Cerita Dewasa Pengantin Baru II - Aku yang Dia Pilih

Cerita Dewasa Pengantin Baru II - Aku yang Dia Pilih - Sudah hampir sebulan sejak kejadian itu. Kini kehidupan rumah tanggaku mulai membaik. Dan aku mungkin sedikit demi sedikit mulai mencintainya.

Kini kami sudah tidur dalam satu kamar, dan aku tidak pernah melihatnya pergi bersama gadis-gadis lain lagi meskipun terkadang aku melihat mereka masih berusaha merayu Ferdi. Dia juga menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mengirimkan penghasilannya dari usahanya membuat lagu ke dalam rekeningku.

Aku bahagia? Tentu.

Aku dan Ferdi kuliah di Universitas yang sama, hanya beda jurusan. Dia di jurusan music, sedangkan aku di jurusan sastra. Kami memang tidak pernah terlihat bersama karena jadwal kami yang berbeda. Bila kebetulan dia sedang melihatku, senyum lembutnya pasti akan tertuju kepadaku. Menjadi obat penghapus lelah yang tidak bisa diberikan oleh dokter manapun.

Kami tidak pernah berbicara langsung di kampus karena aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak berpapasan dengannya. Mungkin aneh, tapi aku tidak ingin menimbulkan masalah dengan hubungan kami saat ini. Ferdi tetap menjadi seorang laki-laki yang populer, dan aku tetap menjadi diriku yang lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan bersama laptopku.

Hari ini kelasnya dimulai lebih pagi dari kelasku. Aku masih belum melihatnya di kampus ini, mungkin ia sedang menghabiskan waktunya di ruang music.

Kupandang makananku di meja cafetaria dan mulai memakannya. Apa saat ini ia sudah makan siang? Apa aku harus menghubunginya? Aku mengunyah sambil memikirkan hal apa yang harus kulakukan karena terus terang saja, aku masih canggung kalau harus memulai lebih dulu.“Apa yang kau pikirkan?”

Aku mengerjap kemudian tersentak saat melihatnya ada di depanku kini. Ia duduk di depanku dengan nampan makanan dan mulai memakannya.

“Fer, apa yang kau lakukan di sini?” bisikku sambil menatap sekeliling. Ia menghentikan makannya.

“Aku sedang makan,” Aku berdecak pelan.

“Aku tahu, tapi kenapa kau makan di sini?”

“Memang ada larangan untukku makan di sini?” Aku mengeluh dalam hati. Laki-laki ini...

“Fer, kenapa kau ada di sini??” tanya seorang gadis berambut keriting yang menghampiri Ferdi dengan temannya.

“Kau tidak lihat aku sedang makan?” jawab Ferdi santai sambil melanjutkan makannya sementara aku hanya menatapnya tidak mengerti.

“Aku tahu, tapi kenapa kau makan bersama dia?” gadis itu menunjukku.

“Tidak ada larangan untukku makan bersamanya,” jawab Ferdi.

“Fer, kenapa tiba-tiba kau bergaul dengan gadis sepertinya?” tanya gadis yang berambut lurus. Apa maksudnya dengan gadis sepertiku?

“Kenapa kau diam saja? Lanjutkan makanmu!!” tiba-tiba saja Ferdi meraih daguku dan menjejalkan sepotong daging ke dalam mulutku. Membuatku kaget.

“Kau harus makan banyak, agar tubuhmu tidak mudah patah saat aku menyentuhmu!”Blushhhh... Wajahku seketika merah padam. Laki-laki ini...

“Fer, apa kau bercanda? Kau... kau menyentuhnya?!” tanya si keriting kaget.

“Kalian sudah melakukannya?” tambah si rambut lurus. Ferdi tidak menjawab, ia masih asyik memakan makanannya.

“Tidak kusangka, gadis sepertimu bisa melakukannya,” kata si rambut lurus dengan pandangan menghina.

“Cara apa yang kau gunakan untuk menggoda Ferdi?” tanya yang satunya. Aku benar-benar risih mendengarnya.

“Fer, sebaiknya kau pergi saja!” sewotku.

“Hei, apa salahku?!” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

“Kau membuatku terdengar seperti gadis murahan!!”

