dengannya. Aku dan Bosku, yang hanya dibatasi sebuah meja.

“Kau tahu kesalahanmu?”

“Ehm. Maksud Bapak soal tadi siang ?” tanyaku memastikan.

“Ya. Kau benar. Kupikir kau tak perlu memikirkan kejadian tadi. Ingat Sheila, aku normal, jadi kalau di kepalamu sekarang sedang membuat kesimpulan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kau tahu kan apa yang akan terjadi?”

“Hm. Iya pak. Saya tidak akan menceritakannya.” Jawabku mantap.
Dahinya berkerut sekilas. Sepertinya berpikir dengan kalimat yang aku ucapkan barusan.

“Kau tidak percaya padaku?”

Jelas saja. Aku melihat secara langsung pemandangannya. Mana mungkin aku percaya begitu saja. Bisa saja kan reputasinya sebagai playboy hanya untuk menutupi statusnya sebagai seorang gay. Aku pernah kok mendengarnya. Apalagi lelaki yang kugoda tadi sepertinya tak mempan dengan senyuman mautku. Mana mungkin aku percaya.

“Pak. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi posisi tadi memang menjelaskan segalanya. Saya pikir.. um saya kira..” kalau kata-kata ini kulanjut dia marah tidak ya.

“Kau pikir apa hm?” dia berdiri dari kursinya, melangkahkan kakinya ke bagian kiri meja dan menghampiriku. Menampakkan jas hitam yang tersampir rapi di bagian sandaran kursi yang didudukinya tadi.

“Saya pikir penglihatan saya tidak salah Pak. Tadi siang itu posisi anda seperti perempuan pasrah yang akan dimangsa.” Aku mengatakannya. Aku mengatakannya. Gawat. Duh, biarlah sudah terlanjur. Dia mengangkat sebelah alisnya dan rahangnya mengeras. Satu seringaian lolos dari bibir seksinya. Ya. Itu seringaian yang tampak saat pertama kali aku melihatnya di sini. Di tempat yang sama.

“Apa perlu aku membuktikan padamu, artinya “memangsa”, Nona?” dia mendekat, menempelkan tangannya di pegangan kursi, mengurungku dengan tubuhnya. Hh, kata-katanya benar-benar menggiurkan. Jantungku berdetak. Bagian bawahku berdenyut keras. Sial. Aku terangsang.

“Sepertinya memang harus kubuktikan.” Nafasnya berhembus di wajahku. Hangat. Aroma mint bercampur rokok memabukkanku. Wajahnya semakin mendekat. Tidak. Tidak. Aku tak boleh tergoda. Ini salah. Aku mendorong dadanya dengan sisa tenaga yang kupunya.

Namun tak cukup kuat untuk mendorongnya. Dadanya benar-benar berotot. Tanpa sadar aku meraba-raba dada bidangnya dan melirik sekilas. Waw, aku harus melihat perutnya. Pasti ada kotak-kotaknya. Tunggu. Aku harus mengendalikan situasi.

“Pak. Anda jangan….” Suaraku sedikit keluar dengan tertahan, nafasnya benar-benar membuatku melayang. Ah! Aku tak tahu lagi!! Aku tak tahan!! Kuraih wajahnya dan kulumat bibirnya seketika. Masa bodoh dengan idealisme. Aku tak peduli dia gay. Dia benar-benar seksi.

Kugigit bibir bawahnya, kurasakan tubuhnya menegang, tapi kemudian dia membalas ciumanku. Kedua mulut kami terbuka, saling mendorong, sama-sama bermain dengan lidah yang kami punya. Sebuah erangan lolos dari mulutku. Saat aku mengambil jeda untuk bernafas. Namun dia tak mengizinkan bibir kami terpisah lebih lama. Dia kembali menghisap bibirku.

Tangannya mengusap-usap pundakku perlahan hingga tiba tepat di pinggir payudara montokku. Kedua ibu jarinya mulai mengelus bagian atas payudaraku yang masih tertutup blouse merah. Dia mengelusnya dengan sangaat pelan, ke atas dan ke bawah. Tanganku melingkar di lehernya, menyisir rambutnya dengan sela-sela jariku dan membawanya lebih dekat kepadaku.

Hhh.

Aku mendesah. Kemudian mulutnya berpindah mencium leherku. Ini benar-benar nikmat. Ah tunggu. aku harus memastikan sesuatu. Tanganku berpindah ke dadanya, lalu turun ke perutnya. Wah perutnya rata sekali. Ah tidak, ini bukan saatnya. Kemudian aku menurunkanya kembali, hingga sampai ke bagian paling nikmat di tubuhnya. “suntikan” itu ada. dia keras, dan tegang. Walau masih terbalut celana dasarnya, dia sudah begitu indah saat dipegang.

“Ah.. apa yang kau lakukan..” ucapnya sambil mengerang, kemudian melanjutkan aksinya menciumi leherku dan dadaku, lalu sampai ke belahan payudaraku. Menenggelamkan wajahnya di sana.

“Itu benar-benar nikmat sayang. Oh..” Kedua tangannya meremas payudaraku yang masih terbalut bra. Sejak kapan dia membuka kancing bajuku?

“Aku..hanya memastikan ..hhh” ucapku di sela-sela desahan nikmatku, dia benar-benar tegang. Dia bereaksi pada wanita. Itu bagus. Aku membuka resleting celananya, kembali memegang kejantanannya dan memijitnya sedikit. Memijit dan mengelus ujungnya dengan ujung jariku. Ini benar-benar keras.

“Pak..” aku berusaha menghentikan aksinya. Menutup mulutnya yang sedari tadi bergerilya di bagian tubuh atasku. Ah sejak kapan kancing blouse terbuka seperti ini.

“Apa sayang?” matanya sayu, rambutnya acak-acakan. Dia benar-benar terlihat bergairah.

“Apakah anda bisex?” tanyaku memastikan.

Dia melotot. Pelipisnya berdenyut seketika. Aksi mesumnya terhenti. Sejenak dia memejamkan matanya. Menarik napas dan menghembuskannya.
Ups. Sepertinya aku salah bicara.

Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS PART 3

POV Orang Ke-3

Gedung-gedung pencakar langit tampak kehilangan keangkuhannya sepeninggal matahari. Bintang-bintang tampak enggan muncul di kegelapan itu, mereka memilih bersembunyi di balik awan hitam hasil polusi, digantikan pesona lampu malam yang merebak di sepanjang bangunan yang berderet menyisir jalan.

Penduduk bumi seolah tak lelah merenovasi alam. Merusaknya, kemudian menciptakan keindahan imitasi saat mereka berpikir bahwa yang alami ternyata lebih bagus bila tetap berada pada tempatnya.

Kendaraan tampak lengang malam itu, menghadirkan kelegaan di kursi para pemiliknya. Bersyukur atas lolosnya mereka dari himpitan kemacetan yang menjenuhkan. Begitupun dengan Rendra, dia tampak santai mengemudikan BMW-nya, menuju apartement yang sejak tiga tahun yang lalu dia tinggali.

Dia memutuskan untuk tinggal di tempatnya sendiri sejak ibunya mulai merecokinya tentang pernikahan. Di usianya yang ke-34 tahun, ibunya sudah mulai resah dengan masa lajang yang sepertinya dinikmati Rendra. Namun dia tak pernah menghiraukan itu. Dia tampan, sukses, dan tidak pernah kekurangan wanita.

Baginya sudah cukup untuk hidup melajang. Walaupun suatu saat dia tidak memungkiri akan menghadirkan seorang wanita untuk mendampingi hidupnya. Mungkin saat dia berumur 45 tahun, dia akan menikah dengan gadis berumur 20 tahun, itu hal yang keren bukan? Bahkan saat ini umurnya masih 34, masih jauh untuk memiliki seorang istri.

Hm, tapi akhir-akhir ini dia mulai memikirkan kembali perkataan ibunya. Yah. Sejak Rendra bertemu dengannya, wanita yang pernah mengacaukan hidupnya saat dia muda dulu. Dia tersenyum, mengingat awal pertemuannya dengan Sekretarisnya itu. Tak menyangka bahwa takdir akan mempertemukan kembali mereka.

Dulu Rendra mati-matian mencari wanita itu, merindukannya, sampai-sampai wanita-wanita di sekelilingnya terlihat tak menarik lagi. Tapi usahanya tak pernah berhasil. Wanita itu seolah menghilang di telan bumi, hingga seminggu yang lalu wanita itu kembali hadir.

Muncul di hadapannya kembali. Membuat dia kembali berharap, kembali menginginkannya, dan kali ini, tak akan dia lepas.Walaupun sepertinya Sheila tak ingat akan dirinya. Rendra tak peduli semua itu. Dia bertekad akan mendapatkan wanita itu. Bagaimanapun caranya.

Ingatannya kembali melayang pada peristiwa tadi sore, Rendra bergumam tak jelas merutuki kenakalan saudaranya yang tak pernah berubah dari dulu. Sudah setahun dia tak bertemu dengan Endo, sepupunya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di London.

Dan saat ini dikira sedang menjalin asmara oleh Sheila. Dengan sangat tidak sopan Endo menerobos ruang kerjanya dan melakukan kebiasaan lamanya. Memeluk Rendra tanpa aba-aba. Hingga Rendra yang baru saja menyelesaikan makan siangnya, dan bermaksud melanjutkan pekerjaanya yang menumpuk di meja kerjanya kaget dengan suara pintu yang terbuka dan bedebam keras pintu yang kembali tertutup.

Dan sebelum Rendra menyadari apa yang terjadi, kakinya harus rela terantuk meja dan tubuhnya terjengkang di depan sofa yang tadi didudukinya. Bersama tubuh Endo di atasnya.

Rendra kesal setengah mati dengan tuduhan Sheila, namun harus kembali berhadapan dengan Endo yang malah terbahak dan menertawakan peristiwa yang diakibatkan olehnya sendiri. Sedetik kemudian sesuatu di dalam celananya sedikit berdenyut.

Mengingat cumbuan yang dilakukanya dengan Sheila sore tadi. Andai saja Sheila tak merusak suasana dengan mengatakan kalimat bodoh itu. Pasti Rendra sudah memanjakan kejantanannya. Memasukannya ke dalam milik Sheila, dan.. Shit pikirannya kacau. Ini di jalan man. Rendra berusaha mengusir pikiran kotor itu jauh-jauh. Mengingat posisinya sedang mengemudi.

Namun tak lama kemudian, sebuah senyum tersungging di bibirnya, saat melihat wanita yang dilamunkannya sedang berdiri di pinggir jalan, memakai skinny jeans dan tanktop hitam dilapisi cardigan putih dengan tas selendang berwarna cokelat. Rambutnya diikat ekor kuda dengan sedikit asal, helaian rambutnya sedikit terlepas dari ikatan, membentuk salur-salur rambut yang tampak memunculkan kecantikan naturalnya.

Sheila menenteng koper besar berwarna merah. Menunggu taksi yang tak kunjung datang. Melihat suasana itu Rendra menepikan mobilnya tepat di pinggir Sheila, kemudian membunyikan klakson dan membuka kaca jendela mobilnya.

“Butuh tumpangan Nona?” Ucapnya sedikit kencang, takut tersaingi oleh suara bising kendaraan yang lalu lalang.

“Pak Rendra??” teriak Sheila, setengah tak percaya. Bagaimana mungkin dia bertemu dengan Rendra di saat dia menghadapi kesialannya saat ini.

“Sudahlah, ayo masuk. Sebelum aku ditilang polisi!” Perintah Rendra arogan. Tak berbeda nadanya dengan saat dia di kantor. Sheila yang sadar akan hal itu menurut. Terhipnotis ucapan bos yang biasa diturutinya selama semingu ini.

“Kemana tujuanmu?” tanya Rendra tanpa basa-basi.

Sheila merengut, menggigit bibirnya dengan raut wajah bingung. Apakah dia harus jujur bahwa dia baru saja diusir ibu kontrakannya dua jam lalu? Atau dia harus jujur tentang dirinya yang kini tak punya tempat tujuan dan baru saja berniat menuju hotel dengan isi dompetnya yang pas-pasan, bahkan akan membuatnya tak makan seminggu bila dia memaksakan dirinya menginap di sana?

“Kau tak mau mengatakannya?” Rendra kembali mengajaknya bicara.

“Um.. sebenarnya, saya tadi bermaksud menginap di tempat Ami, tapi..dia sedang sibuk dengan pacarnya. Hehe” Sheila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berhadapan dengan bosnya yang tampan selalu membuat jantungnya berolahraga dengan keras.

“Kau tak punya tempat tinggal?” Tebak Rendra. Tepat sasaran.

“Ah, itu, saya ingin mencari tempat tinggal baru, sewa kontrakkan saya habis jadi..” Sheila kembali terdiam, bingung harus berkata apa.

“Jadi untuk sementara kau menginap di tempat Ami? Bagaimana dengan teman-temanmu yang lain?” Rendra melanjutkan. Sekali lagi tepat sasaran.

“Saya belum begitu akrab dengan teman kantor yang lain Pak. Dan teman-teman saya yang lainnya tinggal di tempat yang cukup jauh dari kantor. Apalagi sekarang sudah jam 9 malam. Saya…” aku terdiam kembali sambil melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 9 lewat 20 menit.

“Baiklah. Kita ke apartementku.”

“Apaa???”

“Kau tak punya tempat tinggal. Tak punya tempat tujuan. Untuk malam ini menginaplah di tempatku.” Sahutnya datar tanpa mengalihkan pandangannya, fokus mengemudi.

“Tapi Pak. Maaf saya tidak bisa. Sebaiknya saya turun di sini.” Sheila benar-benar butuh tempat tinggal. Tapi tidak dengan bosnya. Ini benar-benar di luar rencananya. Mengingat hal yang tadi mereka lakukan di kantor, membuat Sheila bergidik. Dia tak mau lepas kendali seperti tadi.

Dia benar-benar harus menghindari situasi ini. Bosnya benar-benar membuat Sheila menghancurkan segala idealisme dan rangkaian hidup yang selama ini dia rencanakan. Sejak bertemu Rendra, dia sudah beberapa kali melanggar prinsipnya dan membuat jalan lurusnya sedikit berkelok dari arah yang ditentukan. Dan itu sudah cukup.

“Hanya semalam. Anggaplah ini kebaikan seorang bos terhadap sekretarisnya. Aku tidak akan melakukan hal yang tidak kau inginkan. Hanya ingin membantu.” Sheila terdiam. Mulai goyah dengan kata-kata Rendra yang sepertinya sungguh-sungguh. Namun sebelum dia berpikir lebih jauh. Rendra sudah mulai menepikan mobilnya, mereka sudah sampai di tempat tujuan tanpa Sheila sadari.

“Sampai.” Sahut Rendra, kemudian turun dan membukakan pintu untuk Sheila kemudian membawakan koper yang di simpan di kursi belakang mobil. Sheila menurut. Mengikuti Rendra menuju apartementnya yang terletak di lantai tiga. “Masuk!” Ucap Rendra, setelah sampai di depan pintu apartementnya. Kemudian membukanya.

Sheila melangkahkan kakinya menuju ruangan yang merupakan apartement bosnya. Tempat itu didominasi warna cokelat dan putih. Dindingnya putih, perabotan besar seperti rak, sofa dan bagian dapurnya sebagian besar berwarna cokelat. Dan tirainya putih. Selain lukisan dinding, interior di apartementnya tak begitu berwarna. Simple. Pikir Sheila.

“Aku mandi dulu. Bila ingin minum ambil saja. Dan apakah kau sudah makan?” dengan enggan Sheila mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu, aku akan mandi di sana.” Kata Rendra sambil menunjuk ruangan yang dekat dengan dapurnya.

“Kau bila ingin mandi dan berganti pakaian pakai kamarku di sana.” Lanjut Rendra menunjuk pintu yang di sebelah kanan Sheila. Sekali lagi Sheila mengangguk dan menurut.




Sheila POV

Aku menyegarkan badanku dengan mandi dan keluar dengan selapis handuk yang membalut tubuhku. Mengacak-acak koper dan menyadari kalau ternyata aku tak membawa baju tidur yang cukup pantas untuk kupakai di hadapan bos ku.

Tapi aku tak mungkin memakai pakaian tidurku yang biasa kukenakan dan bisa dibilang cukup seksi dalam keadaan seperti ini. Akhirnya pilihanku jatuh pada baju yang sehari-hari kupakai, kaos putih bergambar tweety di bagian depannya dan hot pants di atas lutut, menampakan sedikit pahaku. Sepertinya pakaian ini cukup nyaman.

Aku keluar dari kamar setelah memakai pakaianku lalu mendapati bosku yang sedang duduk di sofa panjang sambil menopang kepalanya dengan tangan kirinya, tangan kanannya memegang remot televise dan memencet-mencetnya, memindahkan channel tv yang dia tonton. Dia menekuk lutut sebelah kanannya. Kaki kirinya dibiarkan menapak lantai. Dia hanya memakai celana boxer.

Aku cukup terkejut melihat dia dalam posisi seperti itu, dada yang tadi sempat ku raba kini terpampang jelas di hadapanku, seperti yang kuduga, otot-ototnya tercetak sempurna, membuatku ingin menyentuh liatnya tubuh itu. Tanpa sadar mulutku terbuka. Dia melihatku dan menyeringai.

“Kau mau?” godanya. Sialan. Dia tahu apa yang kupikirkan. Aku segera menormalkan ekspresiku dan duduk di sebelahnya. Sedikit tergoda untuk melihatnya lebih dekat.

“Ma.. maksud anda apa?” aku pura-pura tak tertarik dan mengalihkan pandanganku pada televisi yang memutar film kucing dan tikus yang sedang berkejar-kejaran.

“Maksudku kopi.” Dia meraih kopi dan mengucapkan kalimat itu seolah tanpa beban. Kemudian mengedipkan mata padaku. Kembali menggodaku.

“Pak! Saya tahu maksud anda. Tapi bisakah anda berpakaian seperti biasanya?” sindirku sambil tetap memelototi layar tv yang sedang menayangkan adegan kucing yang jatuh dari gedung tinggi.

“Maksudmu? Kalau di rumah aku memang seperti ini. Lebih nyaman. Bahkan biasanya tanpa pakaian. Yah kau tahu, kalau sedang bersama wanita.. hmm di tempat tidur. Oh ya, panggil aku Rendra, di sini bukan kantor.” Paparnya. Sialan. Jadi maksudnya dia tiap hari melakukan sex dengan wanitanya?

Memang apa peduliku? Aku juga tak akan membiarkan dia melakukan itu denganku. lihat saja. Dan apa yang terjadi dengan kucing itu? kenapa dia tidak mati? Bukankah tadi dia jatuh di atas gedung? Film tak masuk akal.

“Dengar Pak. Maksud saya Rendra. Saya tak peduli. Tapi di hadapan seorang wanita yang bahkan baru anda temui satu minggu yang lalu. Seharusnya anda tahu cara berpakaian yang baik. Saya yakin seorang CEO seperti anda adalah orang yang tahu tatkrama dan kesopanan.” Cibirku.

“Haha. Kau tahu? Biasanya aku hanya bertemu sekali dengan wanita dan mereka langsung melihatku…. telanjang.” Dia menekan kata “telanjang” kemudian terkekeh. Brengsek. Playboy mesum tak tahu diri.

Aku menghela nafas. Tak mau membahas lebih lanjut pengalaman bosku dan selirnya. Kami terdiam, cukup lama sambil menonton film kucing dan tikus yang kini sedang bekerja sama mengerjai anjing besar. Bagus mereka sudah rukun sepertinya. Tak bertengkar lagi.

“Kau tidak ngantuk?” tanya Rendra. Berusaha memecah kebisuan kami yang beberapa menit lalu terlalui. Aku melirik jam yang ada di salah satu dinding apartementnya, jam sudah menunjukan pukul 11 malam.

“Ah. Iya, besok saya harus bekerja.” Ujarku beranjak. Namun kemudian terpaku.

“Pak.. saya tidur dimana?” tanyaku yang menyadari ketidaktahuanku tentang ruangan di apartement ini. Sepertinya ada satu kamar lagi di sini. Mungkin aku akan tidur di sana.