“Bukankah kau memang murahan?” sahut si keriting.

“Kau dengar itu? Makan saja di tempat lain!!” bentakku kesal.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, bukankah aku memang menyentuhmu, kenapa kau marah?” balas Ferdi.

“Fer, kau benar-benar melakukan itu?” tanya si keriting shock, kemudian ia berpaling ke arahku dengan wajah sinis.

“Pasti kau yang menggoda lebih dulu ya!”

“Kau dengar itu? Mereka menganggapku gadis murahan yang sudah menggodamu!!” jeritku.

“Itu karena mereka belum tahu kalau kau adalah istriku!!” bantah Ferdi. Aku membelak menatapnya.

“Apa?!!” pekik si keriting tak percaya.

“Fer, itu tidak benar kan?” timpal si rambut lurus.

“Kau... terserah apa maumu!!” sahutku kesal dan langsung beranjak dari tempatku, berjalan pergi.

“Citra!! Berhenti!!”

Tidak kudengarkan teriakannya. Apa ia sudah gila? Akan banyak masalah yang timbul jika status hubungan kami terbongkar. Bukan aku yang rugi, tapi aku hanya tidak ingin ia mendapatkan masalah. Aku hanya ingin melindunginya, apa itu salah?!

Aku pulang ke rumah ketika hari sudah menjelang malam. Sebelumnya aku menghabiskan waktu di perpustakaan umum. Kuabaikan telepon dari Ferdi yang masuk berkali-kali.

Aku tidak mengerti dengan pikirannya. Sebenarnya apa maunya?! Kemudian aku menghela nafas pelan, dia memang tidak pantas untuk gadis sepertiku. Aku hanya gadis biasa tanpa kelebihan apapun. Terlalu sederhana untuk orang sesempurna dia.

Akhirnya setelah cukup lama termenung di pintu Apartemen, aku membukanya dan masuk ke dalam. Kakiku terhenti saat kulihat Ferdi baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah.

“Kemana saja kau? Kenapa tidak menjawab teleponku??” marahnya.

“Aku sedang tidak ingin menjawab teleponmu!” jawabku dengan nada lelah.

“Jawaban macam apa itu?!”

“Lagipula kenapa kau repot-repot meneleponku? Bukankah lebih baik kau menemani gadis-gadis cantik itu?!”

“Bagiku kau yang paling cantik, Cik,” jawabnya dengan tatapan tajam. Aku menatapnya sejenak kemudian memalingkan wajah dan berjalan menuju kamar.

“Kau tidak percaya bahwa kau yang paling cantik untukku?” tanya Ferdi. Gerakanku memutar handle pintu terhenti. Aku diam tanpa menoleh ke arahnya.

Tiba-tiba saja ia menyambar lenganku, membuka pintu dan menarikku masuk sambil melempar handuknya ke atas tempat tidur. Ia membawaku ke depan cermin rias kemudian melepaskan kaca mata yang kupakai.

“Fer, apa yang kau lakukan?”

tanyaku saat ia melepas jepit rambutku, membiarkan rambutku yang hitam bergelombang tergerai ke punggung. Ia juga melepas sweeter abu-abuku dengan cepat dan membuangnya entah kemana. Kreeek... disobeknya lengan bajuku.

“Ferdii, apa yang kau lakukan?” tanyaku semakin bingung. Ia berjongkok dan menyobek rok yang kupakai hingga jadi pendek di atas lutut.

“Sekarang lihat!!” ia menghadapkanku ke cermin. Aku menatap diriku sendiri masih tidak mengerti. Saat ini, aku hanya memakai baju tanpa lengan dengan rok pendek. Tanpa kaca mata dan jepit rambut.

“Apa kau tidak menyadari betapa cantiknya dirimu?” kata Ferdi pelan di telingaku. Disibaknya rambutku ke samping sambil melingkarkan salah satu lengannya ke perutku.

“Dan kecantikkan ini hanya aku yang boleh melihatnya... hanya aku...” bisiknya sambil mengecup leherku lembut.

Aku seperti merasakan aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku saat merasakan bibir dinginnya di leherku.

“Iya... maafkan aku...” gumamku pelan. Ia tersenyum.

“Mulai sekarang, jangan menghindariku, ok? Biarkan saja merekaberkata apa, yang penting sekarang, masakkan sesuatu untukku karena aku sangat lapar!!” Aku tersenyum sambil berbalik menghadapnya.

“Huh, dasar,” bisikku sambil menyentuh wajahnya kemudian segera pergi ke dapur.

<hr />

Aku sedang asyik berkutat dengan laptopku di kursi sofa sementara Ferdi duduk di bawah sambil bersandar pada sofa dan memainkan game. Beberapa kali ia berteriak-teriak sendiri, membuatku menahan senyum. Setelah cukup lama, aku merasa badanku kaku. Kurenggangkan tubuhku kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.

Ketika aku kembali, Ferdi sudah tidak ada di tempatnya bersama laptopku. Dibawa kemana benda itu? Belum sempat aku berbalik, ada sepasang tangan yang merengkuhku. Menarikku lebih erat.

“Kau darimana?” tanyaku pelan. Ferdi mendekapku semakin erat dan membenamkan wajahnya ke dalam leherku yang terbuka karena rambutku kujepit ke atas. Nafas hangatnya menggelitik kulit leherku, membuat darahku berdesir pelan.

“Aku baru saja menyingkirkan teman kencanmu,”

“Apa?” aku hendak berbalik menghadapnya, tapi ia menahanku.

“Kau sudah cukup lama berkencan dengan laptopmu itu, dan aku sudah bosan dengan gameku, sekarang waktunya untuk kita berkencan sendiri,” gumamnya pelan sambil mulai mengecupi kulit leherku. Aku tersenyum sambil memejamkan mata.

“Mmhh... jadi kau cemburu pada laptopku?” tanyaku berbisik.

“Yaah... seperti kau yang cemburu pada psp-ku, mmhh...”

“Hhh... aku tidak pernah cemburu pada psp-mu,” Bibir Ferdi merambat ke belakang, menuju ke tengkukku, membuatku menunduk. Kubiarkan bibirnya membuat cupang merah disana.

“Kau bohong... hhh...”

Aku mendengar nafasnya mulai berat dan ia semakin menekankan tubuhnya pada tubuhku.

“Fer... hhh...” aku menggeliat kecil saat merasakan tangannya masuk, menyusup ke dalam kaos longgar miliknya yang kupakai, mengusap perutku. Bibirnya mulai turun ke bahuku. Kaosnya yang kupakai, memiliki lubang leher sedikit besar hingga memperlihatkan bahuku yang sedikit terbuka.

Ia mengecupi bahuku sementara tangannya merambat naik dan meremas buah dadaku yang tanpa perlindungan bra. Aku memang tidak pernah memakai bra saat akan tidur.

“Aaahh... Ferdii...” aku tidak bisa menahan desahku dan terus menggeliat dalam dekapannya. Dipilinnya kedua putingku dengan jari-jarinya yang agresif hingga jadi mengeras.

Kemudian dengan satu tarikan, kaos yang kupakai terangkat ke atas melewati kepalaku dan entah ia buang ke mana. Didorongnya tubuhku hingga membentur dinding. Ia melepas kaosnya dengan cepat kemudian mulai mengecupi kulit punggungku.

“Aah... mhh... Fer...” aku merentangkan tanganku memeluk dinding menikmati sentuhannya. Ia kembali mengecup leherku dan menggigiti telingaku.

“Nghhhh... hhh...” desahnya memancing gairahku. Perutku terasa diaduk-aduk, dan vaginaku terasa berkedut-kedut cepat. Kuraih salah satu tangannya yang asyik meremas buah dadaku, kukecup jari-jarinya, kemudian kukulum jari telunjuknya dengan seduktif.

“Aaah... Citraa...” dihisapnya kuat kulit leherku, membuat cupang lagi.

“Mmhh...” masih kujilat jari tangannya, membuatnya semakin menghimpitku ke dinding. Tangan sebelahnya merayap turun menarik celana pendekku ke bawah hingga benda itu meluncur jatuh dan langsung kutendang entah kemana.