“Sudah kubilang, pangil aku Rendra, Kau tidur di kamarku.”

“Apa??? La.. lalu bapak ah maksudku kau tidur dimana Rendra?”

“Di sini hanya ada satu kamar, kamar lainnya kupakai untuk ruang kerjaku, jadi kita tidur di kamarku.” Dia tersenyum. Manis sekali. Dan aku harus menelan ludah karena harus tergoda dengan senyumnya.

“Kau! Sudah kubilang kita tidak boleh ada kontak fisik melebihi atasan dan bawahan! Bukankah kau sudah setuju!” aku berteriak.

“Loh? Kita hanya tidur? Tidak ada yang lain? Atau…. Kau mau melakukan hal yang lain. Hm?” seringaian seksinya tercetak kembali. Gawat. “Lagipula… sepertinya tadi sore kau sendiri yang melanggar perkataanmu sendiri.” Mati aku. Mati. Dia malah membahas hal yang dari tadi berusaha untuk kulupakan.

“Maaf. Tadi itu di luar kendaliku. Tapi aku janji hal ini tak akan terjadi lagi.” Aku meyakinkannya. Tepatnya meyakinkan diriku sendiri. Berharap bahwa hal-hal yang lebih parah dari itu tak pernah terjadi.

“Oh ya?”

Aku menghela nafas. “Baiklah. Saya…um.. aku akan tidur di sofa. Dimana kamarnya? Boleh aku meminjam bantal dan selimut?”

Dia menggeleng. Sial. “Rendra..” panggilku, sedikit kurendahkan suaraku, berharap dia akan luluh. Biasanya lelaki yang kukenal langsung mematuhiku kalau aku sudah bersuara seperti itu dengan mimik wajah memohon. Tapi dia malah menarikku ke kamarnya kemudian menguncinya. MENGUNCI??????

“Hei! Buka pintunya!” aku mulai emosi. Dia menggeleng lagi. Kemudian menyeringai kembali.

“Kau tidur di sini! Mau menurut atau…” dia menghentikan kalimatnya, menatapku dengan tatapan menggoda, mengangkat sebelah alisnya dan melangkahkan kakinya mendekat padaku. refleks aku mundur. artseks.com




Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS PART 4

Dia menggeleng. Sial. “Rendra..” panggilku, sedikit kurendahkan suaraku, berharap dia akan luluh. Biasanya lelaki yang kukenal langsung mematuhiku kalau aku sudah bersuara seperti itu dengan mimik wajah memohon. Tapi dia malah menarikku ke kamarnya kemudian menguncinya. MENGUNCI??????

“Hei! Buka pintunya!” aku mulai emosi. Dia menggeleng lagi. Kemudian menyeringai kembali.

“Kau tidur di sini! Mau menurut atau…” dia menghentikan kalimatnya, menatapku dengan tatapan menggoda, mengangkat sebelah alisnya dan melangkahkan kakinya mendekat padaku. refleks aku mundur.

………
“Baiklah. Aku tidur di sini.” Sahutku mengalah. Berjalan ke tempat tidur dan menarik selimut hingga sampai di pinggangku. Berusaha mengabaikan lelaki bertelanjang dada yang tadi sempat menggodaku. Huh. Ternyata Cuma segitu. Tak lama kemudian tempat tidur sedikit bergerak. Aku yakin dia mengikutiku. Masa bodoh dengan tidur satu ranjang. Lagipula aku tak akan membiarkannya melakukan hal yang macam-macam.

Aku berusaha memejamkan mataku, menghadirkan kantuk agar besok bisa kembali bekerja seperti biasa. Dan berpikir tentang apa yang akan aku lakukan esok hari. Mengingat tak ada lagi tempat untuk menginap. Hah. Aku tak mungkin tidur di tempat Ami. Dia tinggal bersama pacarnya. Mana mungkin aku menganggu mereka. Dan uangku sudah tinggal sedikit. Ini benar-benar posisi yang sulit.

“Punggungmu seksi ya? Hmm….kalau polos pasti lebih seksi.” Sebuah suara sedikit mengagetkanku. Dia berusaha merayuku. Aku tahu. Jangan harap aku tergoda. Aku memilih untuk tetap mendiamkannya. Membuatnya berpikir bahwa aku sudah terbang ke alam mimpi. “Bra mu merah ya?” Lelaki brengsek dia menyadari kaos putihku yang sedikit transparan. Aku menarik selimut hingga sampai leherku.

“Bahkan.. ketika seluruh badanmu tertutupi selimut tebal seperti ini, aku masih tetap bergairah.” Lanjutnya. Apa maksudnya bicara seperti itu.

“Rambutmu lembut.” Ujarnya. Dia pasti sedang memainkan rambut panjangku. Aku merasakannya. Kuabaikan kelakuannya dan berusaha pura-pura tertidur.

Tak lama kemudian sebuah lengan besar memeluk pinggangku di bawah selimut yang kupakai, badannya merapat padaku, menggesekan dada telanjangnya ke punggungku yang berbalut kaos. Aku tidak tergoda.. Aku tidak tergoda… kulapalkan mantra itu agar bisa segera tertidur dan pura pura tak tahu yang dia lakukan.

Tangannya menelusuri lenganku, menggenggam jemari tanganku dan menghembuskan nafasnya di leherku. Membuatku sedikit merinding dan menahan napas. Apa-apan dia itu! sesuatu di belahan pantatku kurasakan bergerak. Membesar, memanjang dan mengeras. Dia bernafsu! Jujur saja, aku ehm sedikit menikmatinya.

Ba.. bagaimana ini? Apa sebaiknya aku bergerak dan mencegahnya berbuat lebih jauh? Tapi pelukannya benar-benar hangat, dan “senjata” miliknya itu juga hangat. Uh. Ini benar-benar di luar kendaliku. Ah, ini tidak bisa dibiarkan. Reaksi tubuh dan otakku benar-benar tidak sinkron.

Dan aku tidak bisa menahan nafas lebih lama. Aku benar-benar ingin mendesah. Sialaaan. Aku memutuskan membuka mata dan mengabaikan nafsuku yang hampir menguasai seluruh tubuh dan otakku. Kubuka mataku dan kusingkirkan tangannya yang sedari tadi mengelus perutku, memangnya aku sedang hamil anak dia? Bodoh!

“Hentikan kelakuanmu itu!” aku sedikit berteriak dan sedikit mengeluarkan nafas yang keras, agar tidak mendesah. Bangun dari posisi saling merapat itu, dan mencoba duduk.

“Oh. Ayolah, aku benar-benar tidak akan berbuat lebih dari itu.” Dia menatapku datar tanpa ekspresi. Bisa-bisanya.

“Kau bilang begitu, tapi sesuatu di celanamu tak bisa berbohong!”

Dia tersenyum mesum.

“Kau suka? Bagaimana rasanya?”

Brengsek.

“Kau! Sudahlah. Sebaiknya kau pergi. Kalau untuk menyalurkan nafsumu lakukan saja pada selirmu atau pacar lelakimu itu.” aku berusaha berbaring lagi dan memunggunginya dengan menggeser badanku agar menjauh darinya.

“Pacar?”

“Ya. Lelaki yang ke kantormu itu bukannya pacarmu! Lalu wanita-wanitamu itu yang selalu membuatmu telanjang!” aku sedikit membalikkan badanku ke arahnya dan melihat bibirnya berkedut.

“What? Jadi kau benar-benar berpikir aku suka dua jenis?” dia terbahak dengan cukup keras.

“Nona, sudah berapa kali kubilang aku ini NORMAL. Lelaki itu saudaraku. Dan waktu itu murni kecelakaan. Kami terjatuh dan kau masuk tepat saat kami terjatuh.” Dia duduk mengusap kepalanya. Lalu kembali melihatku. Membuatku terpesona padanya. Dia benar-benar lelaki seksi.

“Kau masih tak percaya padaku atau… kau cemburu?” dia bertanya sekali lagi padaku. Sebenarnya aku juga tak yakin lelaki jantan seperti ini memiliki kelainan sih. Haha. Mungkin waktu itu aku memang benar-benar salah paham. Dan apa yang dia lakukan sekarang? Kenapa tiba-tiba posisinya berada di atasku. Dan apa dia bilang? Cemburu?

“Kau..kau..menyingkir dari situ!” Suaraku bergetar. Aku benar-benar gugup. Dia lelaki seksi. Dan sangat menggoda. Aku tak yakin bisa bertahan lama dengan prinsipku saat berhadapan dengan pria ini.

“Boleh aku menciummu?” dia berbisik, nadanya menggoda.

“Tidak! Kau. Sudah. Berjanji. Atau aku akan berhenti bekerja. Sekarang menyingkir dari atasku!!” Aku berusaha mendorongnya dengan tenaga yang kupunya. Namun dia tak bergeming.

“Sheila saayang... Harusnya kau tahu, tak ada yang gratis di dunia ini.” Rendra menyeringai. Nada bicaranya mencemooh. Apa katanya?

“Jadi kau tak ikhlas membantuku? Huh. Aku menyesal mengikutimu ke sini.” Aku mengerucutkan bibirku tanda tak suka.

“Hei, baiklah baiklah. Sebulan, 90 kali seks bagaimana?” dia setengah berbisik, wajahnya sekitar lima senti denganku.

“APA???? Apa yang kau bicarakan! Kau bos brengsek!” akhirnya aku berhasil menyingkirkannya dari posisi itu. Kuubah posisiku menjadi duduk kembali. Sekaligus ingin mengklarifikasi ucapan tak senonohnya barusan. Dia benar-benar penjahat.

“Aku mengijinkanmu tinggal di sini selama sebulan, jadi kita bercinta 3 kali sehari di sini. Bagaimana? Bukankah itu menguntungkan kita berdua? Kau tahu? Simbiosis mutalisme. Win-win solution. Sebelum kau mendapat tempat tinggal baru.” Dia menawariku perjanjian itu seolah menawarkan permen pada anak umur 5 tahun agar dia berhenti menangis. Huh. Lucu sekali.

“Kau pikir aku mau menggunakan tubuhku untuk itu! Kau bercanda! Dengar ya Bosku yang terhormat. Aku tidak mau tidur denganmu. Apapun alasannya. Dan 90 kali sebulan? 3 kali sehari? Kau bercanda!” aku mendengus. Hm sepertinya dia kuat di ranjang. Hehe. Ah tidak tidak. Aku tidak tergoda..aku tidak tergodaa. Kulapalkan kembali mantra itu.

“Hm. Kau yakin?” ucapnya. Ini seperti kuis tebak-tebakan saja. Memangnya kalau aku jawab yakin dia akan memberiku uang satu milyar. Bodoh sekali.

“Aku yakin!” jawabku.

“Hm. Baiklah. Bagaimana kalau seminggu 14 kali bercinta?” tunggu. dia menurunkan penawarannya. Sekali lagi aku menggeleng.

“Oke. tujuh kali bercinta, satu minggu?” aku tetap menggeleng. Dia sedikit cemberut.

“Sekali seminggu?”

“Sekali bercinta, sebulan tinggal!” entah setan apa yang masuk ke dalam tubuhku hingga aku melontarkan kalimat nista itu. Aku baru saja mengungkapkan penawaran yang benar-benar menggelikan seumur hidupku. Mulutnya terbuka, lalu tersenyum. Aku kalah. Menyebalkan.

“Oke. Sekali sebulan. Deal.” Nada suaranya puas. Tidak. Tidak. Aku benar-benar bodoh. Menyetujui hal ini tanpa pikir dulu. Tapi dia bilang hanya sekali kan? Dan aku bisa tinggal sebulan di sini. Sepertinya itu juga bukan hal yang merugikan. Lagipula. Sex dengannya tidak akan buruk sepertinya.

Dan jujur saja. Nafsuku naik saat dia menciumku tadi. Sekarang aku masih bergairah. Ah, bagian bawahku berdenyut lagi. Tapi sekali lagi ini melanggar prinsipku. Hiks. Oke baiklah. Hanya sekali. Ingat Sheila. Hanya sekali. Ini demi kelangsungan hidupmu. Aku meliriknya, dia tersenyum, matanya sayu. Oh tidak. Sepertinya kali ini aku benar-benar tak bisa menolak.

Dia menindihku kembali dengan cepat, melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda. Kejantanannya terasa sangat keras di antara pahaku. Aku tersentak lalu kembali dikagetkan dengan lumatan bibirnya di bibirku. Aku berusaha meronta, namun dia menahan tanganku dan malah menggesekkan kejantanannya ke bagian bawahku yang terlapis hot pants dan celana dalam tentu saja. Sial. Ini nikmat.

Aku mengerang. Mendapati tangannya menggerayangiku. Mencium keningku lama, kemudian bibirnya turun mengecup kedua mataku, pipiku dan mencium bibirku kembali. Aku merasakan dia mengangkat kaosku ke atas, wajahnya terangkat, aku melihat gairah di matanya yang menggelap, kubiarkan dia menatap payudaraku yang terbungkus bra berwarna merah.

Bra yang membuat payudaraku tertarik ke atas seperti mau tumpah. dada dan perutku naik turun, mengatur nafas yang sudah kacau karena aksinya, membuat payudaraku ikut bergerak. Dia mendesis, “Kau Seksi.” Ujarnya lalu meremas payudaraku dan mengangkat bra yang kupakai ke atas, sehingga bagian kecokelatannya muncul seolah menantang, dia menyeringai, tatapan mesumnya kurasakan di sekujur tubuhku.

Membuat nafasku semakin terengah. Aku berbaring pasrah di bawah tubuhnya. Sambil menggesekkan kepunyaannya terhadapku dia meremas kedua payudaraku, menekan tengahnya yang mengeras dengan kedua jempolnya di masing-masing payudaraku, membuatku menggeliat resah merasakan payudara dan kewanitaanku dipermainkan.

Kedua tangannya menekan-nekan payudaraku, mengabaikan bagian cokelatnya dan kemudian mengarahkan bagian itu ke mulutnya, mengulumnya seolah mengunyah, aku menggeliat kembali, sambil mengelus punggungnya dan meremas rambutnya. Dia melepas hontpantsku, dan celana dalamku.

Aku terpengaruh. Seakan melayang dengan perbuatannya. Aku membalasnya, membiarkan tanganku menggerayangi bosku hingga menyusup ke dalam boxernya sampai di “bola”nya, menyentuhnya dan menggenggam bagian panjangnya, dia mengangkat bokongnya membiarkan aku leluasa memainkan “benda itu”.

“Sialan, ini nikmat nikmat nikmathhhh” dia meracau dan membuka seluruh pakaianku. Membuatku telanjang dengan cepat, dan membiarkannya membuka boxernya sendiri, melepas penghalang yang sedari tadi mengganggu tubuh kami untuk bersatu. Dia kembali memainkan payudaraku, membuat banyak tanda merah di sana, lalu sesekali menyeringai. Tangannya yang lain memainkan kewanitaanku, membuatku semakin terengah, mendesah penuh gairah.

“Rendra.. aku.. aku..” Aku tak tahan lagi, sejak pertemuan pertama itu aku sudah menginginkannya.

“Aku tahu sayang.. aku tahu..” dia menciumi wajahku dan blesshh. Dia memasukannya ke dalam. Tiga kali hentakan sebelum kami benar-benar menyatu. Dia terdiam sesaat.

“Kau suka? Punyaku enak kan?” katanya.

“Ti…. Tidak juga?” aku tak mengaku.

Dia mengangkat sebelah alisnya.

“Benarkah?” dia masih terdiam di posisinya. Ini buruk.

“Kau bodoh ya? Cepat gerakkaaaann!!!!” lagi-lagi aku mengatakan hal yang seharusnya tak kukatakan. Memperlihatkan kalau aku sudah menyerah. Terjerat dengan pesonanya.

Dia terkekeh. Kemudian menusukku dengan pelan, lalu cepat.

“Kau benar-benarhhh……” dia mendesah

“membuat…hhh” mendesah sambil menusuk.

“….nafsuku semakin naik dengan segala tingkahmu sayanghhhh” dia mempercepat tusukannya berkali-kali. Mati aku mati aku matiiiiiii.

“Kau..bodohhhh..!” ujarku sambil mengerang. Dia terdiam setelah aku berkata begitu, kembali menghentikan aksinya. Ah apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa dia berhenti? Dia menarik nafasnya dan memejamkan matanya.

“Ah, maaf maksudku..aaakhhh!!” aku memekik. Rendra menusukku lagi dengan semakin cepat, lebih cepat dari tadi..sial! serangan tak terduga.

“Kau.. aku benhhchhhi kauhhhhhh!” dia menyebalkan. Dan aku menyukainya. Ini gila! Aku bisa gila dengannya!

Kami melakukannya, tusukan demi tusukan kami lalui dengan penuh gairah. Ah aku belum menamakan tusukannya itu. bagaimana kalau “tusukan surga” bukankah itu bagus? Yeah. Ini benar-benar surga dunia. Aku benar-benar menikmati permainannya. Sampai akhir. Sampai puncak kenikmatan kami tereguk. Bersama-sama tenggelam dalam pusaran orgasme terhebat yang pernah kujalani.

SATU JAM KEMUDIAN

“Itu film Spiderman.” Sahutku setelah mendengar suara tv yang tadi tidak dimatikan setelah kejadian penguncian kamar.

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku hapal dialognya. Sudah sering kutonton.” Ucapku sambil tetap bergoyang, memutarnya teratur.

“Huh..aku tak suka si bodoh itu. dia pengecut. Mengejar wanita begitu saja harus jadi digigit laba-laba dulu.” Rendra mendengus kemudian meremas pantatku dan menekannya sehingga punya kami benar-benar menempel.

“Itu romantis! Aku suka adegan mereka berciuman di jaring laba-laba.” Aku menaik turunkan pinggangku dengan cepat, membenamkan kembali miliknya sampai tak ada yang tersisa.

“Yah. Harusnya mereka bercinta di sana. Sepertinya bagus making love di jaring-jaring. Apalagi wanita itu sering tidak memakai bra.” Dia menahan pantatku, meresapi kenikmatan yang kami buat bersama.

“Kau! Aku tidak tahu kau memperhatikan hal seperti itu! benar-benar mesum!” cibirku.

“Tentu saja. Wanita itu cukup menggairahkan karena tidak pakai bra! Hah.. kalau aku jadi lelaki laba-laba itu aku pasti tak akan melewatkannya. Membuat banyak jaring dan bercinta dengan banyak wanita di sana. Pasti menyenangkan.” Rendra mengelus punggungku dan pantatku, menyentaknya dan membuat posisi kami berbalik.

Lalu memompaku dengan semangat. Sepertinya pembicaraan tentang Spiderman benar-benar membuatnya semakin bernafsu. Tapi kemudian dia kembali mengatur gerakannya. Aku gagal.

“Hei. Kapan kau keluar?” tanyaku kesal. Kesal-kesal nikmat karena dia tak juga orgasme. Padahal aku sudah benar-benar tidak tahan.

“Setelah kau menyerah. Ahh. Kita harus mencobanya di kantor sayang. Aku belum pernah seks di kantor.”

“Tidak! David Narendra Wijaya! Kau janji hanya sekali! Setelah ini tak ada lagi seks! Ingat itu!” jawabku sambil mengencangkan kaitan kakiku di pinggangnya.

“Hm. Ya. Tapi bukankah sangat menyenangkan melihatmu memakai pakaian kerja, rok seksi, kau menunduk dan memperlihatkan belahan payudaramu, menggodaku di kantor.. lalu kita.. ahh.. sayang.. remasanmu hebat..punyaku tersedot owh owh... apa kau menyerah?”

Pipiku memanas. Aku ketahuan.

“Ti.. tidaak!”

“OH.. ayolah aku tahu kau sudah akan keluar..” dia tertawa mengejek. Menusukkan setengah miliknya mempermainkanku dan menusuk sempurna di tusukan ke lima. Aku benci dia!

“Aku.. aku..” ini buruk. Aku sudah benar-benar di ujung.