Ia melepaskan jarinya di mulutku kemudian membalik tubuhku hingga menghadapnya. Kuusap dadanya yang mulai basah karena keringat kemudian kukecup kulit lehernya pelan.

“Eenghhh... oooh...” desahnya tepat di telingaku, membuatku semakin ingin menyentuhnya. Kugigiti kecil-kecil sambil kujilat putingnya. Aku menyukai aroma tubuhnya yang lembut dan harum. Membuatku ingin terus menghirupnya, menjadikannya oksigen untukku.

Ferdi meraih daguku kemudian dilumatnya bibirku. Aku melingkarkan lenganku ke lehernya dan membalas ciumannya. Bibir lembutnya mengulum lembut bibirku. Suara decakan-decakan bibir kami menggema di ruang tengah itu.

“Mmhh...” tanganku turun mengusap dadanya, kemudian perutnya, dan semakin turun ke bawah, kuusap tonjolan penis miliknya.

“Ooohhh... aargh...” ia mengerang tertahan, kemudian melumat bibirku lagi. Memasukkan lidahnya ke dalam mulutku dan menggelitik lidahku.

“Ngghh...” perlahan kuturunkan celananya hingga sampai di pahanya. Kemudian kuangkat kakiku dan menggunakannya untuk menurunkan celana itu sambil menggesek kakinya.

“Mmhhh... aaah...” Ferdi melepaskan ciumannya kemudian turun ke payudaraku. Dijilatnya salah satu putingnya.

“Aaahh...” nafasku langsung tersengal merasakan gelitikan lidahnya yang seperti candu untukku. Dikulumnya putingku sambil dihisap-hisapnya lembut sementara tangannya memilin puting yang satunya. Ferdi memutar-mutarnya sambil menarik-raiknya lembut.

Tubuh kami terasa lengket. Nyanyian desahan saling bersahutan tanpa henti ketika kulit kami bersentuhan saling memberi kenikmatan.

“Ngghhh... Fer... hhh...” aku meremas kuat rambutnya saat merasakan ujung penisnya yang basah mengesek pelan kulit pahaku. Ferdi melepaskan kulumannya pada putingku kemudian mengangkat sedikit badanku. Ia mengangkat salah satu kakiku untuk melingkari pinggangnya.

“Mmmhh... Citra... kau sangat hangat...” desahnya pelan.

“Ooohh...” aku menggelinjang saat penis Ferdi menggesek-gesek lubang vaginaku yang terbuka dan basah. Kenikmatan ini benar-benar seperti heroin untukku. Bibir Ferdi yang kembali mengecupi bahuku membuat perutku terasa geli.

“Aaakh...” aku memekik pelan saat menyadari penisnya mencoba menerobos lubang vaginaku.

“Mmmhh... apa masih sakit, sayang?” tanyanya pelan.

“Tidak... hhh... hanya sedikit ngilu...” jawabku sambil menggigit daun telinganya.

“Aah...” ia mendesah pelan sambil meneruskan dorongannya di lubangku.

“Nghhh... aaah...” Akhirnya tubuh kami kembali menyatu. Aku merasa begitu bahagia. Ia diam
sejenak sambil menatapku mesra.

“Ke-kenapa?” tanyaku gugup sambil menunduk. Ia tersenyum sambil mengangkat wajahku. Dirapikannya rambut di dahiku yang berantakan.

“Kau benar-benar cantik...” bisiknya kemudian mengecup keningku, hidungku, pipiku, dan juga bibirku.

“Ngghh...” pinggulnya mulai bergerak pelan naik turun. Aku mengikutinya dengan menggerakkan pantatku.

“Ngghhh... uuughh... ssshh...” desahku semakin keras manakala penisnya menggesek dinding vaginaku dan menghentak dinding rahimku semakin kuat.

“Ooohh... aaaahhh... ssshhhhh...”

“Aah... aaah... aaah... uuummhh...”

Ferdi sesekali melumat bibirku. Hidung kami ikut bersentuhan. Deru nafasnya yang keluar dari mulut, membuatku ingin menghirup aromanya. Dadanya membentur-bentur payudaraku. Kuremas-remas rambutnya.