“Kau.. tidak.. aku tidakk oh! Aku menyerah oh tidak aku menyerah aku menyerah Ren…akhhh!” sepertinya dia merasakan hal yang sama denganku. Tusukannya semakin cepat dan nikmat. Dan aku membalasnya dengan remasan yang sangat kuat, berdenyut hebat. Tak lama kemudian kami tumbang. Bermandikan keringat dan cairan kenikmatan yang keluar dari tubuh kami.

Senjatanya menyusut alami. Membiarkan dia tetap di dalam kemudian melepasnya dan berbaring di sebelahku. Aku benar-benar terbuai dengan permainannya. Dia lelaki kedua yang membuatku merasakan kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan secara bersamaan.

Beberapa saat kemudian, buliran bening menetes di ujung mataku perlahan tanpa kusadari. Kenangan itu muncul kembali, hal yang selama ini berusaha kulupakan. Sesuatu yang ingin kuingat dan kulupakan secara bersamaan muncul dua-duanya. Aku ingin mengingat hal itu, tapi kenangan pahit yang lainnya datang menghantuiku, membuatku bahagia sekaligus sakit di waktu yang sama.

“Kau? Kenapa? Apa aku menyakitimu?” Rendra menatap cemas, menghapus air mataku dan membelai wajahku. Aku menggeleng.

“Tidak. Aku hanya.. aku..aku..kau benar-benar… aku hanya.. bahagia..” suaraku tercekat. Tak mampu lagi mengatakan hal lain yang masih tersangkut di tenggorokanku. Aku memeluknya. Menangis kemudian terlelap dan menenggelamkan wajahku di dadanya. Dia mengelus punggungku. Kami tertidur bersama.

Bersambung….. ^^v gimana gimana?? Mau tamat ga? Apa dilanjut ???? ini feelnya dapet ga sih suhu suhu sekalian? Ada yang salah ga? Ganjel ga? Koment ya! sebenernya ini bisa sih tamat sekarang, dengan ending ngegantung wakaka tapi ya tergantung pembaca juga maunya gimana.

Kalo ini cerita banyak yang kurangnya monggo bilang… biar saya perbaiki ke depannya gitu 

Yang mau lanjut cerita, acungkan senjata!

Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS PART 5

3rd POV

Rendra membuka mata saat sinar pagi menyusup ke celah-celah jendela apartementnya. Menemukan perempuan seksi cantik telanjang di sampingnya membuat Rendra tersenyum seketika. Kemarin malam bukanlah mimpi. Penyatuan yang hebat telah terjadi antara mereka berdua.

Aktivitas pembuangan sperma yang terjadi antara Sheila dan Rendra rupanya tak dapat dilupakan begitu saja oleh Rendra. Wajah wanita cantik berkulit mulus itu terlelap di sisinya, membuat Rendra tak tahan untuk memeluknya kembali. Kejantanannya yang sudah terpuaskan kembali kini berdiri tegak menjulang, mencari sarangnya.

Namun Rendra sadar, otaknya yang mudah teracuni pikiran mesum itu harus segera dibersihkan. Teringat akan perjanjiannya semalam dengan bidadari menggairahkan di sampingnya.

Tak lama kemudian sudut bibirnya melengkung, Rendra yang telah terbiasa dengan bisnis, kesepakatan, dan selalu berusaha mendapat keuntungan dari apa yang dia lakukan kini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada. Kucing ini harus mendapatkan ikannya. Pikir Rendra.

Rendra mengambil Iphone yang terletak di meja nakas tak jauh dari tubuhnya. Mengotak-atiknya dengan sigap hingga lensa kameranya menyala. Mengambil tiap sudut indah dari tubuh seksi Sheila sedemikian rupa. Dengan beberapa jepretan, gambar tubuh Sheila telah tercetak indah di Iphonenya.

Sesekali ia berpose, merangkul, mencium pipinya dan meremas payudaranya sambil tersenyum bahagia. Tak tahan dengan pose itu, dia mencium bibir Sheila sekilas. Dan mengulum payudaranya. Membuat tubuh Sheila sedikit bergerak gelisah.

Tapi Rendra tahu, dia harus mengurung nafsunya dan bersabar untuk seks mereka selanjutnya. Membuat Sheila harus menyerahkan diri kembali pada dirinya terdengar sangat menyenangkan. Untuk pagi ini saja, dia tak akan menuruti kejantanannya.

Rendra memilih untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi. Membersihkan dirinya dari sisa-sisa kenikmatan yang terjadi semalam. Untuk segera bersiap ke tempat kerjanya.

Sementara itu, Sheila mulai terbangun, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Melihat atap putih yang menyambutnya pagi ini membuat Sheila termenung sekilas. Mengumpulkan ingatan yang belum sepenuhnya terkumpul. Sebelum kemudian dia merona, mengingat malam pertama mereka bercinta.

Kepalanya menggeleng, meraih selimut hingga menyembunyikan seluruh tubuhnya. Berguling-guling di kasur sambil berteriak tertahan.

“Aku melakukannya. Aku melakukannya. Aku melakukannya. Hyaaa…” Sheila merasa heran dengan dirinya. Padahal ini bukan pertama kalinya dia melakukan seks dengan lelaki. Bisa terbilang Sheila sudah pernah berpacaran beberapa kali. Namun dia tak pernah merasa semalu ini. Dia merasa didominasi.

Padahal biasanya Sheila adalah wanita yang selalu mengalahkan lawannya dalam seks. Membuat prianya merintih memohon kenikmatan. Tapi kini sebaliknya. Dia malah menjadi orang yang menyerah atas kuasa Rendra. Dan baginya itu sangat memalukan. artseks.com

Selama beberapa saat, dia bergelung dalam selimut, menikmati sisa-sisa kenangan indah namun paling menyebalkan yang dialaminya. Sebelum kemudian dia bergegas untuk bersiap-siap berkerja. Memakai high heels hijau toska bertali dan mini skirt serta blouse hijau toska dengan kancing di depannya. Rambutnya di sanggul ke belakang, menyisakan dua salur yang dibuat sedikit ikal di pinggir wajahnya.

Make up tipis dengan eye liner dan mascara yang tidak terlalu tebal namun memberi kesan tegas dan berbinar pada sorot matanya, serta pulasan make-up yang tipis di bagian wajahnya yang lain. Gadis itu tampak puas dengan hasil karya yang terlihat di depan cermin kamar milik Rendra.

Melihat hal itu, Rendra yang sudah siap dengan setelan jas kerjanya tampak ternganga dengan mulut sedikit terbuka. Namun segera dikatupkan bibirnya dan ditelan ludahnya, tanda dia sedang ingin menyantap hidangan di hadapannya.

Rendra menatap sosok seksi itu, bagian punggungnya yang berlekuk sempurna saat semalam dia menelusurinya. Kemudian bokongnya yang menyembul ke belakang dilapisi rok ketat tampak menggoda akalnya. Membayangkan bokong itu bergoyang erotis membuai nafsunya. Shit. Otaknya kacau.

Tubuh Rendra seolah bagai robot yang telah diprogram, berjalan tanpa kehendaknya. Mendekati sosok itu, hingga sampai tepat di belakangnya. Tangannya yang dari tadi memperhatikan bokong itu kini telah menempel ketat pada dua belahan daging kenyal yang sedari tadi seolah memanggilnya. Sejenak Rendra merasakan tubuh di hadapannya menegang.

“Hentikan kelakuan mesummu itu Bapak Narendra yang terhormat!” Dengan angkuh Sheila menangkap tangan nakal itu dan mendorongnya menjauh.

“Wow. Aku hanya ingin menyantap sarapanku.” Ujarnya santai.

“Aku tidak tahu kau berubah jadi kanibal.” Sengit Sheila.

“Kanibal cinta.” Jawabnya sambil terkekeh. Menertawakan gombalan garingnya sendiri.

Sheila mendengus, tak tahan dengan sikap tak tahu malu bosnya itu.

“Aku berangkat duluan. Aku tidak mau jadi bahan gosip di kantor. Oh ya. Aku tidak tahu kau suka makan apa jadi kubuatkan nasi goreng ala rakyat jelata di meja makan. Barangkali kau suka Sarapanmu! Karena aku tak akan pernah memberikan pantatku untuk dijadikan bahan sarapanmu.. um Sampai jumpa di kantor bosku tersayang.” Sheila pergi dengan seulas senyum seksi di bibirnya.

Membuat darah Rendra berdesir mendengar ucapan “sayang” yang entah sadar atau tidak kedengaran sangat erotis bagi Rendra. Huh. Akhir-akhir ini dia jadi seperti lelaki jantan penuh nafsu. Tunggu saja. Setelah dia menjalankan rencananya. Rendra yakin Sheila tidak akan pernah dilepaskannya. Pikir Rendra lalu berjalan sambil bersiul ke arah dapur.

Mencari sepiring nasi goreng yang katanya dibuatkan Sheila, mungkin sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya semalam. Juga servisnya? Haha. Sekali lagi Rendra berkutat dengan pikirannya sendiri sambil sesekali tersenyum dan terbahak sendirian. Sepertinya salah satu Rumah Sakit Jiwa harus menyediakan ruangan khusus untuk orang gila baru yang akan datang.

Sementara itu Sheila sampai di kantornya dengan wajah berseri. Perkataan bahwa wanita yang telah terpuaskan dalam hal seks akan lebih bersinar rupanya benar adanya. Apalagi untuk sebulan ke depan dia bisa tinggal dengan nyaman di tempat Rendra. Yah walaupun dengan sedikit perdebatan tak penting.

Tapi dia sudah tak peduli lagi. Sheila menuju meja kerjanya, merapikan laporan keuangan yang kemarin sempat diminta bosnya. Kemudian menuju ruangan Rendra, menyimpan laporan itu kemudian memilah-milah dokumen di meja bosnya. Memisahkan kertas-kertas yang perlu ditandatangani dan belum ditanda tangani.

“Wow. Bunga dari siapa nih?” Ami yang melihat sebuket mawar di meja kerja Sheila tampak antusias.

“Oh.. tadi dikasih Mang Ujang.”

“What? Masa Ob kayak Mang Ujang ngasih kayak ginian? Gak salah?” Ami yang selalu penasaran dengan segala sesuatu itu tampak tak puas dengan jawaban Sheila yang terkesan asal.

“Ya enggak. Maksudnya Mang Ujang yang ngasih karena dititipi. Pemberi aslinya gak tahu. Tadi belum sempet lihat. Beresin meja bos dulu.”

“Nih ada kartunya.” Kata Ami yang sedari tadi mencium-cium bunga tersebut seperti pemeran wanita di tv-tv mengambil sebuah kartu merah muda yang terselip di bunga itu.

Good morning Sheila.
Saya harap kamu tidak tersinggung dengan pemberian saya.

Saat melihat bunga ini, saya langsung teringat dirimu yang sungguh mempesona namun sangat berduri.

Saya berharap dapat menyingkirkan duri-duri itu dan menikmati pesonamu,
seperti mawar ini yang tak pernah berkurang keindahannya walaupun durinya sudah tak ada lagi.
Arya Wiguna,

Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS PART 6

Sheila POV

Semalam harus dijadikan daftar hal-hal terburuk sekaligus menyenangkan dalam hidupku. Aku benar-benar dimanfaatkan lelaki itu. Ini tidak bisa dimaafkan. Walau harus diakui, permainannya itu luar biasa. Hehe. Kulirik sebuket bunga yang tadi pagi diberikan Mang Ujang, salah satu office boy di kantorku. Satu nama yang tertulis di kartu kecil berwarna merah muda itu menyegarkan ingatanku kembali. Arya Wiguna, Manajer dari divisi keuangan tempatku bekerja sekaligus atasan Ami.

Aku tak begitu mengenalnya. Tetapi aku ingat momen saat aku menamparnya karena dengan tidak sopannya dia mengajakku berhubungan seks padahal baru beberapa hari aku bekerja. Sejak itu dia suka cengar-cengir tak jelas bila bertemu denganku. mungkin otaknya sudah rusak.

Mungkin juga kebanyakan akses www.semprotku.com. huh. Dikiranya aku mempan dengan SSI-nya yang kacangan itu. weks. Tidak sama sekali. Lelaki itu adalah salah satu daftar orang-orang yang harus kuhindari keberadaannya. Karena dia hanya menginginkan tubuhku saja.

Haahh. Aku tak butuh lelaki seperti itu. di usiaku yang ke 25 ini, aku memerlukan lelaki yang serius dan berkomitmen. Bukan hanya sekedar hubungan fisik belaka.

Katakan aku social climber, matrealistis atau apapun, hal itu memang benar adanya. Namun aku juga bukan orang yang sembarangan memilih pasangan hidup. Percaya atau tidak, menikah itu adalah hal yang seharusnya dilakukan sekali seumur hidup.

Hm, mungkin dua kali bila pasangan kita meninggal. Tapi pilihan kedua aku harap tak pernah terjadi. Dan menurutku menikah bukan hanya soal menghasilkan keturunan. Memangnya aku anak kucing yang suka beranak pinak apa? Well, dalam hal ini aku benar-benar ingin mendapatkan pasangan hidup yang dapat bertanggung jawab secara materil dan moril terhadapku dan keluargaku kelak.

Bayangkan saja ketika kita menikah dengan pria yang hanya punya materi, tetapi tidak memikirkan kebahagiaan anak istrinya? Pendidikan anaknya, moral mereka, apakah anak kita suka berbohong dan akhirnya korupsi bila mereka tua kelak.

Sementara ayahnya sibuk main-main dengan wanita lain, padahal anaknya juga suka digarap oleh om-om seumur ayahnya? Hih. Aku tak mau itu terjadi. Pokoknya si Arya itu tidak masuk dalam kriteria pasangan hidupku. Tidak sama sekali!

BRAKK!!!

Suara gebrakan meja yang terdengar di telingaku membuat fungsi otakku bekerja normal seperti semula. Sebuah tangan dengan map yang dipegangnya memacu detak jantungku. Matanya melotot, tangannya menunjuk-nunjuk salah satu huruf di sana. Mati aku. Mati.

“Kamu ini gimana?? saya suruh tulis laporan begini saja gak becus. Ini harusnya 20 persen! Bukan 2 persen! Kamu tahu akibatnya bila salah seperti ini? Yang bener dong! Pantesan aja kerjamu kacau! Pikiranmu kemana-mana!”

Astagah. Kemana bos gantengku yang kemarin sangat lembut dan hangat penuh canda? Kenapa sekarang dia seperti harimau ngamuk?? Jangan-jangan dia kerasukan harimau putih. Dih itu tidak mungkin.

“Ma.. maaf pak. Lain kali saya akan melakukannya dengan baik.” Jawabku. Jantungku mau copot astaga.

Sepertinya bosku menyadari kegugupan yang terdengar dari suaraku. Sesaat dia menghela nafas.

“Perbaiki.” Perintahnya. Aku menurut, membuka-buka lembar laporan itu. Hh. Kuakui, aku salah dan kurang teliti mengerjakannya. Tak ada alasan. Hm mungkin kemarin aku sempat melamun gara-gara tak punya uang. Tapi sekali lagi. Itu memang salahku. Hiks. Aku salah bos. Maaf.

“Oh ya. Meeting nanti malam kamu ikut saya. Setelah ini siap-siap kita langsung pergi. ” Ucapnya irit, kemudian pergi melenggang ke ruangannya. Perasaan sekarang sudah sore? Sudah jam 4 lewat 15 menit! Waktunya pulang sebentar lagi… Dan apa katanya tadi? Ikut dia? Lalu pekerjaanku bagaimana? Bukannya tadi dia bilang harus segera memperbaiki laporan ini, Berarti 15 menit dari sekarang aku harus pergi dengannya? Sial. Mimpi apa aku dapat bos kayak gini. Nasib..nasib.

Drrrt…drrtt.. getaran benda elektronik di mejaku terasa jelas menyentuh lengan kiriku. Sebuah pesan dari whatsapp muncul di layar handphoneku yang berwallpaper gambar lelaki tampan sedang tersenyum seksi. Hah? Tunggu! sejak kapan wallpapernya berubah? Dan siapa ini? Bukankah ini bosku?

Apa maksudnya dia menyentuh handphoneku dan mengacak-acaknya sembarangan!! Lihat saja! Tunggu pembalasanku! Dasar bos tak tahu malu! Tapi, dia kok mirip Jonas pacarnya asmirandah ya kalo posenya lagi begitu. Hehe. Hush. Hapus pikiran ngawurmu itu!

Sheila, apa kau ada rencana nanti malam?

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal sedikit menggangguku.

Maaf, siapa? , balasku

Kau tak tahu? Pengirim bunga tadi pagi

Huh? Pak Arya? Sejak kapan dia tahu nomorku? Hah. Sebodo ah.

Oh. Pak Arya. Makasih bunganya. Nanti malam saya ikut meeting dengan Pak Rendra.

Haha. Jawaban cerdas.

Wah sayang sekali. padahal aku bermaksud mengajakmu ke tempat makan favoritku. Mungkin lain kali?

Bagus.

Iya pak. Mungkin lain kali.

Baiklah. Bagaimana kalau besok?

Sial dia memaksa. Dengan cepat kuketik balasan untuk Pak Arya

Jawabanya nan

“Rupanya ini yang kau lakukan. Pantas saja pekerjaanmu kacau.” Suara di pinggir telingaku sontak membuat bulu kudukku merinding. jari yang kugunakan untuk mengetik seketika terasa beku. Tubuhku kaku, menatap layar handphone tanpa berusaha menoleh. Jelas aku tahu suara itu. Dan wangi mint bercampur rokok yang dimilikinya tak bisa kulupakan.

“A..aku..” suaraku mencicit, berusaha agar tidak terpengaruh situasi yang bosku buat. Menutup aplikasi whatsapp secepat kilat. Sehingga wallpaper lelaki itu kulihat kembali. Sial. Bahkan wajahnya yang tersenyum di handphoneku kini terlihat bertanduk dan bertaring.

“Sudahlah. Ayo ikut.” Ucapnya menjauh dari tubuhku sambil mengencangkan dasinya dan membenarkan setelan jas yang dipakainya.

“Maaf?”

“Kau tak mendengarku? Bukankah kubilang tadi kita akan meeting?”

“Ah..iya pak.” Aku lemas. Tentu saja aku tahu. Itu hanya ekspresi kagetku karena karismanya. Siapa yang tidak kaget ketika dipergoki bosnya sedang main handphone di jam kerja? Huft. Untung dia tidak marah-marah seperti tadi. Oh iya laporan.

“Pak, laporan tadi..”

“Besok pagi serahkan padaku.”

Buseet. Dia kesambet jin kayaknya. Kejam. Padahal sekarang aku disuruh menemaninya dan entah sampai kapan selesainya. Artinya aku harus membawa pekerjaan ini sampai rumah? Hiks nasiib. Lelaki itu benar-benar punya kepribadian ganda. Bisa-bisanya.

Setelah menyaksikan dan menerima perilaku seenaknya bosku itu. aku pasrah mengikuti maunya. Memang pada dasarnya pemimpin itu diberi sifat egois dan seenaknya. Jadi sebagai bawahan yang baik hati dan takut dipecat karena nyari kerja itu susah. Aku hanya bisa menurutinya. Mengikuti kemana dia melangkah saat ini.

Dan di sinilah aku, duduk di sampingnya, sementara dia asik mengemudi. Menciptakan keheningan di antara kami tanpa bermaksud memecahnya walaupun hanya dengan sepatah suara.

Iringan musik alami dari hembusan nafas dan laju kendaraan seolah mengerti keadaanku. Mereka terdengar merdu sekali walau saat-saat tertentu bisa sangat menyebalkan.

Dan suara-suara inilah yang kuperhatikan sekarang, telingaku melebar, mendengar bunyi klakson sahut menyahut padahal mereka sudah tahu kalau lampu hijau baru dua detik menyala, sementara lima kendaraan di depan baru melaju sedikit. Sekilas kutatap wajah kaku bosku, dia masih tetap fokus mengemudi. Entah apa yang dipikirkannya.