“Ngghhh... hhh... hhh...”

“Ssshhh... hhh... uuugh... aaakh...”

“Fer... oooh...”

Ferdi mempercepat gerakannya. Suara decakan alat kelamin kami yang saling bersentuhan menggema menambah kenikmatan. Vaginaku semakin sesak karena penisnya yang semakin membengkak dan tegang. Punggungku membentur dinding semakin keras. Keringat kami semakin banyak.

“Mmhhh... hhh... sebentar lagi... hhhh...”

“L-lebih dalam, Fer... oooh... aaaaarrghh...” vaginaku berdenyut kuat, aku orgasme untuk yang pertama. Cairanku meluber, menetes keluar, semakin menambah licin lubang vaginaku.

Ferdi semakin kuat menghentakkan penisnya, bahkan hingga membentur dinding rahimku dan menyentuh titik G-spotku. Tiba-tiba tubuhnya menegang dan memperkuat dorongannya.

“Aaaaaaaaaarrrrggh…” ia melenguh panjang sambil menghujamkan penisnya dalam-dalam.Ada yang mengalir di dalam perutku. Rasanya hangat dan menggelitik. Kami diam untuk menikmati sensasinya.

“Lelah?” bisiknya pelan.

Aku mengangguk pelan,

“Sedikit,”

Ia mengangkat kakiku yang sebelah dan melingkarkannya di pinggangnya. Aku memeluknya erat agar tidak jatuh. Ia membawaku ke sofa dan duduk memangkuku. Kami masih berpelukan sesaat untuk menetralkan nafas kami masing-masing.

“Tidak ingin membersihkan milikku?” bisiknya pelan.

Aku memundurkan tubuhku menatapnya yang tersenyum seduktif,

“Masih ingin?” tanyaku.

“Aku selalu menginginkannya bila bersamamu,” ia mengedipkan sebelah matanya, membuatku malu. Wajahku pasti merah saat ini.

“Rona pipimu cantik...” katanya pelan kemudian mengecup pipiku lembut.

“Kau benar-benar pintar merayu,” kataku.

“Aku jujur... aku sangat suka melihat rona pipimu,”

“Dan aku suka melihat senyummu!”

“Benarkah?” tanyanya dengan mata berbinar, membuatku gemas.

“Ya,” kukecup singkat bibirnya kemudian beranjak dari pangkuannya hingga penisnya yang masih ada di dalam vaginaku terlepas. Aku berlutut di hadapannya dan mulai meremas batang itu.

“Aaah...” Ferdi mendesah sambil memejamkan matanya. Aku suka melihat ekspresinya saat itu, membuatku ingin menatapnya. Asalkan ia tidak membuka matanya, tentu saja, aku sangat malu saat ia menatap tubuhku tanpa sehelai benangpun. Aku mengocok penisnya pelan dan kuat.

“Oooohhh... terus, Sayang... aaaah...” desah Ferdi semakin keras. Penisnya yang sempat melemas, kembali menegang. Ujung testisnya berkerut karena terangsang. Ada lendir bening yang keluar. Kujilat lendir itu dengan lidahku.

“Oooohhh...” tubuh Ferdi mengejang. Diremasnya rambutku dengan kuat sementara lidahku masih menjilati penisnya. Dari ujung hingga ke pangkalnya, kubasahi dengan air liurku. Kukunyah renggang kantung bolanya, membuatnya semakin mengerang. Kukulum benda itu sambil kusedot kuat-kuat.

“Aaaaaarrghh... Citraa... hhhh... nikmat sekali...” Ferdi merintih.

Kemudian kumasukkan penisnya ke mulutku dan mengulumnya naik turun.

“Mmmm... mmmhh...”

“Aaaah... uuuggh... ooohh...” ia makin hilang kendali.

Permukaan penisnya terasa kasar oleh urat-urat yang menegang. Kugelitik ujungnya yang berkerut dengan lidahku, menyibaknya dan memasukkan ujung lidahku ke dalam lubangnya yang kecil.

“Aaaahhh... sangat nikmat... hhh... oooh...” Ferdi mendesis.

Kupercepat kulumanku hingga menimbulkan suara berdecak, tapi kemudian Ferdi menarikku hingga aku terpaksa melepaskannya. Ia menarikku ke atas, melumat bibirku dengan kuat dan dalam. Kupegang kedua wajahnya dan membalas ciuman itu.

“Ngghh...” aku mendesah saat merasakan ujung penis kembali menggesek miss V-ku. Seolah mengerti keinginannya, kuturunkan pinggulku hingga batang itu masuk, menghujam ke dalam lorong vaginaku.

“Aaaahh...” kami mendesah bersamaan ketika merasakan sensasinya.

Ia kembali melumat bibirku sambil meremas-remas pantatku. Perlahan aku menggerakkan pinggulku naik turun dengan lambat. Rasanya benar-benar nikmat. Di posisi ini, penis Ferdi bisa masuk semakin dalam.

“Aakh...” aku menjerit tertahan saat ia menyedot lidahku. Aku melepaskan ciumanku.

“Sayang...” rintihku.

“Aku selalu kelaparan jika melihatmu, bagaimana ini? Apa aku harus memakanmu?” tanyanya dengan wajah menggoda. Aku menaikkan pinggulku kemudian menekannya dengan kuat.

“Aaakhh...” ia mejerit pelan “Apa aku salah bicara?” tanyanya ragu.

“Jangan berbicara seperti itu,” rutukku sambil menundukkan wajah.

Ferdi terkekeh pelan kemudian meraih wajahku dan mengangkatnya. Dikecupnya leherku lembut. “Maaf...” bisiknya pelan sambil menghisap kulit leherku.

“Nghhh...” aku memejamkan mataku dan mulai menggerakkan pinggulku lagi.

“Mmmhh...” bibir Ferdi turun ke bawah, mengulum putingku, memainkannya dengan lidahnya.

“Aaahh... aaah... uuugh...” aku mempercepat gerakanku, ujung penisnya semakin menghantam keras dinding rahimku.

“Aaahh... Citra... oooh... berhenti... aaah...”

“Hhhh... kenapa? Uuuuughh...”Ferdi menahan pinggulku, kemudian melepaskannya dari penisnya yang menegang. Ia meremas pantatku, menyuruhku menungging. Aku bertumpu pada lengan sofa.

“Aaaarrgh... Fer... ssssssshhh….” erangku saat merasakan lidahnya menggelitik kemaluanku. Dijilatnya miss V-ku dari belakang, dihisapnya klitorisku hingga berdecit. Kemudian dimasukkannya lidahnya ke dalam lubang vaginaku.

“Aaah... Ferdii... ooohhhh...” jeritku saat digelitiknya bibir vaginaku, kemudian disedotnya kuat-kuat.

“Aaaaaaaaaarrrggghhhh...” membuat vaginaku berdenyut kuat bersama cairan yang meluber keluar. Aku diam menikmati sensasinya.

“Ooohh...” bibirku mulai mendesah lagi saat merasakan ujung penisnya yang kembali menggesek-gesek lubang vaginaku, meratakan cairanku yang baru saja keluar.

“Ngghhh...” aku mencengkeram lengan sofa saat ia memasukkan miliknya perlahan hingga terbenam sempurna. Bibirnya mengecupi punggungku dengan sebelah tangan yang memilin putingku dan sebelahnya lagi menyangga berat tubuhnya.

“Aaahh... mmmmhh... ssssshhhhh...” Ferdi mulai menggerakkan pinggulnya perlahan. Aku mengimbangi permainannya dengan menggerakan pinggulku berlawanan arah dengannya.

“Ngghh... oooohh... aaaaahhh...” desahnya terdengar jelas di telingaku. Nafasnya menggelitik leherku.

“Fer... nikmat sekali... oooh... uuumhh... aaah...”

“Hhh... uuuggh... sssshhh...”

Aku merasakan tubuh Ferdi semakin menegang, hentakannya juga jadi semakin kuat. Rasa ngilu dan nikmat bercampur menjadi satu.

“Uuuhh... ahhhh... aaaaaaaarrrghh…”“Aaaaaaaaaaarrrrggghh...”