Bahkan setelah sampai di lokasi meeting, kita masih melakukan aksi diam-diaman ini. Sebenarnya aku ingin mengajaknya bicara, tapi entah kenapa melihat wajahnya sedikit saja nyaliku langsung ciut. Apalagi tadi dia telah memarahiku cukup keras. Kupikir dia masih marah denganku. Aih.

Sekarang yang bisa kulakukan hanya memutar-mutar telunjuk di pahaku, kemudian mengaitkan jari-jariku hingga saling bertautan antara jari tangan kiri dan kanan. Hingga sebuah suara menyadarkanku.

“Maaf saya terlambat.” Ucap sebuah suara di sana. Aku mengangkat wajahku, kupikir dia adalah Tuan Ronald, pemilik perusahaan software yang sedang popular dengan pengembangan antivirus Arvast dan dipakai oleh beberapa perusahaan besar yang ada. Sudah bisa ditebak bukan? Wijaya Company akan menjalin kerja sama dengan perusahaan Ronald.

“Oke. Tak masalah. Kami juga belum lama di sini. Oh ya. ini sekretarisku..” Rendra menjabat tangan Ronald dengan raut wajah hangat, kemudian tersenyum kepadaku. Huh. Bisa-bisanya dia melihatku dengan tatapan seperti itu. Padahal tadi sepatah katapun tak terlontar dari mulutnya. Aku mendelik padanya, tanda protes dengan sikapnya yang berubah-ubah.

“Sheila Pak.” Aku menjabat tangannya sambil tersenyum.

“Hei, tidak usah seformal itu, panggil saja Ronald. Apa aku terlihat setua itu?” jawabnya sambil merengut lucu. Aku perhatikan wajahnya memang belum terlihat tua,mungkin sekitar 30an lebih, tak berbeda dengan bosku. Sekilas kulihat sosoknya, rambutnya sedikit cokelat di sisir ke belakang, tubuhnya lebih tinggi sekitar 3 cm dari bosku. Dia memakai kemeja hitam berlengan pendek dengan celana jeans. Aku pikir dia jenis orang yang santai. Aku suka gayanya.

“Baiklah.. um. Ronald?” ujarku ragu. Kemudian dia tersenyum, dengan bola mata hitamnya yang membuatku merasa hangat. Aku yang baru sadar bahwa telapak tangan kami belum berpisah berusaha melepaskannya dengan sopan. Namun seolah tak peduli dia malah semakin erat menjabat tanganku, mengangkatnya ke depan wajahnya, tatapannya tak lepas dariku.

“Senang berkenalan dengan wanita cantik sepertimu.” Katanya sambil mengecup punggung tanganku. Darahku berdesir menerima perlakuannya. Katakan ini norak, kampungan atau apapun itu. Melakukan hal memalukan begitu di tempat umum, dengan kecupan di tangan ala pangeran Eropa?

Tapi percayalah, kadang-kadang wanita senang dengan hal-hal klasik, dan yang paling utama adalah spontanitasnya. Aku yang kini tak peduli lagi lingkungan sekitar merasa melayang dengan perlakuannya. Bagiku, dia romantis dengan spontanitasnya. Kecupan itu terasa alami, tak dibuat-dibuat, dan sukses membuat jantungku hampir melompat. Tindakan mesra tak terduga adalah salah satu hal yang selalu sukses membuatku terpesona.

Well, inilah aku. Merasakan wajahku menghangat karena perilakunya. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Seseorang di sampingku tiba-tiba merangkul pundakku, meremasnya dengan sedikit kuat. Bosku kembali dengan wajah dinginnya. Aku lupa di sini ada bosku. Ronald melirik sekilas, namun tak ada perubahan yang berarti dari ekspresi wajahnya.

“Mari silakan duduk. Anda ingin memesan makanan?” Rendra memberikan ekspresi ramahnya seperti awal ketika bertemu Ronald, tapi reaksi tubuhnya padaku sangat kontras. Sialan. Dia pintar menyembunyikan emosi. Mataku dan Rendra bertemu pandang, aku sadar sesadar-sadarnya kalau saat ini tatapannya seolah berkata padaku ‘Jangan macam-macam’, membuatku meringis seketika.

Apalagi saat tangannya yang kini beralih menggenggam tangan kiriku, mengusap-usap pungung tangannya seolah terdapat kotoran di sana. Aku yang sadar akan hal itu berusaha melepaskan genggamannya namun dia malah semakin kuat. Huh. Dia menyebalkan.

Setelah beberapa lama, kekakuan yang sempat terjadi antara aku dan bosku akhirnya mencair. Digantikan dengan Pembicaraan bisnis antara Rendra dan Ronald setelah menyantap makan malam kami. Mereka membicarakan tentang keinginan Rendra memakai software yang diproduksi oleh perusahaan Ronald untuk keamanan perusahaan Wijaya Co. yang akhir-akhir ini sedang kurang baik.

Beberapa informasi perusahaan yang cukup penting sempat diketahui oleh perusahaan saingan. Menurut penyelidikan yang telah dilakukan, kebocoran info itu dikarenakan keamanan data mereka telah dibobol dengan cara yang tidak sehat melalui perangkat teknologi yang mereka punya. Hingga kepopuleran Software yang dimiliki Ronald sekarang menjerat hati Rendra untuk memakainya.

Semua itu berlangsung lancar sesekali Ronald menatapku di sela-sela pembicaraannya, dan aku hanya bisa tersenyum sambil sekali-sekali ikut dalam pembicaraan mereka. Hingga kantung kemihku tiba-tiba menjadi penuh. Aku yang tidak bisa menahannya segera meminta izin untuk pergi ke toilet, meninggalkan dua pejantan itu dengan bisnis mereka.




Setelah pertemuan itu, aku pulang dengan Rendra menuju apartementnya. Kebekuan itu kembali terjadi. Entah apa yang dipikirkannya. Yang kutahu sekarang adalah aku tanpa sadar memperhatikan sosoknya yang sedang mengemudi, tangannya yang memegang setir terlihat menggoda untukku.

Apalagi saat kuingat malam kemarin ketika tangan itu menelusuri setiap inchi tubuhku. Pundaknya, ingin sekali aku bersandar di sana. Pandanganku turun ke sekitar bawah perutnya. Membayangkan ereksinya yang luar biasa kemarin membuat pipiku menghangat.

Kalau sekarang aku sentuh, bosku marah tidak ya? hah.. tentu saja tidak. Dia pasti akan senang dan cengar-cengir mesum. Bahkan kalau saat ini dia mengajakku melakukan seks di dalam mobil sepertinya aku tidak akan menolak. Haa. Bodoh. Sepertinya aku terjerat pada pesona seks si mesum ini. Ckck. Tidak. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.

Hm. Tapi sepertinya itu bukan ide buruk. Mungkin itu bisa meremukkan kebekuan ini. Sungguh aku tidak suka mendapatinya tidak bicara sepatah katapun padaku.. aku yang sedari tadi melirik pangkal pahanya antara sadar dan tidak menjulurkan tanganku, berusaha meraih onggokan daging yang meringkuk tertidur dibalik celana hitam bosku.

Hap. Tak sampai dua detik aku menangkapnya, dia benar-benar sedang tertidur lelap. Sedetik kemudian kaki bosku bergerak, mobilnya sedikit berbelok tak fokus. Matanya terbelalak menatapku.

“Hei.. kau..astaga.. aku sedang menyetir..” ucapnya terpatah-patah. Perlahan tapi pasti, onggokan daging yang meringkuk itu kini menggeliat sedikit demi sedikit ketika kumainkan, Rendra menarik nafasnya dalam. artseks.com

“Sheila..hentikan.. nanti dia bangun..akh..”

“Dia sudah bangun.” Ucapku sambil mengelus-elus bagian luar celana bosku.

“Aku tahu.. tapi..akh.. ini jalan raya..nanti saja..astagahhh…” aku tak menggubris. Siapa suruh dari tadi mengabaikanku. Huh. Rasakan pembalasanku. Tapi Rendra yang tampan itu memang selalu bisa mengendalikan situasi. Dia menangkap tangan nakalku, menyingkarkannya dengan sopan.

“Nanti sayang..” sekali lagi, kalimat sayang itu meluncur dari mulutnya. Membuat jiwaku melayang jauh sekali.
Aku cemberut, menggigit bibirku kesal.

“Gadis nakal, aku janji kau bisa memainkannya sepuasmu saat kita sampai nanti.” Dia tertawa pelan sambil mengusap kepalaku. Aku tahu dia menertawakanku. Sial. Padahal aku sudah melawan gengsiku untuk dapat menyentuh mainan lezatku itu. Tapi dia seenaknya menolak dan menyingkirkan tanganku!!

“Aku tidak mau!! Memangnya siapa yang mau nanti? Aku mau sekarang!” cibirku emosi. Astaga. Sejak kapan aku jadi wanita tak tahu malu begini??

“Haha. Iya nanti ya sayang.” Rendra terbahak puas. Sialan.

Dia malah menertawakanku sepanjang jalan. Bahkan di lift pun dia sempat-sempatnya memegang perut menahan tawa. Tak mempedulikan lirikan aneh orang-orang penghuni apartement yang bersamaan menaiki lift. Aku kesal Tuhan. Dia iblis menyebalkan. Dengan menghentakkan kaki aku menuju pintu apartementnya dan masuk dengan wajah merengut kusut. Masuk ke kamar Rendra dan mengunci pintunya. Sekilas aku melihatnya terbelalak.

“Hei.. kenapa kau menguncinya?” teriaknya dari luar. Rasakan. Tak kupedulikan dia yang sibuk mengetuk-ngetuk pintu kamarnya sendiri.

Aku menyeringai puas sebelum kemudian dahiku berkerut saat mencari pakaian ganti untuk kupakai malam ini. Koperku telah kosong. Tak ada barang apapun di dalamnya. Digantikan dengan peralatan kosmetik di meja rias yang tertata rapi, saling bersebelahan dengan milik Rendra.

Tak sampai di situ peralatan mandiku juga bernasib sama. Hingga tempat terakhir yang kuperiksa adalah lemari Rendra. Dengan ragu aku membukanya, dan aku harus melongo melihat baju-bajuku yang sudah berderet indah di sana, sejak kapan dia melakukan ini? Tapi tunggu.. ada beberapa pakaian yang aku tak tahu. Jelas ini bukan milikku.

Kucoba menyentuh beberapa pakaian berwarna warni yang menarik penglihatanku. Menariknya dan mendapati beberapa pakaian aneh ini. Pakaian suster? Baju berenda dan berjumbai-jumbai? Pakaian hitam mini dengan topi kelinci? Lingerie? Apa ini milik wanita-wanita yang sempat berhubungan dengan Rendra?

Penasaran dengan kostum-kostum aneh itu aku membuka pintu kamar, melihat pemandangan indah di sana. Rendra dengan boxernya. Sayang aku tidak bisa bersiul.

“Sayang..kenapa dikunci?” ucapnya sambil mendekat padaku, tangannya terentang dari jauh. Aku tahu maksudnya.

“Stop!” tegasku sebelum dia melakukan hal lebih jauh. Dan sebuah pelukan adalah hal yang kupikir akan membuatku berlaku lebih jauh lagi.

“Why??” ucapnya tak rela.

“Kenapa barang-barangku dikeluarkan seenaknya?” aku berkacak pinggang, meminta penjelasan darinya.

“Tadi pembantuku datang. Aku yang menyuruhnya. Dia kesini seminggu sekali.” sahutnya ringan sambil mengangkat bahunya.

“Lalu..baju-baju aneh itu milik siapa?” kejarku masih dengan kepenasarananku.

“Baju aneh?”

Aku mendengus.

“Tentu saja. Baju itu. baju suster dan baju berjumbai-jumbai dan baju seksi yang jelas bukan milikku!”

Dia terdiam kemudian menghela nafas.

“Oh.. itu.”

“Apanya? Dia milik wanitamu?” tanyaku tak sabar.

“Wow. Melihatmu cemburu membuatku gemas sayang.” Kedua tangannya mencubit pipiku gemas. Dia positif selalu membuat emosiku naik turun seketika.

“Kalau milik wanitamu keluarkan! Pakaian itu membuatku mual!” aku tak tahu kenapa tak ada penolakan dariku ketika dia mengatakan hal tentang “cemburu”. Ah sudahlah.

“Hei.. tenanglah. Itu untukmu.”

Aku berpikir. “Untukku?”

“Iya. Besok libur kau harus pakai. Yang putih ya.. pakaian suster.”

“Apa?” aku masih tak mengerti dengan ucapannya.

“Besok kita main dokter-dokteran.”

“APAAA?????”

Apa dia bilang? Do dok..dokter-dokteran? Mulai detik ini. Aku benar-benar sadar. Sesadar-sadarnya. Kalau lelaki seksi di hadapanku ini positif menderita kejiwaan akut. Ini mengerikan. Ternyata dia sakit jiwa!

Lanjut ke halaman berikutnya...



MY BOSS PART 7

Sheila POV

Pagi ini aku disibukkan dengan beberapa pekerjaan rumah tangga di rumah seseorang yang dikenal sebagai Bosku di kantor. Setelah pembicaraan yang tidak masuk akal semalam, aku memutuskan membersihkan apartementnya dan juga memasak.

Meski Rendra melarangku bukan berarti aku adalah orang yang tidak tahu balas budi. Aku berpikir ucapan terima kasih dan hubungan seks semalam saja tidak cukup. Diijinkan untuk tinggal bersamanya dalam beberapa waktu sebelum aku mendapat tempat tinggal yang baru adalah hal yang patut aku syukuri.

Lagipula semalam dia rela tidur di sofa demi memenuhi permintaanku agar tidak satu tempat tidur dengannya. Yah, sulit dipercaya bahwa aku masih berusaha memegang teguh prinsipku walaupun aku sempat tergoda untuk memainkan kejantanannya saat di mobil. untunglah itu terjadi.

Dan untuk itulah aku dengan senang hati berusaha merawat tempat bosku sebaik mungkin. Memasak beberapa menu sarapan menurutku tidak terlalu merepotkan. Lagipula bosku tak pernah protes dengan masakan yang kumasak beberapa kali ini. Menurutku dia menyukainya, melihat dia selalu menghabiskan makanan yang kubuat.

Sekitar pukul sepuluh pagi aku baru selesai dengan pekerjaanku. Cukup memuaskan melihatnya. Kulihat Rendra sedang asik mengganti tayangan di channel televisi dengan remote di tangannya. Hm harus kuakui, dia benar-benar tak pernah kehilangan pesonanya walau sedetik pun. Aku mendekatinya, menuju sofat cokelat yang dia duduki, kemudian menjatuhkan bokongku di sana.

“Kau sudah selesai?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan tv.

“Yah, begitulah,” jawabku sambil menyandarkan kepalaku ke belakang agar menyentuh sofa.

“Baiklah, aku ingin kau membaca ini,” dia menyerahkan sebuah lembaran kertas berisi tulisan entah apa. Aku menggigit bibir, mengambilnya dari tangan Rendra. Membuka lembaran kertas itu, membacanya kata demi kata. Kalimat demi kalimat yang kemudian membuat mulutku terbuka dan mengalihkan tatapanku kepada Rendra.

“Apa ini? Kau membuat cerita? Ingin jadi penulis?” aku menanggapi tulisan itu dengan heran dan penuh tanya. Namun sedikit berusaha mengendalikan emosiku agar tidak terlihat olehnya.

“Tidak. Bukan itu. hm tadi malam kita sudah membicarakannya bukan? Kita main dokter-dokteran,” ucapnya datar, menunjukkan poker face andalannya.

Astaga. Dia gila. Bahkan bosku itu sudah membuat skenario ceritanya !

“Kau gila! Apa-apaan ini?? Dokter dan Perawat? Perawatnya sakit lalu minta diperiksa? Berakhir dengan hubungan seks?? Memangnya kita pemain film porno?? Dan bukankah kau sudah berjanji hanya sekali seks???? Tidak tidak tidak ..Aku tidak mau! Jangan harap!”

aku melontarkan beberapa pertanyaan dan penolakan sekaligus dalam satu nafas kemudian berakhir dengan menggelengkan kepalaku tanda tak setuju. Aku tak menyangka dia serius dengan kata-katanya tadi malam. Aku tak pernah berpikir kalau ternyata lelaki itu punya fantasi seks menjijikan. Ini sulit dipercaya.

“Hm jadi kau menolak?” ucap dia sambil mengangkat alisnya.

“Tentu saja! Kau sudah berjanji kalau..”

“Oke, oke aku tahu. Tapi bagaimana dengan ini?” Rendra mengambil satu map biru yang tergeletak di meja lalu memberikannya padaku.

“Apa ini?”

“Buka saja,” ujarnya ringan. Aku pun membukanya. Sekali lagi, Rendra memberikan sesuatu yang membuatku terbelalak. Foto-fotoku yang sepertinya diambil tadi pagi setelah seks dengannya. Dengan pose-pose yang akan membuat lelaki orgasme seketika saat melihatnya.

Aku tahu maksudnya. Semua tebakan yang terlintas di otakku tepat adanya. Lelaki gila itu membuatku tak bisa menolak dengan ancamannya itu. Rendra menawarkan kesepakatan yang membuatku rugi apabila menerima ataupun menolaknya.

Menerimanya memperlakukanku sesuka hati dengan melakukan semua fantasi seks nista itu atau menolak dan membiarkan dia menyebarkan tubuh indahku yang polos. Oh. Ini mengerikan. Aku memijit pelipisku. Kepalaku serasa penuh saat ini.

Aku tak pernah tahu kalau selama ini aku sudah masuk ke dalam perangkap singa gila yang kelaparan. Haah. Helaan nafasku terasa berat kali ini. Lebih berat daripada saat aku diusir ibu kontrakanku beberapa hari lalu.







“Apa kau sakit?” kata Rendra dengan suara beratnya.

“Ah tidak dokter.. aku.. aku..”

“Kalau kau sakit aku akan..”

“Tidak usah dokter aku baik-baik saja,” Aku berusaha menolak Rendra dengan halus, intonasinya datar. Membuat Rendra sedikit menggeram.

“STOP! Kau tidak mendengarkan ucapanku dari tadi ya? maaaana ekspresimuuuu??” protesnya. Persis seperti salah satu iklan di tv yang pernah kulihat.

Hahh. Dikiranya ini apa? Aku tak menyangka dia seserius itu mendalami perannya menjadi seorang dokter. Bahkan bila dia beralih profesi menjadi dokter, kupikir dia akan sangat pantas menjalaninya.

Lihat saja tatapan matanya, intonasinya saat berbicara, dan darimana dia dapat kacamata ala dokter itu? aku benar-benar tak habis pikir dengan kegilaannya yang satu ini. Kostum-kostum rumah sakit, ruang kerja yang entah kapan disulap menjadi ruang praktek dokter, ranjang sempit dengan sprei putih untuk orang sakit, meja putih dengan stetoskop yang tergeletak di atasnya, bau obat-obatan, oh dan tirai putih besar yang bergantung hampir menyentuh atap sampai sepuluh centi di atas lantai, perfect.

Hm pantas saja aku tidak diperbolehkan masuk ke sini sejak tadi pagi. Dan siapa manusia yang dengan senang hati mendekor ulang kamar ini menjadi seperti ini? Aku pikir dia sama gilanya dengan bosku.

Yah, di sinilah aku. Sedang mengucapkan beberapa dialog yang akan kami lontarkan saat permainan peran itu berlanjut. Sedikit berdiskusi untuk persiapan permainan agar lebih lancar dalam bermain.

“Ini gila! Memalukan!” teriakku saat membaca adegan yang mengharuskan aku bersikap seperti suster penggoda yang bodoh.

“Mana mungkin aku bersikap sebodoh ini??? Kau gila!!! Aku tidak mau! AKU TIDAK MAU!” sudah ribuan kali kulontarkan pernyataan penolakanku padanya. Namun dia tak mengacuhkanku. Menyebalkan. Dan isi ceritanya benar-benar.. ough.. ini cerita seronok yang sering ada di film-film dewasa. Ini super duper bodoh. Astaga.

“Berhentilah menyebutku gila. Atau tubuhmu dengan pose gilamu itu akan tersebar kurang dari 24 jam.” Ancamnya sambil menyeringai. That smirk make me..oh tidak tidak. Aku mengerti. Dia benar-benar makhluk yang sulit dilawan. Sekarang aku sudah benar-benar dalam kuasanya. Ini gila. Sialan.

Aku menurut, mencoba sebisa mungkin menjelma menjadi suster bodoh di hadapannya. Kami pun melakukan persiapan terakhir kami. Berganti kostum dan mulai memainkan permainan bodoh itu.




3rd POV
Tiga puluh menit kemudian

Lelaki berbalut jas putih di ruang praktek “imitasi” itu tampak gugup dalam posisi duduknya, tangannya memutar-mutar bolpoin yang tertempel di sela jarinya. Sesekali dia mengusap kepalanya ke belakang kemudian mengetukkan jarinya beberapa kali pada meja di depannya.

Wajahnya tegang, namun tetap berusaha tenang. Pikirannya melayang pada sosok gadis yang kini sering mengisi harinya. Tinggal beberapa langkah lagi dia bisa memiliki gadis itu seutuhnya. Hati dan tubuhnya. Tak dapat dipungkiri bahwa pesona Sheila sangat jelas dirasakan oleh para lelaki di sekitarnya.

Bahkan Belum sebulan dia bekerja, para lelaki itu sudah terang-terangan merayunya. Rekan bisnisnya Ronald pun tampak memancarkan aura persaingan ketika melihat Sheila.

Ck, Rendra merasa menyesal mengajak gadis itu dan membiarkannya bertemu Ronald. Tapi untunglah gadis itu bukan tipe wanita penggoda yang menggunakan pesona dan tubuhnya kepada para lelaki di sekitarnya. Walaupun dia mengakui bahwa rasa cemburu sempat tinggal di hatinya saat melihat tatapan terpesona Sheila pada Ronald kala itu.

Rasa posesif terpatri kuat di dadanya. Dia tak akan pernah membiarkan gadisnya dekat dengan pria lain. Biar saja para lelaki itu mendamba sampai mati pada Sheila, namun hanya dia yang bisa menikmati cinta dari wanita itu.

Rendra tersenyum bangga dengan apa yang baru saja muncul di pikirannya, hingga sebuah ketukan pintu menyadarkannya, lelaki itu pun menoleh, “Masuk”, ujarnya kepada seseorang yang menampakkan kepalanya di balik pintu.

Sebuah kepala dengan topi putih muncul bersama badannya dengan ragu. Sejenak membuat lelaki bernama Rendra itu terpana. Matanya membulat, menatap sosok berbaju putih yang kini sedang menggaruk leher putihnya, tak lama kemudian dia menurunkan tangannya dan menautkan keduanya.

Kain putih itu tampak tertarik di bagian payudaranya yang kencang. Tampak sekali kalau gadis itu memakai baju yang lebih kecil dari ukuran tubuh dia yang sebenarnya. Tidak menyangka bahwa gadisnya akan sangat cocok memakai pakaian ala suster yang dia siapkan. Rendra benar-benar senang bahwa fantasi seksualnya akan terwujud sempurna dengan adanya Sheila.

Tumpukan hasrat menyeruak di dada Rendra. Ingin sekali ia melahap sosok di hadapannya itu. Namun otaknya menyuruhnya untuk tetap diam. Dia ingin permainan itu berjalan sempurna seperti rencananya. Matanya turun ke bawah, melihat sebuah kaki jenjang nan mulus yang menyilang tak tenang, tangan Sheila menarik-narik ujung baju putih yang dipakainya yang dia rasa terlalu pendek.

Sedikit saja terangkat maka semua yang tersembunyi itu akan terlihat dengan indahnya. Rendra tersenyum senang dengan pikirannya. Tangannya sangat gatal untuk menarik kain putih itu ke atas.

“Do.. dokter,” kata Sheila dengan ragu. Kini tangan kirinya dia kepalkan ringan dan ditempatkan di depan dadanya. Wajahnya merah karena malu.

“Iya say.. ehem maksudku.. suster?” Rendra terhempas kembali ke bumi saat lamunan menguasai jiwanya sejenak. Dia kembali sadar dengan apa yang harus dia lakukan. Berjalan dia memutari meja di hadapannya kemudian mendekati gadis itu dengan jarak yang amat dekat. Membiarkan tangannya mengelus pipi kenyal Sheila dan menangkupnya.

“Sepertinya kau sakit, mukamu merah sekali..” ucapnya sok perhatian dalam rangka mengawali permainan mesum itu.

“Ah.. aku..aku tak apa, hanya sedikit lelah dok..” jawab Sheila yang terlihat mulai terbawa arus permainan itu.

“Hm.. benarkah? Sepertinya aku harus cek kondisimu suster..” bujuknya. Membuat Sheila menggeleng pelan berusaha menolak.

“Aku harus pulang..” Sheila mendorong dada “dokter palsu” itu kemudian berusaha pergi melangkah keluar. Sampai sebuah tangan menghentikan pergerakannya. Mata Rendra menyala dengan gairah, namun masih terkendali. Dia lalu membawa tubuh mungil itu ke tempat tidur bersprei putih yang tersedia di ruangan itu.

“Berbaringlah..” Rendra mulai memasangkan stetoskop yang sedari tadi tergantung di lehernya dengan benar.

“Aku tak mau bila susterku sakit..” lanjutnya dengan nafas sedikit tertahan. Sheila mengangguk dan membaringkan tubuhnya di kasur yang hanya cukup untuk tidur satu orang itu. Rendra menelan ludah memandangi sosok seksi yang memabukkan itu, celananya semakin sempit saja. Apalagi melihat paha mulus dengan kain putih yang sedikit tersingkap itu.

“Bisakah..bisakah kau buka bajumu? Ah. . maksudku..kancingnya, aku ingin memeriksa detak jantungmu..” Suara Rendra bergetar, gairahnya semakin naik saat berucap. Apalagi saat Sheila membuka dua kancing bajunya yang berada di dada kirinya. Dia membuka bagian atas baju yang sudah tak terkancing itu.

Menampakan kain hitam berenda yang membungkus bukit kembarnya yang membentuk garis pemisah di bagian tengah bukit itu. Sheila sedikit menggerakkan badannya, membuat posisi setengah duduk yang menjadikan bulatan itu berguncang.

Tubuh Rendra semakin kaku, saat tangannya terarah ke dada itu, dia sedikit bergetar.

“Aku..akan memeriksanya..” katanya menekankan kepada dirinya sendiri agar tak berbuat lebih jauh. Sheila mengangguk walaupun jantungnya berdebar kencang. Tak dapat dipungkiri kalau sekarang dia sudah terbawa ke dalam permainan yang diciptakan Rendra.

Melihat tatapan Rendra yang sangat mendamba memberi kenikmatan tersendiri untuknya. Sungguh, wajah mesumnya terlihat sangat seksi saat ini. Apalagi dalam balutan pakaian dokter dengan kacamata yang dipakainya. Saat ini tubuhnya ingin sekali di sentuh oleh tangan yang sedang memegang stetoskop itu. artseks.com

Akhirnya stetoskop itu menempel di dadanya, sedikit di tekan dan mengalirkan sensasi dingin di kulit Sheila, membuatnya sedikit mendesah.

Rendra yang tidak berniat sedikit pun memeriksa gadis itu sangat senang dengan reaksi yang ditunjukan Sheila, hingga dia mengarahkan stetoskopnya ke beberapa daerah payudara Sheila, yang bila dia tak dapat mengendalikan diri, dia akan meraupnya saat ini juga.

Namun dia juga tampak senang melihat dada Sheila yang tertekan-tekan oleh stetoskop itu. Sheila mulai terengah dengan sensasi erotis yang ditimbulkan stetoskop itu, dia tidak menyangka benda itu akan memberikan kenikmatan yang berbeda dengan tangan lelaki, walaupun keduanya sama-sama nikmat.

“Do..dokter..hhh.. periksanya di sebelah sini..” ucap Sheila sambil menunjuk jantungnya. Membenarkan perilaku dokter jadi-jadian itu yang tak memeriksanya dengan benar.

“Ah..di sini?” kata Rendra dengan suara serak menahan gairah menekankan stetoskop ke arah yang berbeda dengan yang ditunjuk Sheila.

“Bukan..di..sini..dok” jawab gadis itu meraih tangan Rendra dan mengarahkannya dengan benar. Rendra merasakan jantung gadis itu berdegup dengan sangat kencang, mungkin bila diperiksa degup jantungnya juga akan sama saja. Mengingat kondisi mereka yang sedang dilingkupi gairah seksualitas di ruangan itu. Sheila berbicara kembali dengan sedikit berbisik,

“Se..sepertinya nafasku sesak dok..hhh” dia sedikit melenguh di sela suaranya.

“Apa?” Tanya dokter itu sok polos.

“Se..sak”

Rendra menggaruk tengkuknya kemudian menyeringai.

“Hm.. sepertinya harus kuberikan CPR” pernyataan itu dibarengi dengan tindakan menangkup payudara Sheila dengan kedua tangannya.

“Aku harus menekan dadamu dulu,” kalimat dokter mesum itu benar-benar asal dan seenaknya. Sheila tahu itu. Mana mungkin CPR yang sesungguhnya akan seperti ini. Ini sih bukan menekan tapi meremas, pikir Sheila namun menikmatinya.

“Apakah…masih sesak?”

Sheila mengangguk, dia mengakui dalam hati kalau dia masih ingin disentuh tangan nakal itu. Dia semakin terengah merasakan pijatan di payudaranya, terasa pelan namun membuatnya melayang.

“Kenapa ..jadi semakin sesak dok..hhh?” tentu saja, itu karena nafsu mereka berdua semakin naik. Rendra yang melihat itu pun semakin merasakan nafasnya yang memburu, dia membuka kaitan bra hitam itu yang sungguh beruntung berada di depan.

Dua benda bulat itu menyembul sempurna dengan ujung yang mengeras. Tak tahan dengan pemandangan itu dia mengulumnya rakus seperti akan melahap habis benda itu.

“hmphmpmpmphhh…” gumamnya di tengah kuluman itu. Sheila menggeliat-geliat merespon tindakan Rendra.

“Akhh.. apa yang kau lakukan dokter?”

“Tentu saja memeriksamu sayang..” lalu dilanjutkan kembali aksinya. Menggerayangi tubuh yang sejak tadi menggodanya itu. Tangannya bergerilya ke sana kemari hingga sampai pada daerah kewanitaan Sheila, Rendra mengelus celana dalam itu dan menyelipkan jarinya ke dalam, lalu memainkannya. Sheila menjerit,

“Aaaakhh….hmphhphpmpmpmp,” namun jeritan itu tertahan saat mulut mereka beradu. Rendra menerobos mulut itu dengan lidahnya, menyatukan aroma mintnya dengan aroma cake strawberry dari mulut Sheila,

“Kau habis makan kue?” rasa penasaran membuat Rendra berintermezzo sejenak. “Sedikit..” jawab gadis itu kemudian pergumulan itu terjadi kembali. Kewanitaan yang serasa di aduk itu membuat Sheila kehilangan pikirannya.

Dia mendesah nikmat, French kiss yang hebat itu membuatnya terbang hingga dia menggelinjang hebat beberapa detik. Rendra telah membuatnya mengalami puncak nafsu untuk pertama kalinya saat pergumulan itu. Rendra tersenyum senang kemudian mengecup pipi wanita itu dengan penuh kasih.

Dilanjutkan dengan kecupan lainnya di sekitar mata, dan bibir, kemudian berakhir di leher yang menimbulkan bekas merah sebelum kemudian dia tersenyum bangga dengan hasil karyanya.

“Sepertinya kau perlu disuntik suster.” Rendra berbicara memecah keheningan kecil yang baru saja tercipta.

“Apa?”

Mereka terdiam sejenak, kemudian bangun dan duduk saling berhadapan.

“Aku akan menyuntikmu suster.. agar kau sembuh..” lontaran kalimat itu terasa seksi diucapkan walaupun saat mengatakan kata “menyuntik” Rendra terlihat begitu mesum bagi Sheila.

“A..aku tidak suka disuntik dok.. aku biasanya menyuntik..” ujar Sheila setengah menolak dengan kondisi tubuhnya yang sudah tak rapi itu, kancing baju terbuka, payudara yang menyembul dan bra yang belum terlepas sepenuhnya walaupun kaitannya sudah terbuka. Kemudian celana dalamnya yang menonjol dengan baju putih yang terlipat ke atas. Gairah Rendra masih menggebu kala itu.

“Harus..suster..dan ..aku akan memberikan suntikan yang berbeda untukmu. Ini spesial,” suara paraunya nampak sekali tampak tersiksa. Memerlukan pelepasan.

“Tapi.. aku..”

“Sssstt… sudah kubilang ini spesial.. tapi ..” ucapnya tertahan.

“Tapi kau harus membantuku mensterilkannya dulu, kau mau?” saat dia selesai mengatakan itu dia membuka celananya, menurunkannya ke bawah, membuat kejantanannya muncul dengan angkuh kala itu. Sheila terbelalak sekaligus kagum. Kewanitaannya berkedut kembali, menginginkan tongkat itu masuk ke dalamnya dan memenuhinya.

Tanpa aba-aba dia meraihnya, membungkuk dan memasukkannya ke dalam mulut Sheila. Rendra terkesiap dan menggeram merasakan mulut Sheila menghisapnya seolah menelan, membuatnya basah. Dia mengusap kepala Sheila perlahan, matanya tertutup dan terbuka dengan cepat, kemudian memajukan pinggulnya agar mendapat akses lebih dalam di mulut Sheila. Hingga Sheila melepasnya.

“Argh..” desah Rendra. Sheila menciumi bagian kejantanannya itu sedikit demi sedikit. Memijit bolanya, mengelusnya kemudian dipermainkannya dengan lidahnya. Hingga dia kembali mengemut “batang” itu dengan lahapnya.

Sampai akhirnya Sheila mengakhiri kegiatannya. Dengan wajah yang merah, dan bibir yang sedikit bengkak, tak sabar dia membuka celana dalamnya dengan sekali sentakan dan melemparnya sembarangan, Rendra terbelalak dibuatnya. Secepat kilat dia merengkuh leher Rendra kemudian melumat bibirnya dengan ganas.

Membuat lelaki itu sedikit kewalahan. Sheila mengangkanginya dan menggerakan pinggulnya mengusapkan milik mereka yang sudah tak terhalan apapun. Memberi isyarat pada Rendra kalau dia sudah siap untuk dimasuki. Namun respon Rendra ternyata berbeda dengan yang diharapkan wanita itu. Dia malah menjauhkan tubuh Sheila agar tak semakin menempel.

“Whoaaa. .. sabar cantik.. pensterilannya belum selesai..” tapi Sheila seolah tak mendengar, dia semakin kencang memeluk leher Rendra.

“Masuki aku..masuki..masuki sekarang..hhh..” lalu dia mencium sudut bibir Rendra, dan membuat Rendra lupa berpikir sejenak.

Sheila yang menyadari itu menggerakan pinggulnya kembali, tapi sekali lagi ditahan oleh lelaki itu.

“Sudah kubilang.. pensterilannya belum selesai sayang..” Rendra terkekeh melihat kelakuan Sheila yang begitu bergairah. Kini posisi tubuhnya hampir menindih Sheila. Mempermainkannya sedikit sepertinya menyenangkan. Dalam hati dia ingin sedikit lebih lama melihat wajah Sheila yang kelihatan “tak tahan” itu.

“Masuki aku..hhh… atau tidak sama sekali..?” Sheila mengucapkan perintah itu dengan nada ancaman yang terpatah karena tercampur hasrat. Dan Rendra yang mendengarnya semakin menyeringai dibuatnya.

“Hm.. kalau aku tak mau?” ucapnya. Walau dia sesungguhnya sangat bernafsu, namun dia ingin menahannya lebih lama lagi. Sedikit ditahan agar dia mendapatkan nikmat yang lebih nantinya.

Tapi rencana tinggal rencana, Sheila yang melihat reaksi Rendra menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Dia tampak merengut kesal. Kemudian memejamkan matanya dan menarik nafasnya lagi. Lalu mulutnya terbuka…

“Kau… BODOH!!!!!!” teriakan dari mulut Sheila itu membuat telinga Rendra sedikit berdenging, tidak menyangka bahwa susternya akan bereaksi seperti itu. Kemudian perut Rendra ditendang oleh lutut Sheila dengan sekuat tenaga. Hingga dia terjatuh.

“Bodoh! Aku tidak mau bermain lagi!” ucap Sheila sambil mencebik meninggalkan ruangan itu dengan pakaian acak-acakan yang melekat di tubuhnya. Rendra melongo sambil memegangi perutnya.

“Shit..shit..shit..” umpatnya tak suka. Sedetik kemudian dia menunduk, memperhatikan suntikannya yang sudah melemas tak berdaya saking kagetnya. Ada rasa sesal di hatinya karena mungkin dia sedikit keterlaluan mempermainkan Sheila.

“Maafkan aku jagoan! Aku janji akan memuaskanmu !” hiburnya kepada senjatanya itu. Namun lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri. Dengan lesu dia beranjak, menyusul gadisnya. Berharap gadis itu mau melanjutkan permainan mereka yang sempat tertunda. Rendra mendesah dan berjalan dengan gontai.




Lanjut ke halaman berikutnya...



My Bos Chapter 8
Sheila POV

Setelah kejadian dokter-dokteran bodoh itu aku mengurung diri di kamar sampai pagi, tak kupedulikan ketukan di pintu kamar dengan suara Rendra yang terus menyuruhku membukanya. Aku sangat kesal saat itu, hingga malam aku mendiamkannya dan memilih untuk tidak menghiraukan dia.

Siapa yang tidak kesal dengan permainannya yang keterlaluan itu, padahal nafsuku sudah di ujung tanduk tapi dia malah tersenyum mengejek dan malah mengabaikan permohonanku. Padahal aku sudah merendahkan diri untuk memohon padanya. Huh. Lelaki itu memang bodoh dan menyebalkan.

Besoknya aku masih tetap dengan aksi diamku, memilih untuk mengunjungi tempat Ami yang katanya sudah menemukan tempat tinggal untuk kutempati. Lebih cepat lebih baik kukira, karena dengan begitu aku bisa lepas dari kekangan Rendra bosku yang arogan.

Setidaknya pulang bekerja aku tak akan melihat wajahnya.

Sekarang aku sedang berdiri di depan apartement Ami, yah dia memang tinggal dengan pacarnya, tapi dia bilang hari ini pacarnya sedang tidak ada di sana, entahlah aku tak menanyakan lebih lanjut.

Kuketuk pintu apartementnya, “Ami…” panggilku setengah berteriak namun tak ada jawaban, bahkan saat menekan bel pun tak ada tanda bahwa ada orang di dalam. Apa mungkin wanita itu pergi? Tapi kan dia sudah janji padaku. Dengan pelan kucoba membuka pintunya dan.. wow, ternyata tidak dikunci. Ceroboh. Aku sedikit mengintip ke dalam, terlihat sepi rupanya.

Dengan handphone di tangan yang terus menerus mencoba menghubunginya aku melangkahkan kakiku untuk masuk, mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini sebelum kemudian telingaku menangkap suara-suara aneh dari dalam kamar.

“Ahh..uhhh.ahh..”

Tunggu, apa itu suara desahan? Biasanya pada saat seperti ini rasa ingin tahuku muncul seketika, suara yang kuyakin berada di balik pintu kamar beberapa meter di depanku ini sangat menggoda rasa penasaranku. Dengan pelan aku melangkah, mendekati pintu itu dan menempelkan telingaku di sana.

“Sayang.. ayo cepat.. ah ..ah..”

Ya ampun apa yang mereka lakukan? Apa itu Ami? Apa mereka sedang melakukan seks? Beberapa pertanyaan berkelebat di benakku.