Cairanku dan spermanya keluar bersama lenguhan panjang kami. Bercampur menjadi satu, mengalir di dalam rahimku, dan sebagian menetes keluar. Vaginaku dan penisnya masih berdenyut-denyut kuat.

“Aaah...” ia mendesah lega. Tubuh kami ambruk ke sofa. Aku diam mengatur nafas sambil menikmati sisa-sisa dari orgasme kami berdua. Detak jantung Ferdi terasa begitu kuat di punggungku. Deru nafasnya belum berhenti.

“Fer... aku haus...” gumamku pelan. Aku merasa tenggorokkanku kering. Peluh membasahi tubuh kami yang masih berpelukan.

“Ingin minum?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk dengan masih memejamkan mata. Tiba-tiba ia beranjak dari atas tubuhku dan menarikku. Aku melingkarkan kakiku ke pinggangnya sambil mendekapnya, kemudian ia menggendongku menuju lemari es. Didudukkannya aku di meja pantry samping lemari es.

Diambilnya sebotol air dingin dari dalamnya dan memberikannya kepadaku. Aku meneguknya hingga setengah lebih. Ahh... rasanya lega. Kuberikan lagi botol itu pada Ferdi. Ia meneguk sisanya. Tapi sebagian air mengalir dari mulutnya, menetes melewati lehernya. Aku tersenyum kemudian menjilat tetesan air di lehernya itu.

“Aaahh...” ia mendesah sambil menghentikan minumnya.

“Cik, apa kau masih mau lagi?!” Aku menggeleng cepat sambil tersenyum,

“Aku lelah,” kataku.

“Kumohon, jangan menggodaku. Aku tidak akan pernah lelah melakukannya denganmu. Jika kau menggoda lagi, kupastikan kau tidak akan tidur malam ini!” ancamnya.Aku terbelak mendengarnya,

“Ayo kita tidur!” kataku cepat. Ferdi tersenyum aneh.

“Kau yakin ingin tidur?” bisiknya sambil mencondongkan wajahnya hingga aku sedikit mundur.

“I-iya...”

“Tidak ingin melanjutkan yang tadi, hmm?” Kubenamkan wajahku ke lehernya, kupeluk ia erat-erat.

“Tidur...” gumamku manja. Dia tertawa pelan sambil mengembalikan botol itu ke lemari es.

“Kau akan menyesal nanti,”

“Apa!!”

Tawanya semakin keras. Diangkatnya tubuhku, membawaku ke kamar kemudian merebahkanku di ranjang. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polos kami berdua. Ferdi juga mematikan lampu kemudian memelukku erat. Aku memejamkan mataku merasakan pelukan hangatnya.

“Fer...” panggilku pelan.

“Hmm?”

“A-apa dulu kau sering melakukan ini dengan gadis-gadis lain?” tanyaku takuttakut.

“Melakukan apa?”

“Melakukan apa yang baru saja kita lakukan,”Hening sejenak. Apa dia marah dengan kata-kataku? Aku mendengarnya menghela nafas panjang, nafasnya menggelitik kulit leherku.

“Kau yang pertama, Cik,”

“Benarkah?” aku tak percaya.

“Bahkan ciuman pertamaku adalah dirimu, dan ciuman-ciuman selanjutnya adalah milikmu, aku tidak pernah melakukannya pada gadis lain!” yakinnya.

“Benarkah? Bukankah kau sering bergonta-ganti pacar?”

“Menurutmu karena siapa aku melakukan itu? aku melakukannya hanya ingin membuatmu cemburu. Itu scenario yang kubuat untukmu, Cik, scenario agar kau memperhatikanku. Aku hanya sebatas menggenggam tangan dan merangkul, tidak lebih dari itu karena aku hanya menginginkanmu, hanya kau...”

Aku tersenyum mendengarnya.

“Terima kasih, Fer... I love you.”

“Sama-sama, Cik... I love you too.” ia mengecup pipiku lembut.

“Tidurlah...” bisiknya pelan.

Cerita Dewasa Pengantin Baru II - Aku yang Dia Pilih Cerita Dewasa Pengantin Baru II - Aku yang Dia Pilih Reviewed by Anonymous on 12/21/2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.