“Masukan sekarang babe..yeah.. ukh.. akhh..” suara Ami sungguh seksi, hm apakah suara perempuan yang mendesah memang ditakdirkan untuk seksi? Dan sial. Aku jadi teringat kejadian kemarin. Bahkan Ami mengatakan sekali saja lelakinya sudah mengerti dan melakukannya dengan sukarela. Apa yang terjadi kemarin sangat merusak moodku. Lelaki bodoh itu.

“Ohh…kenapa suka sekali dengan payudaraku babe.. dari tadi kau memainkan yang itu saja..ahh ahh..” ucap suara yang kukira itu adalah Ami. Wow, jadi sekarang adegan hisap-menghisap ya?

“Hmpphh.. aku sedang dalam masa pertumbuhan babe… tentu saja butuh susu…lagipula.. kau suka kan??hahaha… Hmmpppphh,” jawab lelaki di sana, lalu terdengar suara cekikikan dari wanita itu sebelum kembali mengerang dan mendesah. Apa dia bilang? Masa pertumbuhan?? Jawaban apa itu? Bodoh sekali.

Tapi.. apa Rendra juga berpikir hal yang sama tentang payudaraku yah? Hmm.. payudaraku tak kecil, tapi kalo dibilang besar sih tidak terlalu besar juga, hanya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya, sedikit saja, dia suka payudaraku tidak ya? Apa dia suka yang besar? Seperti Julia perez misalnya… dan.. arghh.. kenapa aku jadi memikirkan lelaki itu? Hush hush.. pergi kau dari otakku.

“Aku keluar sayang.. .hah hah hah..” wow pria itu kuat juga, dia kelihatan sangat puas sekali. Sepertinya aku harus segera berbenah agar tidak ketahuan sedang menguping, maksudku .. tidak sengaja menguping.

“Babe.. tadi sepertinya ada tamu..”

“Ah.. Sheila meneleponku! Dia janji mau datang hari ini!” jeritan Ami membuatku sedikit berlari menjauhi kamar itu.

Aku yang tidak mau disangka yang tidak-tidak oleh mereka segera berbenah dan pura-pura duduk santai di sofa sambil membuka majalah yang tergeletak secara terbuka di meja. Dengan menopang kaki kanan di atas kaki kiriku aku membolak-balik halamannya.

“Sheila… kamu disini? Sejak kapan??” Ami yang tidak lama kemudian keluar dari kamar segera menghampiriku memelukku.

“Hm.. sepertinya kau sangat menikmati permainanmu, sampai-sampai tidak menjawab teleponku dan mengabaikanku di depan pintu tanpa membukanya, dan maaf kalau aku tidak sopan. Pintunya tidak terkunci,” paparku menjelaskan kenapa aku di sini.

“Ow.. um.. jadi.. kau tahu? Kau mendengarnya? Haha.. kukira suara kami benar-benar keras ya..oh iya pacarku sedang tidur setelah kegiatan kami, dia tidak jadi pergi dengan hari ini,” ungkit Ami yang malah terkikik geli. Bukannya malu. Dasar gadis itu.

“Oke, aku tidak akan membicarakan pacarmu dan apa yang kau kerjakan tadi, tapi ini tentang tempat tinggalku,”

“Ah, benar sekali. Maafkan aku, baiklah sebenarnya itu milik sepupuku, tapi dia sudah menikah sekarang dan punya rumah baru, jadi dia berniat untuk menyewakan apartement miliknya. Yah, daripada tidak ada yang merawatnya.”

“Um.. apa mahal?” ragu aku menanyakannya karena jujur saja keuanganku sudah sulit. Aku butuh semua hal yang murah sekarang.

“Haha. Tenang saja, sepupuku sangat kaya jadi dia tak mempermasalahkannya sama sekali, malah dia memberikannya padaku untuk kutempati dan kurawat, jadi kupikir lebih baik kusewakan padamu. Kau boleh membayarnya kapanpun dan berapapun.” Jawabannya melegakan hatiku. Dia mengedipkan matanya sambil tersenyum.

“Benarkah? Terima kasih Ami..” aku memekik senang. Permasalahanku satu persatu harus terselesaikan.

“Besok sepulang kerja kita kesana oke? Malam ini aku janji mau menemani pacarku ke pesta ulang tahun temannya jadi, yah kau tahu? Wanita perlu persiapan yang tidak sebentar untuk itu. Aku yang mengerti hal itu memutuskan untuk pergi dari tempat Ami, sebenarnya aku juga sudah lama tak memanjakan tubuhku di tempat perawatan tubuh itu. Hah. Semoga gaji pertamaku segera turun.




3rd POV

Sore harinya Rendra memacu Audi R8 nya dengan sedikit kencang. Dia sedikit tertekan dengan tingkah ibunya yang selalu cerewet minta menantu. Setiap dia pulang ke rumah, pastilah itu yang dibicarakan. Seringkali ibunya mengenalkannya dengan beberapa perempuan agar Rendra mau sedikit saja melirik mereka.

Tapi dia sama sekali tak tertarik, Rendra lebih memilih untuk berjuang mendapatkan wanita itu. Sheila adalah satu-satunya yang dia inginkan untuk menjadi pendamping hidup. Tidak ada yang lain lagi. Tapi sepertinya rencananya tak begitu mulus berjalan.

Dia seringkali membuat wanita itu kesal walaupun Rendra tak ada maksud untuk membuatnya marah. Dan kejadian kemarin itu sungguh membuatnya frustasi. Hm, mungkin sekali-kali dia harus melampiaskan hasratnya di tempat biasa. Dengan cepat Rendra memutar arah mobilnya menuju salah satu club yang sudah lama tak dia kunjungi.

“Hei bro, kemana saja? Sudah lama tak kesini!” ucap seseorang yang melihat Rendra memasuki ruangan yang penuh lampu gemerlap. Lelaki itu Endo, lelaki yang dulu dikira pacarnya Rendra.

Tanpa banyak bicara, Rendra memesan segelas martini untuk mengisi tenggorokannya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

“Apa karena wanita itu?” Tanya Endo sekali lagi. Rendra menjawab tanpa menghadapkan wajahnya pada Endo.

“Wanita mana maksudmu?” katanya sambil tetap asyik memandangi bokong seksi para wanita yang sedang asik menari di sana.

“Haha, jangan pura-pura. Sekretarismu itu, siapa namanya? Bukankah kau menyukai dia? ” Endo semakin asyik menggoda Rendra yang seolah tak peduli namun Endo sangat mengenal Rendra. Dia tahu pertanyaan itu benar adanya.

“Bukan urusanmu.”

“Oke, oke terserah. Tapi aku penasaran dengan wanita itu. Apa sebelumnya aku pernah bertemu dengannya ya.”
Rendra sedikit melirik ke arah Endo, kemudian tersenyum.

“Huh, ingatanmu bagus juga..”

Endo terbelalak mendengar jawaban Rendra.

“Apa? Jadi dia..dia.. tunggu tunggu,” dengan keras Endo mencoba mengingat wajah Sheila sambil mengusap dagunya, wajah Sheila memang sangat familiar di mata Endo.

“Argh.. sudahlah aku menyerah, aku tak ingat,” dan sebuah pukulan ringan mampir di lengan Endo,

“Haha.. baiklah.. apa kau ingat gadis berbaju hijau yang duduk di sana?” tunjuk Rendra pada salah satu kursi di ujung tempat itu. Sejenak Endo terdiam lalu mulutnya terbuka. Dia menggebrak meja walau tak sampai mengalahkan bisingnya musik yang diputar kala itu.

“GADIS BERBAJU HIJAU!! Yeah! Aku ingat! Dia yang membuatmu jadi seperti orang gila itu kan? Sering datang kesini hanya untuk mencari gadis tak jelas itu?? Dan dia yang telah..” Endo menelan ludah, ragu untuk melontarkan kalimat selanjutnya.

Rendra terkekeh mendengarnya.

“Yah.. kau benar.. dia yang mengambil keperjakaanku.”

“Shit! Kau benar! Wanita itu! Hahahahaha..”

Lanjut ke halaman berikutnya...



Chapter Sembilan
Sheila POV

Pagi ini kami berangkat bersama. Aku dan Bosku maksudnya, Tadinya aku tak mau menerima penawarannya untuk pergi ke kantor dengan dia, tapi dengan sifatnya yang pemaksa, dia menyuruhku naik ke mobilnya tanpa bisa kutolak.

Entahlah, kadang wanita memiliki sifat yang gampang dirayu dan dipaksa, aku tidak tahu itu berkah atau musibah, yang jelas saat ini aku sedang terayu oleh bosku yang menawarkan bonus akhir bulan bila aku mau berangkat kerja dengannya pagi ini. Rendra tahu kalau aku sedang mengalami krisis keuangan.

Dia juga mengatakan kalau ini sebagai permintaan maafnya karena pulang sambil mabuk berat tadi malam. Bahkan dengan konyolnya dia menggedor pintu apartement padahal ini apartement milik dia. Mengganggu aktivitas tidurku yang sedang terlelap dengan nyaman saat itu. Begitulah.

Kami sampai di tempat parkir kantorku, lebih pagi dari biasanya. Belum banyak yang datang, atau boleh dibilang kami termasuk yang datang paling awal. Walaupun terlihat dua mobil yang sudah terparkir cantik di sana. Baguslah, aku bisa selamat dari pandangan orang kantor yang akan menatapku tak percaya bila aku datang dengan bosku yang seksi sekarang.

“Singkirkan tanganmu,” aku menepis tangan yang seenaknya melingkar di pinggangku saat berjalan, tapi dia malah semakin mempereratnya. Lelaki seenaknya!

“Mmhh.. apa kita harus melakukannya di sini?” ucapnya menggoda, dia ini kenapa, ini tempat umum. Malah mengajakku berbuat mesum di kotak sempit ini. Oh ya, kami sudah berada di dalam lift saat ini, dan tangannya tak henti bergerilya di tubuhku. Aku sendiri tak berhenti untuk berusaha menepisnya. artseks.com

“Jangan macam-macam Pak,” kataku penuh penekanan.

“Kalau begitu satu macam saja, kau sangat seksi pagi ini babe..” suaranya yang rendah begitu menggodaku, percayalah saat lelaki berucap di sekitar telinga dan leher kita dengan suaranya yang setengah berbisik itu membuat perasaan wanita melayang.

Kali ini mulutnya menjelajahi leherku. Astaga. Dia brengsek. Bagaimana kalau liftnya terbuka dan seseorang menemukan kami dengan posisi seperti ini.

“Hentikan!!” aku mendorong badannya agar menjauh, membuat dia cemberut.

“Ayolah quicky sex beberapa menit sepertinya menyenangkan.” Sahutnya.

“Kau gila!”

Dia terbahak. Tepat setelah aku mengumpat pintu lift terbuka, aku berjalan cepat menghindari lelaki mesum itu. Terdengar suara dia tertawa mengejek di belakangku. Huh, merusak suasana pagiku saja. Dia mengejarku dan mensejajarkan langkahnya, berusaha kembali melakukan kontak fisik dengan tangannya yang kembali melingkar di pinggangku.

“Le.. lepaskan. Aku mau ke toilet!” astaga. Ini tidak boleh, dia semakin pintar saja menghipnotisku. Aku harus pergi dari hadapannya sebelum aku menanggalkan pakaianku di hadapannya. Apalagi mulutnya yang tak henti membisikan kalimat menggoda di telingaku.

Oh. Aku bisa gila. Aku lebih memilih pergi ke toilet daripada pergi bersamanya. Sepertinya toilet tempat yang tepat untuk menenangkan hasratku yang naik drastis. Tapi sialnya dia malah mengikutiku.

“Pergilah ke ruanganmu bos.” Dia terkekeh senang. Kenapa saat bersamaku tingkahnya jadi kekanakan. Bukankah dia terkenal dengan sikap kalemnya itu. Dengan sedikit cepat aku berjalan agar bisa semakin menjauhinya. Namun langkah besarnya malah membuat jarak kami semakin dekat. Aku benci orang itu.

“Hei kau mendengarnya?”

“Apa?”

“Suara itu. Sepertinya di ruang rapat.”

“Tidak..aku tidak..” sahutku namun berusaha melebarkan telinga, memangnya dia mendengar apa. Setelah sejenak kami terdiam suara itupun terdengar. Suara bisik-bisik yang terdengar tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Sepertinya suara desahan. Haha. Lihat. Bahkan pegawaiku saja berani melakukannya. Kenapa kau tidak mau?” aku melotot mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin dia menyimpulkan secara cepat bahwa itu adalah suara orang yang sedang melakukan seks.

Itu tidak mungkin. Baru saja aku berpikir untuk pergi dari tempat itu. Namun bosku malah seenaknya menggiringku mendekati tempat suara itu berasal.

“Ahh…uh..” suara itu terdengar semakin jelas. Bahkan samar-samat decakan-decakan anehnya sangat terasa. Membuatku sedikit merinding.

“Aku tidak menyangka bosku adalah tukang intip,” aku mengatakan hal itu dengan pelan sambil mendelik padanya. Namun dia hanya tersenyum nakal. Kami mendekati pintu yang sedikit terbuka itu dan melihat pemandangan erotis di sana. Seorang wanita sedang duduk di meja besar persegi panjang dengan seorang lelaki yang asik memaju mundurkan pinggulnya di sela kaki wanita itu. Aku terperangah dan hampir mengeluarkan teriakan sebelum tangan bosku menutupnya dan berbisik,

“Diam dan lihat saja.”

Aku menelan ludah. Melihat kemeja wanita itu yang acak-acakan dengan kancing yang terbuka dan branya yang tertarik ke atas. Sementara payudaranya tampak dihisap dengan buas oleh lelaki itu. Astaga, wanita itu. Dia Ami! Siapa lelaki itu?

Bukankah kemarin aku baru saja mendengar dia mendesah saat melakukannya dengan pacarnya? Bukankah pacarnya tidak bekerja disini? Ini gila. Aku tak menyangka temanku seliar itu, dan lelaki itu.. bukannya dia Arya? Yang setiap hari gencar menggodaku? Dasar, semua lelaki sama saja.

“Hm, sepertinya aku harus memberi pelajaran pada kedua orang itu.”

Aku memutar bola mataku dan mencibir padanya,

“Kau tidak pantas mengatakan hal itu setelah mengajakku dengan sebuah quicky seks beberapa menit lalu.”

Dia tertawa kemudian mencium pipiku cepat.

“Haha. Kau benar dan payudaranya besar ya, sepertinya lezat”

Aku mematung mendengar perkataannya. Apa Rendra lebih menyukai payudara Ami? Di hadapan kami mereka sedang melakukan French kiss sambil tetap saling memasuki. Aku memperhatikan payudari Ami yang menggantung bebas, memang besar, apalagi ekspresinya yang sedang mengerang terlihat begitu menikmati permainan mereka.

Tanpa sadar aku memegang payudaraku sendiri. Lebih kecil dari dia. Tapi tunggu, bukankah aku hanya memegang yang kanan. Lalu kenapa yang kiri..

“Tenang saja, aku lebih suka yang besarnya proporsional sepertimu.” Kemudian sebuah pijatan lembut mampir di dadaku sebelah kiri. Sial. Dia memanfaatkan kesempatan.

Aku memukul lengannya dan melepaskan tangannya yang begitu betah di tubuhku. Dia bos brengsek. Dia tertawa pelan dan malah memelukku dari belakang. Aku meronta tapi pelukannya malah semakin erat.

“ugh.. ugh..” Arya terlihat memompakan kejantanannya dengan pelan. Lalu cepat, membuat Ami mendesah sesuai hentakan yang diberikan padanya.

Aku sekarang benar-benar menjadi seorang pengintip. Belum lagi pandanganku yang tak henti melihat ke sekeliling, takut ada orang yang melihat aksi kami. Seperti pencuri yang takut ketahuanmencuri mangga. Entah kenapa aku tak bisa mengalihkan pandangan dari kedua insan itu.

Nafasku semakin berat, pemandangan ini membuat libidoku semakin naik. Rendra menciumi leherku dan menggigit daun telingaku. Leherku basah.

Mulut Arya kembali menghisap gunung kembar itu, dan meremasnya sambil tetap memaju mundurkan kejantanannya. Aku melirik Rendra, sepertinya dia merasakan hal yang sama. Dia meremas payudaraku lagi. Kali ini aku tak menolak. Hasratku yang naik membuatku membiarkannya. Kejantanannya mengelus pantatku

“Ayo kita ke ruanganku,” bisiknya serak.

“Aku tidak…” berusaha menolak, namun dia melumat bibirku dengan ganas, aku melihat matanya yang menyala penuh gairah, membuatku tak kuasa menolak dan membalas ciumannya. kemudian menarik lenganku dengan cepat. Membawaku berjalan cepat ke ruangannya.

Jantungku berdebar dengan cepat, apakah aku harus melakukannya? Tapi genggaman tangannya yang hangat membuatku tak mampu berpikir lebih jauh lagi.

Kami sampai di ruangannya kemudian dia mengunci pintu. Tanpa menunggu lebih lama dia menempelkan tubuh kami dan memisahkan jarak di bibir kami.

Aku sedikit terbelalak saat bibirnya menyentuhku, memintaku untuk memberikan ruang agar lidahnya bisa memasukiku lebih dalam. hangat dan lembab, aroma mintnya terasa kuat di hidungku pagi ini, dan tak ada aroma rokok kali ini, cukup lama dia bermain di bibirku, menyapu dengan lidahnya, membuat rasa kaget dan berdebar tercampur, belum lagi tubuh kami yang saling menempel walau masih berbalut pakaian kerja.

Sambil merengkuhku dalam pelukannya lalu mengelus punggungku dan memegang erat pinggangku.

“Tunggu...ngh..” ucapku sedikit melenguh di sela ciuman panas kami pagi ini. Namun dia kembali menempelkan bibirnya dengan ganas, sedikit kasar, menambah intensitas keintiman kami dengan tangannya yang mulai menjelajah masuk ke rokku dan meremas pantatku.

Astaga ini nikmat. Belum lagi di perutku terasa benda keras yang menusuk. Ini buruk. Kalau dilanjutkan akan semakin…

Tangannya naik ke dalam pakaianku lalu mengelus perutku, kemudian punggungku dan menyentakkan pengait braku lalu meremas benda di dalamnya.

“Ng..h kita lanjutkan yang sempat tertunda kemarin,” ucapnya penuh gairah, membuatku melayang. Menggeliat geliat dalam rengkuhannya, menerima sensasi yang selalu membuatku lupa diri. Aku balas mencium bibirnya, mencecapnya dan menelusuri mulutnya dengan sedikit tak sabar.

Nafsu dalam diriku sudah tak dapat tertahankan lagi. Tanganku menyentuh gesper di pinggangnya, lalu secepat kilat membukanya dan menurunkan resletingnya, mengelus benda yang telah mengacung tegak terbungkus celana dalam. Memijatnya perlahan. Membuat matanya terpejam sesaat, lalu aku mengeluarkannya.

“Aku..aku tak tahan lagi..” ucapku tergesa. Tontonan itu memberikan efek luar biasa pada kami.
Dia tersenyum lalu mengangkatku dan mendudukanku di meja kerjanya. Kembali tangannya bergerilya di tubuhku, mengelus pahaku dan sedikit lagi saja dia akan berhasil menyingkirkan selapis kain yang kini melindungi bagian bawahku,

Tok tok tok

Kami tenggelam dalam pusaran gairah hingga tak peduli lagi keadaan sekitar

Tok tok tok

Sedikit lagi saja, dia akan memasukiku, membawaku menuju kenikmatan dunia yang..

Tok tok tok

“Shit.. aku benci pengganggu!” umpat Rendra masih parau, namun sepertinya sudah tak berniat lagi melanjutkan kegiatan kami. Dia menatapku sekilas kemudian merapikan bajuku, mengaitkan ikatan braku dan mengancingkan kemejaku yang sudah sepenuhnya terbuka.

Merapikan rambutku dan mencium puncak kepalaku. Membuatku sedikit tersipu dengan perlakuan lembutnya. Kemudian membenahi dirinya sendiri yang tidak kalah berantakan.

“Buka pintunya, kita lanjutkan nanti,” sahut dia lalu memberikan kecupan terakhir di bibirku. Suara pintu itu terdengar semakin keras. Aku beringsut menuju pintu dan membukanya setelah yakin tak ada yang salah dengan penampilanku.

Sejenak terpaku dengan pemandangan seseorang yang kukira mengetuk pintu dan mengganggu aksi panas kami. Seorang wanita berkulit putih memakai kacamata hitam, dan lipstick merah merekah tersenyum angkuh. Blazernya yang berwarna merah menambah seksi penampilannya.

“Bosmu ada?” katanya lalu dengan tak sopan masuk ke ruangan bosku,

“Rendraaaa….” Teriaknya dan berlari ke pelukan Rendra lalu mencium bibirnya serta melingkarkan kedua tangannya di leher bosku.

Kejadian itu begitu cepat, menimbulkan sensasi aneh yang menyeruak langsung di dalam hatiku, perasaan tak nyaman melihat adegan itu. Rendra yang sepertinya terkejut dengan serangan mendadak itu tak berusaha menghindar atau menolak. Apa dia menikmatinya?

Aku menahan nafas, sekilas mataku bertemu dengan mata Rendra dan ciuman mereka terlepas. Dia berdehem,

“Apa maumu?” Tanya dia kepada wanita itu, namun wanita itu malah tersenyum menggoda dan membisikan sesuatu kepada Rendra, membuat dahi bosku berkerut.

“Sheila, sepertinya aku butuh berbicara berdua dengannya,” ucapnya. Aku mengangguk dan menundukan pandanganku, entah kenapa aku merasa takut. Kemudian keluar dengan menutup pintu duduk di mejaku dengan lemas. Berusaha mencerna semua yang terjadi.

Bahkan belum sampai lima menit yang lalu kami terlibat ke dalam sebuah aura seksual di ruangan itu. Namun dalam sekejap pemerannya berganti. Aku merasa..sedikit..dibuang.

Menit demi menit berlalu. Entah ke berapa kalinya aku melirik pintu itu, berharap dia segera terbuka dan aku bisa menemukan wajah bosku yang tadi sempat menggodaku. Rasanya begitu lama aku menunggu kegiatan mereka di dalam sana. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Siapa wanita itu? Apakah mereka melakukan seks di sana? Apakah Rendra menggantiku dengan wanita itu? Aku mengerjapkan mataku lalu menggeleng. Sebuah penolakan mampir bertubi-tubi di otakku berbanding terbalik dengan kenyataan yang beberapa saat lalu kulihat. Semua hal ini membuat nafasku sedikit sesak.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku saat ini, dan hal yang kutunggu sejak tadi akhirnya terjadi. Pintu itu terbuka, memperlihatkan dua sosok yang tadi sempat menghilang di balik pintu itu. Lalu sebuah kenyataan kembali mampir di mataku, penampilan wanita itu sedikit kusut, berbeda saat kulihat pertama kali.

Bibir merahnya sedikit pudar, walau tak terlihat berantakan, rambutnya yang tadi terikat menggulung kini tergerai. Dia membuatku menerka-nerka tentang apa yang sebenarnya terjadi saat aku meninggalkan Rendra dengan wanita ini.

“Batalkan jadwalku hari ini, dan segera pesankan tiket ke Palembang untuk hari ini,” aku menoleh ke arah sumber suara.

“Bukankah rencananya besok pak?” tanyaku yang berusaha menormalkan suaraku walau sedikit bergetar.

“Ada urusan mendadak, sepertinya sedikit lama di sana, akan kuhubungi lagi nanti,” pungkasnya lagi lalu pergi dengan wanita itu yang melingkarkan tangannya di lengan bosku. Aku mendadak pusing. semuanya terasa begitu cepat.




Lanjut ke halaman berikutnya...



Chapter 10
Sheila

Tahu rasanya perasaan menjadi kosong? Itulah aku sekarang. Hatiku merasakan sesuatu yang hampa saat melihat bosku yang begitu mesra dengan wanita lain. Selama ini aku dibuai dengan perilakunya yang selalu berada di sekitarku, merayuku, dan selalu menjadikanku seolah akulah satu satunya wanita yang harus berdekatan dengannya.

Tapi sekarang aku sadar, kalau semua itu semu. Aku juga tidak tahu kenapa sekarang aku merasa Rendra itu begitu kejam padaku. Padahal dari awal aku selalu menjaga jarak dengannya. Kekesalanku padanya, penolakanku, tak pernah kukira akan berdampak sesakit ini. Apakah kalau aku menuruti kemauannya untuk bersikap seperti wanita penggoda dia akan lebih sedikit berpikir untuk meninggalkanku? Atau malah sama saja? Huh, tentu saja akan sama.

Kau bodoh Sheila, semua orang tahu tabiatnya. Dia lelaki brengsek yang selalu dikelilingi selirnya. Mana mungkin dia memiliki kepedulian yang lebih terhadap sekretaris bodoh sepertiku.

Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ini kamar Rendra, aku harus mengingatnya baik baik agar tak lupa saat aku pergi nanti. Tempat tidur berukuran King Size itu adalah tempat Rendra berbaring dan menggodaku, juga tempat dimana aku merasakan seks yang hebat dan indah dengannya.

Waktu itu aku sangat bahagia saat melakukan itu berkali kali. Aku merasa bahwa lelaki yang selama ini kucari adalah dia. Lelaki yang dulu pernah memberitahu dan mengajarkan cara bercinta yang begitu indah padaku.

Dulu..dulu sekali. Sebelum aku menjadi Sheila yang sekarang, aku hanyalah perempuan bodoh yang tidak pernah tahu caranya bercinta. Namun seseorang menyadarkanku, bahwa seks tidak hanya pertemuan antara tubuh lelaki dan perempuan.

Lebih dari itu, dia mengatakan padaku, bahwa seks yang baik adalah seks yang penuh dengan cinta. Lucu sekali. Bahkan aku tidak mengenalnya, bagaimana mungkin aku bisa melakukan seks penuh cinta dengan lelaki itu? Dan ya aku melakukannya.

Aku merasakan suatu perasaan khusus yang tak pernah kualami sebelumnya. Dia memperlakukanku seperti wanita yang paling dia cintai. Padahal kami baru bertemu saat itu.

Mataku beralih pada walk in closet milik Rendra, pakaiannya dengan baunya yang khas dan selalu kusuka. Kemudian kostum bodoh yang baru salah satunya kupakai. Peran dokter bodoh itu. Aku merasa berat meninggalkan tempat ini, walau aku tetap harus melakukannya.

Bahkan saat tak ada di hadapanku pun dia masih sempat membuatku kesal. Sepertinya keputusanku meninggalkan tempat ini memang sangat tepat.

Kau masih dimana? Aku menunggumu.

Itu Amy, dia memberiku pesan melalui Whatsapp. Aku harus cepat pergi sebelum dia menumpahkan kekesalannya melalui omelan khas wanita. Dan mataku terpaku pada parfum milik Rendra, entah setan darimana yang membuatku ingin mengambil botol itu, aku hanya merasa kalau aku akan membutuhkannya.

Aku mengambilnya diantara sekumpulan barang milik Rendra, sedikit membayangkan wajahnya yang selalu berdiri di depan cermin sambil mengikat sampul dasi dan menyemprotkan wewangian yang selalu memabukanku. Sepertinya hari ini aku berubah menjadi pencuri. Belum lagi kemeja putihnya yang kumasukan ke dalam koper, sekarang ditambah parfum miliknya.

“Aargh, aku tak peduli! Dia orang kaya, hanya satu pakaian dan botol tak berharga ini saja hilang dia tak akan sadar!” gumamku.

Setelah itu aku pergi, meninggalkan setengah lagi kesunyian yang sempat ditinggalkan Rendra. Sekarang apartement itu menjadi lebih sunyi lagi karena tak ada yang tinggal di sana selain benda mati milik pemiliknya, dan beberapa binatang kecil yang tak terlihat mungkin.

“Tunggu Amy, aku sampai tiga puluh menit lagi.” Kusentuh tombol send dan membalikkan tubuhku. Memandang sekali lagi pintunya yang tertutup, kemudian beranjak menjauh, meninggalkan gedung besar itu menuju tempat tinggalku yang baru.




Rendra POV3

“Shit! Shit! Shit!” umpat Rendra di antara tumpukan dokumen di hadapannya. Dia sama sekali tak bisa berkonsentrasi saat ini. Kantor Cabang perusahaannya di Palembang yang mengalami kerugian besar, akibat beberapa oknum yang melakukan kecurangan dengan membuat laporan keuangan palsu, tak mampu mengalihkan pikirannya.

Beberapa kali dia memaki dirinya sendiri. Sudah dua hari dia mengurusi pekerjaannya di Palembang, namun dia merasa sangat stres saat tidak bisa melihat wajah ataupun mendengar suara sekretarisnya yang seksi itu. Kepalanya terasa meledak karena Sheila tidak pernah mengaktifkan handphonenya.

Bahkan dia berusaha mencuri waktu untuk menelepon kantornya hanya untuk berbicara dengannya, tapi Sheila tak pernah menanggapinya. Dia malah selalu menghindar, mengalihkan pembicaraan atau tidak segan menutup telepon kantor bila Rendra sudah bicara ngawur, alias sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kalau terus begini dia bisa gila.

Dia ingin sekali pulang ke Jakarta dan menemui Sheila lalu memeluknya dan melumat bibirnya bila saja tak ada pekerjaan mendesak seperti ini. Tapi dia memang tak bisa menuruti nafsunya kali ini. Dia harus menyelesaikannya dengan cepat hingga bisa cepat pulang dan menemui Sheila.

“Hahh. . aku bisa gila!” Sekali lagi dia bergumam, mencemooh dirinya sendiri yang tak mampu mengendalikan nafsunya. Kemudian berusaha kembali konsentrasi dengan pekerjaannya.




Tekadnya untuk segera pulang memang membuahkan hasil, dia tenggelam dalam pekerjaan hingga dia dapat menyelesaikannya lebih cepat dari yang ditargetkan, lima hari sudah cukup untuknya memendam rindu. Dia harus cepat pulang agar bisa melihat Sheila.

Hm, wajahnya tersenyum, menampilkan raut kebahagiaan untuk segera memeluk kekasihnya. Dia kembali menyeringai saat memikirkan tentang apa yang sedang dilakukan wanita itu. Mungkin saat ini dia sedang tiduran atau menonton tv dengan kaus tipis tanpa bra sehingga tonjolan cokelatnya terlihat atau sedang memasak sambil memakai rok pendek sehingga saat menunduk, g stringnya mengintip dan mempertontonkan pantat kencang dan bulat itu.

Ahh, Rendra memang selalu tegang bila memikirkan tentang Sheila. Tapi kenapa sampai saat ini dia tak pernah menjawab panggilannya? Wanita itu harus diberi pelajaran. Mungkin kali ini, dia harus membuat Sheila menjadi “pelayan” nya. Haha. Rendra sibuk dengan bayangan bayangan di otaknya yang penuh dengan Sheila.

Tak dia hiraukan panggilan Ibunya yang menyuruhnya pulang ke rumah. Supir yang dikirim ibunya untuk menjemputnya pun malah diusir. Dia merasa tak dapat menunggu lagi untuk bertemu Sheila. Bergegas dia memacu kendaraannya agar cepat sampai di sana.
Melihat gedung apartementnya yang menjulang, dia merasa jantungnya berdegup kencang.

“Hei, ada apa ini? Kenapa aku merasa seperti baru saja menang lotere?” gumam Rendra pada dirinya sendiri. Dia bahagia, senang entahlah. Mungkin karena rindu yang teramat sangat. Saat menaiki lift menuju lantai apartementnya dia tak berhenti bersiul, membuat orang di sekitarnya melirik penasaran dengan lelaki seksi menggoda si pemilik siulan.

Lift berdenting, tanda sudah sampainya Rendra di lantai 3. Dengan sedikit terburu buru dia melangkah dan menekan nomor kombinasi apartementnya, kemudian membuka pintu. Satu perasaan lain timbul ketika masuk ke sana. Sebuah kekosongan yang entah kenapa begitu kentara di ruangan itu, dia menarik nafas kemudian masuk ke sana, namun kesunyian itu semakin lekat.

Tanpa ragu dia mencari satu satunya objek yang sedari tadi membuatnya segera ke tempat ini. Sheila. Menuju kamarnya namun kembali dia tak menemukannya. Dengan gusar dia mengelilingi seluruh ruangan hingga dia sadar.

Semua barang Sheila tak ada. Hanya sebuah catatan kecil dia simpan menempel di cermin, tepat saat Rendra melihat mejanya yang begitu..kosong.

Sebuah kartu berwarna pink motif kelinci di tiap ujungnya dan tulisan Sheila yang begitu dia kenal.

Aku pergi. Terima kasih atas tempat tinggal sementaranya.

Hatinya mencelos. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas. Lelah yang sejak di Palembang hingga beberapa detik lalu diabaikannya kini sangat terasa.




Lanjut ke halaman berikutnya...



Part 11
Sheila POV

Hari ini aku bermaksud makan malam dengan Ronald. Semenjak beberapa hari lalu Rendra pergi ke Palembang, dan aku pindah ke apartementku yang baru, aku mengetahui bahwa ternyata Ronald satu gedung apartement denganku. Dia sudah beberapa kali datang ke tempatku.

Dan untuk malam ini, aku bermaksud membuatkan makan malam untuknya. Aku memasak seafood pesanannya, karena dia menantangku untuk membuktikan pada Ronald bahwa aku bisa memasak. Huh, tentu saja aku bisa. Wanita yang terbiasa hidup sendiri sepertiku lebih memilih memasak daripada membeli makanan di luar.

Lebih hemat kupikir. Suara bel di pintu mengakhiri aktivitasku di dapur. Sekarang aku berjalan menyambut Ronald di luar sana.

“Wow, Kau datang sangat cepat,” Aku tersenyum mendapati Ronald dengan jas tersampir di pundak dan kemejanya yang terbuka dua kancing di atasnya. Dia selalu tampil menawan, bahkan dengan penampilan berantakan seperti sekarang.

“Yah, aku tak sabar lagi untuk memakan masakan spesialmu itu,” Katanya sambil berkedip. Haha, dia tak pernah lupa untuk menebarkan pesonanya.

“Iya, tapi kau datang terlalu cepat hingga aku belum sempat berganti baju,” jawabku sambil melirik kaus dan celemek yang masih menempel di tubuh. Lengkap dengan celana jeans selutut yang kupakai. Ronald meneliti tubuhku dari bawah ke atas.

“Hm, kukira kau tak harus berdandan untuk tampil cantik. Karena bagiku kau cantik dalam kondisi apapun. Kau seperti.. chef yang cantik dan seksi, seperti yang di tv. ”

Aku tertawa, dia selalu berhasil membuatku senang dengan ucapannya.

“Simpan gombalanmu untuk wanita lain Ronald. Jangan untukku.”

Ronald terkekeh, dan kami menyantap makanan dengan nikmat saat itu.

“Wow, kau memang pintar memasak. Aku tidak akan pernah bosan bila tiap hari disuguhi masakanmu yang lezat seperti ini,” komentar Ronald setelah menyuapkan omelet seafood buatanku.

“Haha. Berhentilah mengucapkan hal yang sama berulang ulang. Kau membuatku bosan mendengarmu.” Sahutku bosan. Ini sudah ke empat kalinya dia berkata makananku lezat.

“Aku serius Sheila, masakanmu benar benar..enak, Aku akan senang sekali bila kelak kau bisa menjadi istriku dan memasakan makanan seperti ini tiap hari,”

Aku menatapnya tajam kemudian memutar kedua bola mataku,

“Ya.. ya aku mengerti, terima kasih atas pujianmu Mr. Ronald.”

“Sheila, kau tahu aku selalu serius dengan ucapanku,” Katanya kemudian setelah menarik nafas dalam dalam.

“Maksudmu?”

Dia menatapku dan memegang jemariku, lalu menciuminya satu persatu,

“Yah, tentang aku ingin berkencan denganmu. Aku ingin menjadi kekasihmu.”

Aku terdiam menatap Ronald, memang beberapa hari lalu dia sempat mengatakan suka padaku sambil bercanda, namun aku tak menyangka dia sangat menginginkanku seserius ini.

Bukan pertama kalinya aku berpacaran, tapi memang sudah lama sekali aku tidak membiarkan para pria masuk ke dalam hatiku demi ambisiku untuk mendapat lelaki mapan. Sekarang Ronald yang masuk ke dalam kriteriaku mengucapkan keinginannya untuk berkencan dengan mudah padaku. Apa aku harus menerimanya?

“Aku .. aku.. maafkan aku Ronald, aku hanya butuh waktu.” Sebuah kalimat yang tak kurencanakan keluar dari mulutku. Aku ingin memarahi mulutku yang seenaknya berucap seperti itu pada Ronald. Bukankah lelaki seperti dia yang kau inginkan? Kenapa malah berbicara sebaliknya ha?

“Aku akan menunggumu.” Ucapnya.

Suasana hening seketika. Kami terdiam, berkutat dengan pemikiran masing masing. Menyantap makanan kami dalam kecanggungan. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring mengiringi diamnya kami, dan menyelesaikannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Setelah selesai makan, kita menonton televisi bersama. Film box office yang sering ditayangkan hampir larut malam, bercanda dan tertawa ketika melihat aksi heroik aktor berotot dan berkepala plontos yang menurutku sangat seksi.

Kegiatan ini menyenangkan, mengisi waktu dengan ketenangan dan canda tawa. Tidak ada saling mengejek, tidak ada saling membentak, tak ada pertengkaran seperti saat aku bersama Rendra. Sampai Ronald pulang dan kembali ke tempatnya. Semuanya terasa begitu tenang, hitam dan putihnya terlalu nyata untukku.

Berbeda saat aku dengan Rendra, sekarang tak ada perasaan berdebar, tak ada kemarahan, tak ada kebingungan, atau gairah yang tiba tiba ingin meminta pelepasannya.

Aku menuju kamar, masuk ke dalam selimut dan memejamkan mataku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Ketika ada suatu peluang besar yang menguntungkan di hadapanku, aku selalu mengambilnya dengan cepat tanpa ragu. Lalu kenapa aku menolak Ronald? Pria sukses dan tampan yang menjadi incaranku untuk dijadikan calon suami. Semuanya terasa buram dan hambar. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini.

Sampai beberapa waktu berlalu, entah berapa menit, selalu saja begini tiap malam, untuk tidur seperti biasa saja semuanya terasa sulit.

Aku menyingkirkan selimut yang kupakai lalu berdiri untuk mengganti bajuku, membuka kaus merahku dan celana jeansku, melemparnya ke keranjang cucian lalu mengambil kemeja putih milik Rendra dan memakainya, mengendusnya sesaat dan menyemprotkan parfum Rendra seluruh tubuhku yang terbungkus kemejanya.

Berharap wangi itu dapat membuatku menghilangkan rasa sesak karena begitu tersiksa saat mengingat sosok lelaki yang akhir akhir ini mampir di otakku. Aku benci diriku sendiri yang begitu mudahnya terjatuh ke dalam pesona lelaki bodoh seperti Rendra.

Kubaringkan tubuh di tempat tidur. Tanpa selimut, hanya kemeja putih beraroma Rendra yang selalu membuatku tertidur nyenyak akhir akhir ini. Membayangkan lelaki itu sedang meringkuk di hadapanku sambil memeluk tubuhku. Aku yakin telah menjadi gila karena tak melihatnya akhir akhir ini.

Bahkan aku tak pernah membiarkan dia menghubungiku. Aku takut tak bisa mengendalikan diri. Aku takut akan menjadi wanita murahan yang rela menyerahkan dirinya hanya demi sebuah perhatian dari lelaki yang hanya berpikir ingin menyetubuhimu, bukan mencintaimu. artseks.com




Pagi ini aku berpikir untuk secepatnya mengundurkan diri dari perusahaan Rendra. aku harus menghilang dari hadapannya, sebelum dia kembali dari Palembang. Aku benar benar benci ketika harus menyimpan sebuah rasa kepada lelaki player macam dia.

Sekitar tiga hari lagi dia akan pulang, dan aku harus segera pergi dari tempat kerjaku agar tak bertemu dengan bosku. Bagaimanapun caranya. Setidaknya itulah yang kupikirkan pagi ini, sampai sebuah kenyataan yang tak diperkirakan menjadi penghancur rencana yang ku buat.

Saat ini, aku melihat seorang lelaki sedang duduk di kursiku, membongkar laciku, membuka dokumen dokumen tak penting yang tergeletak di sana, dan memandang fotoku yang terbingkai indah di meja. Mulutku terbuka, kepalaku menggeleng. Aku tak percaya semua ini.

Mata itu kini menatapku, mengunci pandanganku hingga terpusat seluruhnya pada sosok itu. Dia mengangkat alis tebalnya yang membuat sosoknya semakin menarik, selalu saja begini. Lelaki itu selalu membangkitkan hasratku dimana saja dia berada. Aku harap ini adalah khayalanku saja.

Tapi ini benar benar nyata. Lelaki itu dengan setelan kerjanya mendekatiku perlahan, aroma mint dari tubuhnya begitu nyata menusuk hidungku. Dia menarik pinggangku dengan kedua tangannya hingga tubuh kami berdekatan, lalu mengecup puncak kepalaku, keningku, pipiku, mengecupnya berkali kali dengan cepat, hingga akhirnya merengkuhku erat. Membawaku ke dalam pelukannya yang hangat.

Seolah tak akan dia lepas. Aku benci perasaanku sekarang. Aku benci diriku yang sangat mendambakan pelukannya. Sudah lama sekali aku tak merasakan kehangatan dekapannya. Wangi tubuhnya yang memabukanku, begitu berbeda dengan saat aku mengenakan kemejanya dan mengendus parfum yang kusemprotkan ke bajunya.

Dia mengangkat kepalaku lalu menatap mataku erat, aku suka sekali mata itu. Mata tajam yang membuatku ingin melakukan segalanya untuk sekedar menarik perhatiannya agar selalu melihatku. Hawa panas di antara kami begitu kuat, hembusan nafasnya di wajahku membuatku tanpa sadar mendesah, begitu menginginkan dirinya.

Ciuman itu pun terjadi, kami mengerang bersama merasakan kedua bibir yang entah berapa lama tak pernah lagi bersentuhan, bagai magnet kami saling menempel, saling menghisap, begitu panas. Aku melingkarkan tanganku di lehernya, agar tak terjatuh saat tubuh ini melemas dengan sentuhannya yang tak henti menyerangku.

Ya Tuhan, lelaki ini membuatku hilang akal. Aku gila karena merindukannya. “Mmmh,” tak rela saling melepaskan bibir walau hanya untuk mengambil nafas, kami kembali saling mengisi.

Tenggelam dalam sebuah ciuman paling dahsyat yang baru pertama kali kutemui. Aku bersumpah ini adalah ciuman terhebatku dengan lelaki. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan ciuman senikmat dan seindah ini.




Lanjut ke halaman berikutnya...



My Boss Part 12

Sheila dan Rendra duduk berhadapan dalam diam. Setelah adegan ciuman panas itu, Rendra benar benar berharap dapat membuat Sheila kembali ke sisinya. Namun amarah masih melingkupi diri pria itu, di sisi lain, dia juga tak bisa mengabaikan rindu yang menggebu.

Melihat Sheila dan mengingat rasa bibir wanita itu, membuatnya ingin mengerang dan membawanya ke tempat tidur, mengubur miliknya dalam-dalam ke tempat Sheila.

"Menghindariku! Kabur dari apartement! Surat pengunduran diri! Bisa kau jelaskan apa maksud semua ini?" Rendra akhirnya membiarkan mulutnya berbicara untuk mengusir rasa penasaran yang bersarang di hatinya.

Sheila tertunduk gelisah mendengarnya. Dia sendiri juga tak yakin dengan alasan yang akan dia katakan kepada bosnya. Mana mungkin dia bilang kalau beberapa saat lalu rasa cemburu menguasainya dan kenyataan tak bisa memiliki membuat dia memilih pergi? Sheila tak mungkin memelihara hatinya untuk lelaki seperti bosnya.

"Sekretaris," panggilan itu membuat dia mengalihkan pikirannya dan menatap sang bos.

"Uhm, aku, aku hanya tak ingin merepotkanmu bos. Uhm la-lagipula sekarang aku sudah dapat tempat tinggal baru jadi.."

"Lalu masalah pengunduran diri?" Rendra memotong ucapan Sheila dengan cepat. Ia benar-benar tak suka dengan jawaban sekretaris cantiknya tersebut.

Tak mau merepotkan? Justru karena wanita itu pergi semuanya akan lebih merepotkan. Tidak ada lagi wanita yang akan marah dengan manisnya saat dia goda, tidak ada lagi wanita yang akan membuat sesuatu di selangkangannya menggeliat setiap saat meminta dipuaskan hanya karena mengingat Sheila. Sheila melihat kuku tangannya yang dicat merah muda, berusaha menjawab pertanyaan bosnya yang menuntut.

"Aku hanya ingin suasana baru. Hm yah,bekerja denganmu menyenangkan, aku hanya.. Yahh.." Sheila benar benar tak siap dengan tatapan penuh intimidasi dari Rendra. Jawaban penuh keraguan itupun terlontar begitu saja.

"Kau tahu kontrakmu belum berakhir sekretaris. Tentunya kau harus memikirkan berapa banyak denda yang akan kau bayar kepada perusahaan," Rendra berusaha mengintimidasi Sheila dengan nada mengancam.

"A-aku akan membayarnya. Akan kucicil.."

Rahang Rendra mengeras mendengar jawaban Sheila,

"Apa? Mencicil?? Jangan main-main sekretaris! Kau pikir kantor ini milik nenekmu?"

Sheila mengerjap melihat mata Rendra yang berkilat penuh amarah. Baru kali ini Sheila mendapatkan Rendra membentaknya begitu keras. Sekarang Rendra mendekatinya, membuat Sheila menundukkan wajahnya, hingga tangan kanan Rendra menyentuh dagunya dan membuat Sheila mendongak.

"Kau tidak akan pernah keluar dari perusahaan ini tanpa seizinku, mengerti?" Ucap Rendra dengan nada suara rendah.

Oh tidak! Disaat seperti ini Sheila malah bergairah untuk mengecup bibir Rendra dan melakukan ciuman panas sekali lagi. Hentikan pikiran itu Sheila!

"Mengerti?" Satu kali penegasan yang membuat Sheila mengangguk. Rendra tersenyum penuh kemenangan. Punggung tangannya membelai pipi Sheila, menelusuri kemulusannya, Sheila menahan nafas melihat bibir yang sedikit terbuka itu. Dia berharap satu ciuman saja darinya.

Rendra mendekatkan bibirnya hingga tersisa jarak satu senti diantara bibir mereka, sedikit lagi saja maka mereka akan menyatu, hingga sebuah suara terbukanya pintu menginterupsi kegiatan mereka. Rendra menggeram kesal lalu menghentikan aksinya.

"Sayang," suara yang begitu familiar terdengar di telinga Rendra dan membuatnya berdecak. Seorang wanita usia 50 tahun muncul dari balik pintu. Suara khasnya memanggil Rendra dengan penuh semangat dan kasih sayang.

"Mom!" sahut Rendra malas, dia tak menyangka ibunya akan datang ke kantor.

"David, bisa bisanya kau pulang tanpa bertemu Mommy mu. Kau tahu sudah berapa lama kau tak mengunjungi Mommy dan Daddy mu!" ucap wanita itu dalam satu tarikan nafas, membuat Rendra semakin sebal saja.

"Mom, aku bukan anak kecil lagi!"

Keriput di wajah wanita itu tak mengurangi kecantikan alami yang memancar di wajahnya. Ia mengomeli Rendra panjang lebar khas orang tua terhadap anaknya.

"Tega sekali kau mengabaikan jemputan yang Mommy kirimkan dan malah pergi sesuka hatimu. Mom..." sesaat ucapannya terhenti melihat wanita di samping Rendra yang menunduk sedari tadi.

"Siapa wanita ini sayang? Berhentilah bermain main dengan perasaan wanita sudah waktunya kau..."

"Mom. Diamlah. Biar kujelaskan," kata-kata Rendra membuatnya terdiam.

Rendra pun menarik pinggang Sheila dan mengecup pelipisnya,

"Mom, perkenalkan ini calon istriku."

Terkejut dengan situasi itu, Sheila menatap Rendra tajam kemudian berusaha melepaskan tangan Rendra yang melingkar di pinggangnya, tapi bukannya terlepas tangan itu malah semakin erat membuat tubuh bagian samping. Tubuh mereka pun semakin merapat erat.

"Calon istri? Oh sayang Mommy senang akhirnya kau berhenti bermain dengan wanita wanita liar itu. Dan siapa ini? Siapa namamu nak?" katanya sambil memeluk Sheila dan menangkup wajahnya dengan sorot mata penuh kelembutan.

Sejenak dia terenyuh, sudah lama sekali Sheila tak mendapati sorot mata seorang ibu yang menatapnya dengan penuh ketulusan.Namun dia segera menguasai dirinya, dia harus menjelaskan kebohongan Rendra. Dan akhirnya Sheila mendapati Rendra melepaskannya.

"Sheila tante, dan sebenarnya aku bukan.."

"Dia sekretarisku Mom," sahut Rendra cepat, menghalangi Sheila untuk mengucapkan yang sebenarnya.

"Hm baiklah. David, nanti malam.. Ah tidak besok malam saja, kau bisa mengunjungi kami di rumah? Mom ingin makan malam bersama.calon istrimu.."

"Tante aku.."

"Mom..."

"Besok malam sayang..sebenarnya Mom ingin malam ini, tapi ada acara makan malam dengan teman-teman, oke sayang, Mom pergi dulu. Tante tunggu besok ya Nak Sheila," mommy Rendra berkata seraya melambaikan tangan dan melangkah keluar kantor.

Tanpa menunggu kalimat berikutnya Rendra dan Sheila dipeluk bergantian oleh Mommynya, kemudian pergi begitu saja. Tanpa membiarkan Sheila menjelaskan yang sebenarnya.

Rendra sendiri tak begitu peduli akan respon Sheila. Karena dibalik itu dia sangat serius untuk menjadikan Sheila calon istrinya. Pada saatnya nanti, Dia akan menjadi milik Rendra seutuhnya, pikir Rendra sambil tersenyum atas rencananya.

Namun Rendra mendapai ada yang salah dengan diamnya Sheila. Ia pun menatap gadis pujannya dan melihat Sheila yang hampir seperti ingin mengeluarkan matanya.

"Apa?" tanya Rendra tak merasa bersalah.

"Kau! Memangnya siapa yang ingin jadi calon istrimu??" Sheila menatap tajam mata Rendra, menantangnya untuk menjelaskan.

"Aku serius," dahi Rendra berkerut tak terima dengan ucapan Sheila.

"Aku juga serius bos. Sekarang kuminta kau bicara pada Mommymu itu yang sebenarnya! Bahwa aku bukan calon istrimu!" tegasnya lalu melangkahkan kaki menuju pintu dan Rendra menahan lengannya.

"Sepertinya itu ide yang buruk. Hm, bagaimana kalau kita segera atur rencana pernikahan kita? 3 bulan lagi? Ah tidak, itu terlalu lama. Bagaimana kalau bukan depan?"

Demi Tuhan. Bahkan Rendra mengajak menikah seperti ajakan main-main. Membuat Sheila mendadak sakit kepala, Tapi Rendra malah tersenyum senang.

"Berhenti main-main bos," Sheila tak mengerti apa yang dipikirkan bosnya yang pemaksa itu.

"Sudah kubilang aku serius sekretaris,"

"Bos! Aku tak mau menikah !"

"Kau harus mau!"

"Demi Tuhan, bos. Aku tidak mau menikah dengan lelaki sepertimu yang berganti wanita seperti berganti celana dalam!" bentak Sheila sambil menghentakan lengannya, membuat pegangan Rendra terlepas.

Hening. Rendra tak mengerti darimana Sheila dapat pemikiran seperti itu. Padahal dia tak pernah lagi berhubungan dengan wanita sejak ada Sheila. Bahkan sudah lama sekali sejak ia tidur dengan wanita, dan wanita itu adalah Sheila.

"Asal kau tahu, Aku mengganti celana dalamku 2 kali sehari. Dan aku tak pernah bersama perempuan sejak bertemu denganmu,"

"Omong kosong. Lalu wanita itu siapa? Kau bahkan tak ingat aku lagi sejak bertemu dia?" tanpa sadar Sheila mengucapkan pertanyaan yang selama ini mengganggu dirinya dengan lantang.

Rendra menatap Sheila dengan raut kebingungan. Sheila pun menunduk malu, ia takut bosnya mengira dia cemburu. Dan sialnya dia memang cemburu.

"Wanita yang mana?" tanya Rendra tak mau menjawab.

"Ah sudahlah aku baru ingat kedatanganku kemari, aku sudah mengajukan pengunduran diri jadi.." Sheila berusaha mengalihkan topik pembicaraan, ia merasa tak nyaman telah mengungkapkan kecemburuannya.

"Tunggu! Jangan-jangan wanita yang kau maksud adalah wanita yang datang ke kantor sebelum aku berangkat ke Palembang?" katanya memastikan. Sedetik kemudian Rendra tersenyum. Ya. Sekarang dia mengerti. Sheila cemburu. Dan Rendra menyukainya.

"Kau! Apa yang kau tertawakan??!" ucap Sheila saat melihat Rendra yang terkekeh.

"Ehem, asal kau tahu, wanita itu berusaha menggodaku dengan tubuhnya. Tapi aku sama sekali tak peduli, waktu itu aku mengatakan padanya agar jangan menggangguku lagi," Rendra menjelaskan sambil tersenyum, membuat Sheila tak nyaman.

"A-apa?"

Semua penjelasan itu seolah menghancurkan benteng pertahanan yang dibangun oleh Sheila dengan kokoh. Rendra bahkan menjelaskan semuanya, keberangkatan ke Palembangnya yang harus dipercepat karena desakan Kantor Cabang, yang malah tak diperhatikan Sheila karena kecemburuannya.

"A-aku harus pulang dan memikirkan semua ini," Sheila segera melangkah keluar kantor begitu mendengar penjelasan Rendra. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan bosnya setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Sementara Rendra tersenyum menatap punggung Sheila yang berlari keluar dari kantornya. Rendra bahkan senang dengan kecemburuan Sheila, yang walaupun wanita itu tak mengakuinya, tapi cukup ampuh saat Rendra menggunakan itu untuk menggodanya. Kini dia hanya tinggal meyakinkan Sheila tentang pernikahan itu.

Sungguh dia serius, ya dia akui kalau selama ini dia tak pernah berhubungan serius dengan wanita sehingga dia tak tahu cara yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Kalimat yang meluncur di mulutnya kepada Mommy-nya pun tak dia rencanakan sebelumnya, walaupun hal itu tak dapat diterima Sheila, dia akan berusaha lebih keras lagi. Tinggal tunggu waktu saja.

"Amy, berikan aku alamat Sheila sekarang juga!" teriak Rendra dari balik pintu kantornya. Ia berencana mendatangi Sheila sekarang juga dan membujuknya untuk kembali tinggal bersamanya. Setelah mendapatkan alamat Sheila, Rendra bergegas meninggalkan kantor dan menuju apartemen Sheila.

"Aku akan mendapatkanmu kembali, sayangku," ucap Rendra pelan begitu ia tiba di lobi depan apartemen Sheila.

Tanpa menunggu lagi, dia bergegas masuk ke dalam gedung dan mencari wanitanya. Senyum terkembang di wajahnya hanya karena mengingat wajah gadis itu, dengan rambut selembut sutra yang membingkai wajahnya, mata bulat yang selalu menantangnya, dan bibir yang mengundang untuk dilumat, dia selalu membuat Rendra tak bosan hanya dengan menatapnya. Rendra pun bergerak tak sabar di dalam lift yang membawanya ke lantai tempat tinggal Sheila.

Denting suara lift menandakan pintu lift yang otomatis terbuka.

Sebuah pemandangan yang di luar dugaan Rendra terjadi tepat di depan matanya. Ia melihat sahabat dan rekan bisnisnya, Ronald, sedang memeluk wanitanya begitu mesra. Dan itu belum cukup parah, detik berikutnya ia melihat bibir mungil Sheila dilumat oleh Ronald.

Tanpa berpikir lagi dia menghampiri adegan mesra dua manusia itu, memisahkan mereka dan mendaratkan pukulan di wajah Ronald hingga tersungkur.

"Itu pelajaran untukmu karena berani menyentuh milikku," ucap Rendra puas.

"Rendra kau.." sebelum Sheila menyelesaikan ucapannya, Ronald membalas Rendra dengan pukulan balasan.

"1-1" kata Ronald. Sheila terkejut melihat semua itu. Satu pukulan lagi dari Rendra hingga akhirnya perkelahian tak dapat terelakkan.

Teriakan Sheila yang menyuruh mereka berhenti, tak dihiraukan. Ronald malah menjepit kepala Rendra dengan lengannya.

"Brengsek. Kau ini kenapa bodoh?" teriak Ronald.

Rendra berhasil melepaskan diri dari Ronald, lalu mereka kembali bergulat. Bahkan wanita yang jadi sumber perkelahian itu sudah hilang dari hadapan mereka tanpa disadari keduanya. Tak lama kemudian dua petugas keamanan gedung itu datang. Menghentikan keduanya.

**

Sementara itu, Sheila hanya bisa menghela nafas. Tidak menyangka bosnya yang dingin bisa sebrutal itu. Padahal dia hanya berpelukan dan.. yah.. mana dia tahu, kalau Ronald akan menciumnya. Lagipula itu hanya ucapan selamat Ronald di hari ulang tahunnya. Rendra benar-benar gila. artseks.com

Dia duduk di taman kota dengan McFlurry di tangannya. Setidaknya sesuatu yang dingin akan sedikit menenangkannya saat ini. Hembusan angin membelai wajahnya, suasana ini lebih baik daripada menonton dua pejantan yang berkelahi.

Dari jauh, seorang pria menatapnya sambil tersenyum penuh rencana. Setelah berkali-kali dia gagal. Mungkin malam ini adalah saat yang tepat. Persetan dengan rayuan, wanita itu memang harus selalu dipaksa agar bisa menuruti keinginannya. Sudah lama sekali dia ingin mencicipi tubuh indah itu dalam versi sekarang.

Sheila menopangkan kaki kanannya di atas kaki kiri, membuat rok mininya terangkat lebih tinggi memperlihatkan halus pahanya hingga lelaki itu menelan ludah.

Brengsek!
Sheila selalu bisa menaikkan nafsunya. Dia sudah tidak tahan lagi. Tanpa menunggu, lelaki itu mendekati Sheila, malam ini dia tidak boleh gagal.




Tamat
Cerita Seks My Boss Cerita Seks My Boss Reviewed by Anonymous on 5/19/2016 Rating: 5

9 comments:

  1. Sambungannya gimana tu??? Endingnya??? #kepo_maksimal

    ReplyDelete
  2. Ceritanya udah lengkap semua, mungkin bsa di cek d akhir cerita untuk kelanjutannya. hehe ini udh sampe tamat kok, totalnya 12 page. semoga terhibur ya.

    ReplyDelete
  3. Iya memang 12 page tapi endingnya masih tanda tanya nih. Hadeuww.. Penasaran -__-

    ReplyDelete
  4. sabar ya, mudah2an nanti ada kelanjutannya :)

    ReplyDelete
  5. Amanda freda teba29 June 2016 at 01:14

    Yah....
    Ngegantung banget...
    Dilanjutin dong endingnya.... :-(

    ReplyDelete
  6. mohon bersabar ya. hehe. untuk saat ini bisa nikmati cerita lainnya dulu.

    ReplyDelete
  7. O…begitu toh
    Izin paraf di buku tamu… 😀
    siapa tahu ada yang mau komeng dari yang lain.…

    Moga semakin semangat menulis!

    ReplyDelete

Powered by Blogger.